LONDON – Awalnya, Noor merupakan seorang penganut agama Hindu. Perempuan yang kini bermukim di Inggris itu juga berasal dari keluarga yang taat menjalankan tradisi keagamaan Hindu.
Hingga suatu ketika, Noor menyadari kegelisahan batinnya. Terutama, mengenai cara masyarakat memperlakukan perempuan atas dasar ajaran agama. “Di dalam agama Hindu, pria diperlakukan layaknya dewa. Misalnya, pada suatu upacara keagamaan, kami para gadis berdoa kepada Dewa Syiwa agar kami diberikan suami yang seperti sesembahan kami–Dewa Syiwa. Bahkan, ibu pun menyuruh saya melakukan hal demikian,” kata Noor kepada Arab News, Jumat (16/1).
Saat itu Noor masih tinggal bersama keluarganya di India. Sampai pada akhirnya, dia memperoleh kesempatan belajar ke Inggris. Di negara inilah Noor meluaskan cara pandangnya mengenai gender.
“Ketika pertama-tama tinggal di Inggris, saya mendapat kesan negara ini memperlakukan laki-laki dan perempuan secara setara. Namun, dalam praktiknya, saya perhatikan hal itu tidak sepenuhnya terjadi,” kata Noor.
Di negara asalnya, Noor merasakan benar ketertindasan perempuan yang disandarkan pada dogma agama Hindu. Noor mencontohkan, seorang mempelai perempuan diharuskan membayar mahar pernikahan kepada keluarga mempelai pria. Itu pun mengabaikan kesanggupan finansial mempelai perempuan.
“Maka jika seorang istri tidak bisa memberi mahar sesuai keinginan keluarga suami, sangat mungkin istri tersebut akan tersakiti, secara batin atau bahkan fisik. Demikian pula, seorang istri tidak boleh menikah lagi setelah ditinggal mati suaminya,” ungkap Noor.
Karenanya, selama di Inggris, Noor bergaul dengan banyak orang dari pelbagai latar belakang. Tujuannya untuk mencari tahu praktik keseharian budaya masyarakat Inggris. Menurut Noor, kebudayaan sekular pun memperlakukan perempuan tidak jauh berbeda dari kultur Hindu. “Saya merasa sangat tidak nyaman. Mungkin orang lain bisa, tapi saya tidak,” ujar Noor.
Kegelisahannya mengenai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, mengantarkan Noor kepada Islam. Awalnya, kata Noor, jiwanya terasa begitu kosong karena dia beranggapan semua masyarakat sama memperlakukan perempuan sebagai objek.
Konsep persamaan gender dalam tradisi Barat pun, menurut Noor, masih mengabaikan fakta bahwa perempuan seringkali mesti mengekspose tubuhnya hanya untuk mengukuhkan dominasi, menarik perhatian laki-laki. Perempuan dinilai bukan sebagai manusia utuh, melainkan tubuh.
“Saya pelajari, Islam memberi perlindungan bagi perempuan. Islam mengajarkan, perempuan memiliki hak, seperti misalnya hak atas warisan, memilih calon suami, dan bahkan menjalankan usaha sendiri terlepas dari dominasi laki-laki,” ujar Noor.
Dalam Islam, kata dia, kewajaran merupakan yang utama. Tidak ada ekspose tubuh untuk mengukuhkan dominasi satu gender atas yang lain. Prinsip kebebasan tidak menjadi topeng pengukuhan dominasi laki-laki.
“Islam mengatur aurat laki-laki dan perempuan. Dalam Islam, tidak ada perbedaan. Semua aturan berlaku bagi kedua gender,” kata Noor.
Noor mengaku, dia mengenakan hijab tanpa keterpaksaan apa pun. Malahan, Noor mengaku, kegelisahan hidupnya akan kesetaraan gender menemukan rasa tenang begitu dia memantapkan diri, menutup aurat. (Alkuin/BaitulMaqdis.com)
Sumber : ROL