Anton Kristiono
Kristen Suatu Paradoks
(BaitulMaqdis); Karen Armstrong berkata, sejak awalnya memang Kekristenan itu suatu paradoks. Trinitas sebagai dogma jelas paradoks dengan monoteisme Israel. Oleh karena itu, sebenarnya Trinitas tidak dapat dipahami dengan akal pikiran, cukup dihidupi saja. Trinitas hanya masuk akal, sebagai suatu pengalaman mistik atau spiritual (Armstrong, 1993: 112-113,117). Mengenai Tuhan Trinitas yang tidak masuk akal ini, seorang santo yang bernama Augustinus telah menulis buku berjudul De Trinitate, di mana di sana ia memproklamirkan sebuah slogan “credo ua intellegam”, yang artinya “aku percaya (beriman) supaya aku bisa mengerti”. Tertullian juga menyikapi Tuhan Tritunggal dengan slogannya yang berbunyi “credo quia absurdum” (aku beriman justru karena doktrin tersebut tidak masuk akal).
Slogan Santo Agustinus tersebut terkesan seirama dengan slogan Tertullian, tetapi sebenarnya justru berseberangan. Ia bersikap hipokrit dengan menyatakan, ia ‘bisa mengerti’ doktrin bahwa Tuhan adalah Trinitas karena ia sudah beriman terlebih dahulu, sedangkan Tertullian bersikap lebih lugas dengan mengatakan bahwa yang membuat ia beriman adalah karena Tuhan Trinitas merupakan doktrin yang tidak masuk akal. Ia akan tetap beriman, meskipun tidak akan pernah bisa mengerti doktrin tersebut. Ia juga tidak mengatakan bahwa dirinya bisa mengerti doktrin tersebut (sekalipun sudah lama beriman).[1]
Paradoks selalu sangat sulit untuk dijelaskan. Dalam hal dogma Tritunggal, ada dua anggapan yang saling bertentangan: “Allah itu Satu” dan “Allah itu Tiga”. Mana yang benar di antara keduanya?
Teolog besar Augustinus, yang pendapatnya banyak dianut oleh gereja masa kini, menulis dalam De Trinitate pernyataan iman sebagai berikut: “Bapa, Anak, dan Roh Kudus membentuk suatu kesatuan yang tunggal dan hakikat yang sama dalam kesetaraan yang tak terbagi-bagi. Dengan demikian, tidak ada tiga allah, melainkan satu Allah; sekalipun Bapa yang memperanakkan Anak, dan karenanya, Bapa bukanlah Anak; dan Anak diperanakkan oleh Bapa, dan karenanya Anak bukanlah Bapa; sedangkan Roh Kudus bukan Bapa ataupun Anak”.[2]
Kesulitan dalam Menjelaskan Tritunggal
Memberikan penjelasan tentang dogma Tritunggal bukanlah yang mudah. Orang Kristen menjelaskan pada orang Kristen saja kesulitan, apalagi menjelaskan pada orang lain. Sebab penjelasan dogma Trinitas tersebut njelimetnya setengah mati. “Tepatnya apa doktrin tersebut, atau bagaimana hal itu musti dijelaskan, para penganut Tritunggal pun tidak mencapai kata sepakat di antara mereka sendiri.” A Dictionary of Religious Knowledge.
Misalnya, jika kita menganalisis pernyataan iman Augustinus, di dalamnya terdapat beberapa pernyataan:
- Hanya ada Satu Allah;
- Bapa itu Allah;
- Anak itu Allah;
- Roh Kudus itu Allah;
- Bapa bukan Anak;
- Roh Kudus bukan Bapa dan bukan Anak.
Bagaimana Menjelaskan “Bapa dan Anak sama-sama Allah”
Jadi, bagaimana cara menjelaskan “Bapa dan Anak sama-sama Allah, Bapa dan Anak adalah Satu Allah, tetapi Bapa bukan Anak”? Dan, bagaimana (pula) cara menjelaskan ”Bapa, Anak, dan Roh Kudus samasama Allah; Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah Satu Allah, tetapi Roh Kudus bukan Bapa dan bukan (pula) Anak”? Sungguh, pernyataan iman yang tidak masuk akal sehingga sulit dijelaskan.
“Misteri yang tidak dapat dimengerti tentang Allah Tritunggal. – Paus Yohanes Paulus II.
“Kami tahu [Tritunggal] ini suatu misteri yang sangat dalam, yang sama sekali tidak kita mengerti” – Cardinal John O’Connor.
Francis Dávid (1510-1579) menyatakan, “doktrin Tritunggal tidak punya dasar dalam Al-Kitab, juga tidak masuk akal. Baginya, Tritunggal adalah ajaran tambahan dari konsili-konsili gereja yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani populer masa itu.”
[1] Alexander Edbert, Show Us The Straight Path: Menemukan Kebenaran Iman Yang Sejati (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2008).
[2] Ellen Kristi, “BUKAN ALLAH, TAPI TUHAN” (Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2008).