Hari Raya Idul Fitri adalah salah satu hari besar dalam agama Islam yang diperingati setiap tahun setelah umat Muslim menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan. Idul Fitri, yang juga dikenal sebagai Lebaran, merupakan momentum untuk merayakan kemenangan dalam menahan hawa nafsu dan memperbanyak ibadah selama bulan Ramadan. Selain itu, hari ini juga menjadi ajang untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama umat Islam.
Makna Idul Fitri
Perlu diperhatikan, saat ini telah menyebar di kalangan masyarakat, bahwa makna “Iedul Fitri” adalah kembali kepada fitroh (suci) karena dosa-dosa kita telah terhapus. Hal ini kurang tepat, baik menurut bahasa maupun secara istilah syar’i. Kesalahan dari sisi bahasa, apabila makna “Iedul Fitri” demikian, seharusnya namanya “Iedul Fithroh” (bukan ‘Iedul Fitri). Adapun dari sisi syar’i, terdapat hadits yang menerangkan bahwa Iedul Fitri adalah hari dimana kaum muslimin kembali berbuka puasa.
Dari Abu Huroiroh berkata: “Bahwasanya Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Puasa itu adalah hari di mana kalian berpuasa, dan (’iedul) fitri adalah hari di mana kamu sekalian berbuka…’” (HR. Tirmidzi dan Abu dawud, shohih)
Oleh karena itu, makna yang tepat dari “Iedul Fitri” adalah kembali berbuka (setelah sebelumnya berpuasa).
Sejarah Idul Fitri
Idul Fitri pertama kali dirayakan oleh umat Islam pada tahun kedua hijriah setelah kewajiban puasa Ramadan ditetapkan. Pada saat itu, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat merayakan kemenangan mereka atas ujian puasa selama satubulan penuh dengan beribadah, memberi zakat fitrah, serta berkumpul bersama keluarga dan sahabat. Perayaan ini menjadi simbol dari kebersamaan, persaudaraan, dan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT.
Dalil Pensyariatannya
Idul Fitri adalah ibadah yang memiliki dasar hukum yang jelas dalam Al-Qur’an dan Hadis. Berikut ini beberapa dalil yang menjadi dasar pensyariatannya:
1. Dalil dalam Al-Qur’an
Pada surat Al-Baqarah ayat 185, Allah SWT berfirman;
“… Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu, dan supaya kamu menggenapkan bilangan (puasa), dan supaya kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
2. Hadis Tentang Idul Fitri
Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang pelaksanaan Idul Fitri, salah satunya adalah yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik ra, Rasulullah ﷺ bersabda, kaum jahiliyah dalam setiap tahunnya memiliki dua hari yang digunakan untuk bermain, ketika Nabi Muhammad ﷺ datang ke Madinah, Rasulullah bersabda: “Kalian memiliki dua hari yang biasa digunakan bermain, sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha” (HR Abu Dawud & an-Nasa’i)
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW menegaskan pentingnya merayakan Idul Fitri setelah selesai melaksanakan ibadah puasa, sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT.
Tuntunan Nabi Saat Hari Raya
Ada beberapa hal yang dituntunkan Rosululloh shallallaahu ’alaihi wa sallam terkait dengan pelaksanaan hari raya, di antaranya:
1. Mandi Sebelum ‘Ied: Disunnahkan bersuci dengan mandi untuk hari raya karena hari itu adalah tempat berkumpulnya manusia untuk sholat. Namun, apabila hanya berwudhu saja, itu pun sah. Dari Nafi’, bahwasanya Ibnu Umar mandi pada saat ‘Iedul fitri sebelum pergi ke tanah lapang untuk sholat (HR. Malik, sanadnya shohih). Berkata pula Imam Sa’id bin Al Musayyib, “Hal-hal yang disunnahkan saat Iedul Fitri (di antaranya) ada tiga: Berjalan menuju tanah lapang, makan sebelum sholat ‘Ied, dan mandi.”
2. Makan di Hari Raya: Disunnahkan makan saat ‘Iedul Fitri sebelum melaksanakan sholat dan tidak makan saat ‘Iedul Adha sampai kembali dari sholat dan makan dari daging sembelihan kurbannya. Hal ini berdasarkan hadits dari Buroidah, bahwa beliau berkata: “Rosululloh dahulu tidak keluar (berangkat) pada saat Iedul Fitri sampai beliau makan dan pada Iedul Adha tidak makan sampai beliau kembali, lalu beliau makan dari sembelihan kurbannya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
3. Berhias diri pada Hari Raya: Dalam suatu hadits, dijelaskan bahwa Umar pernah menawarkan jubah sutra kepada Rosululloh shallallaahu ’alaihi wa sallam agar dipakai untuk berhias dengan baju tersebut di hari raya dan untuk menemui utusan. (HR. Bukhori dan Muslim).
Rosululloh shallallaahu ’alaihi wa sallam tidak mengingkari apa yang ada dalam persepsi Umar, yaitu bahwa saat hari raya dianjurkan berhias dengan pakaian terbaik, hal ini menunjukkan tentang sunnahnya hal tersebut. Perlu diingat, anjuran berhias saat hari raya ini tidak menjadikan seseorang melanggar yang diharamkan oleh Alloh, di antaranya larangan memakai pakaian sutra bagi laki-laki, emas bagi laki-laki, dan minyak wangi bagi kaum wanita.
4. Mengambil jalan yang berbeda antara pergi dan pulang. Disunnahkan mengambil jalan yang berbeda tatkala berangkat dan pulang, berdasarkan hadits dari Jabir, beliau berkata, “Rosululloh membedakan jalan (saat berangkat dan pulang) saat iedul fitri.” (HR. Al Bukhori).
Hikmahnya sangat banyak sekali di antaranya, agar dapat memberi salam pada orang yang ditemui di jalan, dapat membantu memenuhi kebutuhan orang yang ditemui di jalan, dan agar syiar-syiar Islam tampak di masyarakat.
Disunnahkan pula bertakbir saat berjalan menuju tanah lapang, karena sesungguhnya Nabi apabila berangkat saat Iedul Fitri, beliau bertakbir hingga ke tanah lapang, dan sampai dilaksanakan sholat, jika telah selesai sholat, beliau berhenti bertakbir. (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shohih).
Diperbolehkan saling mengucapkan selamat tatkala ‘Iedul Fitri dengan “taqobbalalloohu minnaa wa minkum” (Semoga Alloh menerima amal kita dan amal kalian) atau dengan “a’aadahulloohu ‘alainaa wa ‘alaika bil khoiroot war rohmah” (Semoga Alloh membalasnya bagi kita dan kalian dengan kebaikan dan rahmat) sebagaimana diriwayatkan dari beberapa sahabat.
Tatalaksana Iedul Fitri Secara Ringkas
- Dasar disyari’atkannya: QS. Al Kautsar ayat 2, dan hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Aku ikut melaksanakan sholat ‘Ied bersama Rosululloh, Abu Bakar dan Umar, mereka mengerjakan sholat ‘Ied sebelum khutbah.” (HR. Buhori dan Muslim)
- Hukum sholat ‘Ied: Fardhu ‘Ain, menurut pendapat terkuat.
- Waktu sholat ‘Ied: Antara terbit matahari setinggi tombak sampai tergelincirnya matahari (waktu Dhuha), menurut kebanyakan ulama.
- Tempat dilaksanakannya: Disunnahkan di tanah lapang di luar perkampungan (berdasarkan perbuatan Nabi), jika terdapat udzur dibolehkan di masjid (berdasarkan perbuatan Ali bin Abi Tholib).
- Tata cara sholat ‘Ied: Dua roka’at berjama’ah, dengan tujuh takbir di roka’at pertama (selain takbirotul ihrom) dan lima takbir di roka’at kedua (selain takbir intiqol -takbir berpindah dari rukun yang satu ke rukun yang lain).
- Adzan dan iqomah pada sholat ‘Ied: Tidak ada adzan dan iqomah.
- Khutbah pada sholat ‘Ied: Satu kali khutbah tanpa diselingi dengan duduk, menurut pendapat yang terkuat. Adapun yang melaksanakan dengan dua khutbah maka tidak mengapa.
- Qodho’ sholat ‘Ied jika terluput: Tidak perlu meng-qodho’, menurut pendapat yang terkuat.
Wallaahu a’lam
(Dari berbagai sumber)