Masalah Pertama, Definisinya dan Hukumnya
Wudhu’ secara bahasa; pecahan dari kata “al wadho’ah” artinya baik dan suci.
Secara syar’a; menggunakan air pada empat anggota tubuh kita, yaitu wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki, didasari oleh sifat yang telah dikhususkan oleh syar’a ..
Jadi tidak bisa kita yang menentukan. Seperti tangan, sampai kedua siku. Ini tidak bisa kita yang menentukan, misalnya mau sampai sebelum siku atau melewati siku. Ini tidak boleh.
Masalah Kedua, Dalil Wajibnya dan Kapan Ia Wajib dan Kenapa.
Dalil yang mewajibkan adalah firman Allah;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Ma’idah [5]:6)
Lalu sabda Rasulullah SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALAM
لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةً إِلاَّ بِطَهُورٍ وَلاَ يَقْبَلُ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ
“Allah tidak menerima sholat tanpa kebersihan, dan sedekah dari hasil korupsi.” (HR. Muslim).
Dan sabda Rasulullah SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALAM;
لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى َيتَوَضّأَ
“Tidak diterima sholat seseorang yang berhadats, sampai ia berwudhu’.” (HR. Muslim).
Kita tidak menemukan khilaf sedikitpun di antara kaum Muslimin pada masalah ini. Maka ditetapkanlah ia sebagai hukum berdasarkan Kitab Allah, Sunnah Rasulullah dan ijma.
Adapun kepada siapa wudhu’ itu wajib, maka wajib bagi seorang Muslim yang sudah aqil ketika ia hendak sholat dan apa-apa saja yang sama hukumnya dengan sholat. Maka untuk anak-anak, tidak wajib. Ketika masih anak-anak tidak masalah. Tapi ketika sudah aqil baligh, wajib.
Kapan ia menjadi wajib? Ketika sudah masuk waktu sholat, atau seseorang ingin melakukan sebuah perbuatan yang mengharuskan adanya wudhu’, walaupun tidak terkait dengan waktu sholat ..
Seperti thowaf, karena thowaf itu tidak memiliki kaitan dengan waktu. Kalau orang sedang thowaf, ketika iqomat, maka disitulah ia sholat. Awalnya saya melihat betapa semrawutnya, tapi ternyata tidak. Ketika adzan, mereka langsung berhenti dan ambil posisi sholat.
Pernah saya baca di internet, ada seorang Amerika yang melihat kedisiplinan yang luar biasa dalam Islam dari sholat ini. Ia berdiskusi dengan seorang syaikh dari Saudi yang datang ke Amerika mengenai kedisiplinan. Syaikh ini menunjukkan bagaimana kaum Muslimin sholat di Masjidil Haram. Dari jutaan orang yang sedang ada disitu, ketika Sudais mengatakan kepada mereka untuk luruskan shof, maka langsung dalam beberapa detik jutaan orang yang ada disana berdiri tegak dengan rapih. Hal semacam ini hanya dapat terjadi di Masjidil Haram, yang tiga tingkat dan didalamnya ada jutaan orang. Awalnya si Amerika ini tidak percaya, sampai diperlihatkan rekaman sholat tarawih. Masuklah ia ke dalam Islam karena hal itu.
Maka itu, perlu juga kita mempelajari hikmah-hikmah dari ibadah itu. Agar ibadah itu tidak gersang. Agar ibadah itu semakin dihayati. Tapi jangan sampai dibalik, hikmahnya duluan daripada ibadah. Hikmah ini hanyalah bonus-bonus yang kita dapatkan dari ibadah.
Masalah Ketiga, Syaratnya
Syarat sahnya wudhu’, yaitu sebagai berikut:
1. Islam, sudah dewasa, tidak sah untuk orang kafir, juga orang gila, tidak anggap seseorang itu masih kecil jika ia sudah dinilai cukup dewasa.
Kalau bukan Islam dia berwudhu’, ya tidak ada gunanya. Maksudnya dewasa adalah bisa membedakan antara haq dan bathil. Untuk masalah “tamiiz” ini ada yang memberikan beberapa standar. Ada yang mengatakan untuk wanita, jika sudah menstruasi. Tapi ini juga relatif, karena bisa jadi hormonal dan menstruasinya terlalu cepat. Kalau saya lihat, kecenderungannya kepada akal baligh. Kalau akalnya lambat misalnya umur sudah 20 tahun tapi belum bisa membedakan antara haq dan bathil, ya tidak sah wudhu’nya.
Ada sebuah cerita dari seorang teman saya yang luar biasa. Di Mesir pernah diadakan lomba hafalan Al Qur’an. Masuklah seorang anak yang agak kurang akal. Memang luar biasa kekuatan Al Qur’an. Anak ini, untuk lap iler sendiri saja belum bisa, untuk mengenakan kancing saja tidak bisa melakukan sendiri. Tapi untuk hafalan Al Qur’an, dia juara satu. Kenapa bisa begitu? Jawabannya selalu lebih cepat daripada pengujinya. Jadi Al Qur’an itu, jika dimasukkan ke otak manusia pasti bisa, walaupun ia terbelakang. Apalagi yang autis. Autis itu kan hanya over saja tapi pada dasarnya mereka itu pintar. Ini yang kita bicarakan yang telat akalnya saja bisa.
Karena apa? Ibunya pernah berdoa, “Ya Allah, kalau anak saya laki-laki maka akan saya hafalkan ia Al Qur’an sedari kecil.” Dan walaupun lahir anaknya terbelakang, ibu ini tetap menepati janjinya itu. Sedari anak itu bayi, ibunya membacakan Al Qur’an terus menerus sampai ibunya sendiri hafal Al Qur’an.
Bandingkan dengan masyarakat kita, sudah anak terbelakang mentalnya, dimasukkan ke SLB dengan program yang hanya begitu-begitu saja. Tentu tambah jatuh derajat si anak. Diajarkan nyanyi dan joget saja.
2. Harus ada niat. Haditsnya:
إِنَّما الأَعْمَالُ بالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal itu bergantung kepada niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Tidak disyari’atkan untuk melafadzkannya, tidak pernah yang demikian dicontohkan oleh Nabi SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALAM.
Tidak pernah ada, Rasulullah melakukan hal itu. Karena kalau diucapkan namanya ngomong/bicara, bukan niat. Kalau niat itu di dalam hati. Sudah dibahas hal ini dalam kitab Tazkiyatun Nafs.
3. Air yang bersih, sudah dibahas sebelumnya bahwa air yang ada najisnya tidak sah untuk berwudhu’.
4. Menghilangkan hal-hal yang menyebabkan air tidak sampai kepada kulit kita, seperti lilin, pasta, atau cat yang digunakan wanita jaman sekarang untuk mewarnai kuku.
Jadi yang menjadi patokan untuk berwudhu’ adalah kulit kita asli itu. Tanpa ada penghalangnya. Sisik ikan menempel di kulit pun tidak boleh, karena ia menghalangi air dari kulit sehingga wudhu’nya harus diulangi lagi.
5. Istijmar atau istinja’ sebagaimana kita sudah bahas sebab-sebabnya pada pembahasan terdahulu.
6. Susun menyusun.
7. Tertib. Melakukannya sesuai dengan yang diperintahkan atasnya tanpa sedikitpun melewatinya.
Susun menyusun disini berbeda dengan tertib. Kalau tertib adalah berurutan dari 1, kemudian 2, lalu 3. Sedangkan yang dimaksud dengan susun menyusun disini, dilakukan secara berurut terus tanpa berhenti dari awal sampai selesai. Jadi wudhu’ itu dilakukan jangan sampai disela dengan pekerjaan lain, kecuali yang berhubungan dengan wudhu’nya sendiri seperti menimba air misalnya. Pemahaman antara keduanya memang sedikit berbeda, namun penekanan pada susun menyusun ini adalah tidak boleh berhenti ketika mengerjakannya.
8. Membasuh semua bagian yang diwajibkan untuk dibasuh.
Masalah Keempat, Fardhu-nya
Antara lain:
1. Membasuh wajah semuanya, karena firman Allah ta’ala, “.., apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu, ..” (QS. Al Ma’idah [3]:6). Bagian dari itu adalah berkumur-kumur dan masukkan air ke dalam hidung.
Yang dimaksudkan dengan wajah adalah dari dahi, hingga batas kedua telinga, lalu sampai ke bawah dagu. Tapi harus didahulukan berkumur-kumur dan masukkan air ke dalam hidung, karena ia di luar rukun.
2. Membasuh kedua tangan sampai dengan batas kedua siku, karena firman Allah ta’ala, “.. dan tanganmu sampai dengan siku, ..” (QS. Al Ma’idah [3]:6).
Tidak boleh melompat dari tangan sampai ke setelah siku. Karena Allah buatkan batas.
3. Membasuh kepala semua lalu dilanjutkan dengan kedua telinga, karena firman Allah ta’ala, “dan sapulah kepalamu ..” (QS. Al Ma’idah [3]:6). Rasulullah SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALAM bersabda, “Telinga adalah bagian dari kepala.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Shahih Al Albani)
Kenapa tidak disebutkan “Sapulah kepalamu dan telingamu”? Karena telinga merupakan bagian dari kepala. Ini pertama. Kedua, memang praktik yang dilakukan oleh Rasulullah memang demikian. Disapu dari depan kepala hingga ke belakang baru kemudian mengusap kedua telinga menggunakan jemarinya. Jadi tidak perlu beberapa kali.
4. Membasuh kedua kaki sampai dengan kedua mata kaki, sebagaimana firman Allah ta’ala, “dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki ..” (QS. Al Ma’idah [3]:6).
5. Melakukan dengan tertib. Sebagaimana Allah ta’ala jelaskan sesuai urutannya, dan teladan Rasulullah SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALAM selalu sesuai dengan urutan ketika berwudhu’ sesuai dengan firman Allah ta’ala, yaitu: wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki. Urutan ini merupakan sifat dari wudhu’ Nabi SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALAM dalam hadits Abdullah bin Zaid ra dan yang lainnya.
Jadi perintah wudhu’ ini kita lakukan sesuai dengan perintah Allah dan petunjuk Rasul-Nya. Dari sini kita bisa melihat bahwa tertib merupakan salah satu bagian dari syarat wudhu’ yang wajib. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa ia wajib? Dengan melihat kepada contoh Rasulullah. Kalau Rasulullah melakukannya sesuai dengan perintah tanpa pernah menyelisihinya, maka kita akan tahu kalau itu merupakan perintah yang wajib, bukan sekedar anjuran. Kalau untuk sholat tarawih, tidak dilakukan oleh Rasulullah secara terus menerus, dari sini bisa kita lihat bahwa ia tidak wajib.
Coba bayangkan wudhu’ kita selama ini yang hanya mencipratkan air ke ujung kepala, bagaimana bisa sholat dengan seperti ini? Padahal wudhu’ adalah syarat sahnya sholat. Dan wudhu’ itu harus dilakukan dengan sempurna, baik tata caranya maupun bagian yang dibasuhnya, sempurna terbasuh. Kemudian membasuh kedua kaki, sampai ke mata kaki. Bukan melebihi mata kaki. Bukan sampai ke lutut. Mubadzir dan buang-buang air saja ini.
6. Susun menyusun, membasuh wudhu’ secara langsung dari bagian yang satu dari bagian yang sebelumnya secara langsung tanpa diulur-ulur. Karena Rasulullah SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALAM melakukan wudhu’ seperti itu, sebagaimana dalam hadits Khalid bin Ma’dan, Rasulullah melihat seseorang berwudhu’ tapi di bagian belakang kakinya terlihat ada bekas logam yang menempel dan tidak terkena air, maka Rasulullah perintahkan ia untuk mengulangi wudhu’nya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Shohih Al Albani).
Kalaulah susun menyusun ini bukan syarat dari berwudhu’, tentulah Rasulullah hanya akan menyuruhnya membilas kaki yang belum terbasuh air itu, tidak perlu sampai menyuruhnya mengulangi wudhu’ keseluruhan. Maka, dalam berwudhu’ secara keseluruhan adalah membasuh dengan air baik dalam wudhu’ maupun mandi.
Bahkan di musim dingin sekalipun. Ali radhiaallahu ‘anhu pernah ditanya, apa yang membuatnya senang, Ali menjawab ketika berwudhu’ dan sholat tahajjud di musim dingin dan berperang di musim panas. Ini kan berlawanan sekali dengan kita. Kita maunya berwudhu’ di musim panas, dan untuk berperang, nanti dulu. Memang luar biasa tarbiyah dari Rasulullah.