Yudi Mulyana : Dari Muallaf Hingga Menjadi Aktivis Anti Pemurtadan
(BaitulMaqdis.com) Awalnya ia seorang aktivis gereja. Setelah menjadi muslim dan tahu seluk beluk kristenisasi, kini menjadi aktivis Anti Pemurtadan.
Meski terbilang baru memeluk Islam (2008), tapi Yudi Mulyana memutuskan untuk berkiprah di organisasi Anti Pemurtadan. Motivasinya tak lain adalah ingin menunjukkan pada semua kalangan bahwa Islam adalah agama yang ramah. Dalam mencegah aksi pemurtadan, sarjana Kependetaan di Institut Kependetaan dan Keguruan Indonesia Jakarta ini melakukan upaya dengan mengisi kegiatan seminar dan ceramah seputar anti pemurtadan di berbagai daerah.
Menurut mantan Koordinator Guru pelajaran Agama Kristen sewilayah III Jawa Barat ini, umat Islam harus waspada dengan gerakan pemurtadan yang semakin gencar terjadi. Katanya, antisipasi yang harus dilakukan tak hanya masalah aqidah saja, melainkan persoalan ‘perut’. Bahkan, alumnus Pasca Sarjana Theologi di Institut Al Kitab Tiranus, Bandung itu mengatakan kebutuhan perut ini bisa menjadi faktor utama penyebab pemurtadan.
“Sekarang ini pemurtadan tidak hanya menyerang lewat pelemahan aqidah saja, melainkan dari sisi ekonomi. Persoalan kebutuhan perut ini memang harus diwaspadai karena bisa menjadi sasaran empuk oleh aksi-aksi pemurtadan,” terang bapak 4 anak ini saat ditemui di Masjid Al Falah Surabaya, beberapa waktu lalu.
Pria kelahiran Karawang, Jabar ini juga menyinggung soal metode pemurtadan yang dilakukan oleh gereja. Metode-metode pemurtadan yang digunakan biasanya sudah melalui analisis tingkat tinggi. Dan tidak hanya ditujukan untuk orang dewasa saja, tetapi sejak usia dini pun dilakukan dengan metode sama. Salah satu metode yang ditujukan untuk anak-anak biasa disebut Buku Tanpa Kata.
Metode ini berupa buku yang berisi lembaran-lembaran berwarna-warni. Anak akan dituntun dalam imajinasi tentang hal-hal yang menyenangkan hingga berujung pada pemurtadan. “Metode-metode pemurtadan seperti itu terus dikembangkan. Oleh karena itu, umat Islam harus selalu waspada terhadap aksi-aksi pemurtadan,” terang pria keturunan Tionghoa ini.
Perjuangan Berat
Ternyata perjalanan memutuskan untuk menjadi seorang muslim, harus dilaluinya dengan penuh perjuangan. Awalnya, hidayah Allah swt. turun ketika dirinya tengah mengalami stroke akut. Suatu hari ia tersungkur ke tanah tanpa bisa bergerak sedikitpun, namun tiba-tiba mulutnya meneriakkan asma Allah. Peristiwa itu terjadi hingga tiga kali. Dari kejadian itu, akhirnya ia pun menerima Islam dengan sepenuh hati. Tidak berhenti disitu, mantan aktivis Gembala Jemaat Gereja Bethel Indonesia di Indramayu ini harus berpisah dengan keluarga besarnya, termasuk rumah tangganya yang bubar.
“Jujur, saya merasakan perjalanan yang sangat berat karena harus berpisah dengan istri dan anak-anak. Keputusan saya untuk meyakini Islam sebagai agama yang paling benar mereka tolak dengan meninggalkan saya. Tapi saya yakin, keputusan Allah pasti yang terbaik untuk hidup saya. Saya bertekad akan menunjukkan kepada semua orang bahwa Islam adalah agama yang toleran dan ramah,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Berangkat dari tekadnya itulah, ia memilih untuk bergabung di organisasi Anti Pemurtadan. Menurutnya, mengantisipasi pemurtadan harus menggunakan pendekatan tidak dengan semangat teologis dan bukan dengan cara anarkis. Aktivitasnya di anti pemurtadan kini sudah melanglang ke Sumatera dan Jawa. “Biasanya saya ngisi ceramah dan menyampaikan materi anti pemurtadan sampai Sumatera. Tapi sementara ini saya sedang berkonsentrasi untuk menggarap tesis untuk merampungkan studi Pasca Sarjana di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati, Cirebon,” aku mahasiswa pascasarjana jurusan Pendidikan Agama Islam ini mengakhiri obrolannya dengan Al Falah. (ydsf.org/alquin/baitulmaqdis.com)