Pembahasan tentang najis dan cara menghilangkannya mencakup empat point, yaitu:
Point pertama: Definisi Najis. Najis ialah setiap sesuatu yang kotor, yang Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menjauhinya. Najis sendiri terbagi dua, pertama: najis hakiki. Najis jenis ini sama sekali tidak bias bersih karena dirinya sendiri yang najis, seperti darah dan buang air manusia. Kedua: najis hukmi, yaitu segala sesuatu yang secara hukumnya najis. Seperti najis yang menempel pada anggota tubuh kita, ia dapat menghambat diterimanya pahala shalat seseorang. Jenis itu disebut najis hukmi. Dan ini mencakup hadats ashgar (kecil) yang hilang hanya dengan berwudhu, misal buang air besar dan hadats-hadats besar yang hilang dengan mandi, seperti janabah.
Point kedua: Menghukumi sesuatu najis haruslah berdasarkan dalil yang menyebutkan bahwa hal itu najis. Jadi, tidak boleh mengatakan sesuatu najis kalau tidak ada dalilnya. Seperti air seninya anak adam, muntahnya dan darah yang mengalir ke luar badan. Begitu pula madzi. Madzi ialah sejenis air sperma, tapi ia keluar bukan karena kelezataan dan bukan karena jima’ (bersetubuh).
Point yang ketiga: Cara membersihkan najis.
Kalau najis itu di lantai dan di tempat tertentu, cukup dibersihkan dengan satu kali basuh, baik dipel, dilap, atau disiram. Najis dibersihkan dengan menghilangkan inti najisnya. Dalam membersihkan jenis najis ini, jumlah bukan jadi standar utama, tapi hilangnya najis menjadi ukuran telah sucinya tempat yang terkena najis tersebut. Adapun tanda-tanda suatu tempat telah suci dan bersih dari najis ialah baunya, warnanya, atau rasanya harus hilang. Dalilnya, Rasulullah memerintahkan untuk menyiramkan air terhadap kencingnya seorang badui yang datang tiba-tiba kencing di masjid.
Jika najis tidak berada di lantai, seperti di pakaian atau tempat peralatan makan, bila disebabkan karena anjing trelah menjilatnya maka mensucikannya harus dibasuh tujuh kali, salah satu di antaranya dengan tanah. Sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Apabila anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka basuhlah ia sebanyak tujuh kali, satu diantaranya dengan tanah”. Hukum ini umum berlaku untuk bejana dan lainnya, seperti pakaian dan tempat tidur. Termasuk sepatu, sepeda, motor atau kita sendiri yang dijilat anjing. Ada ulama’ yang mengatakan, apapun bentuknya anjing itu bila ia menjilat sesuat maka harus dibasuh sebanyak tujuh kali. Tapi ada ulama’ lain mengatakan, wajib dibasuh sebanyak tujuh kali bila terkena jilatan anjing saja, karena haditsnya “apabila dijilat”, bukan “apabila menyentuh”. Namun bila tidak yakin, sebaiknya tetap dibasuh tujuh kali untuk menghilangkan keragu-raguan meski haditsnya sudah jelas hanya menjelaskan kalau “dijilat”. Adapun najisnya babi, yang shahih yaitu najisnya sama dengan najis-najis yang lain, cukup dibasuh satu kali, basuh yang menghilangkan barang/benda najis itu sendiri dan tidak disyaratkan membasuhnya tujuh kali.
Kalau najis itu berupa kencing, buang air besar, darah dan yang serupa maka ia cukup dibasuh dengan air dan alat, baik sabun atau dedaunan yang dapat menghilangkan bekas najis itu dan mencucinya cukup satu kali.
Adapun bayi yang belum makan makanan selain susu ibunya maka cukup dipercikkan dengan air.
Sedangkan kulit bangkai yang dagingnya boleh dimakan, ia berubah menjadi suci dengan disamak. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “apa saja kulit bangkai dari hewan yang halal dimakan dagingnya, kalau sudah disamak maka dia jadi suci”.
Pertanyaannya, apa itu disamak? Samak ialah dibersihkan dengan alat-alat atau zat-zat yang dapat menghilangkan baunya. Misal kulit kambing, maka bau yang menempel pada kulit itu dapat dihilangkan dengan daun jeruk nipis atau lainnya hingga hilang baunya.
Kalau pakaian wanita kena darah haidhnya maka ia cukup membasuhnya dengan air hingga bersih, kemudian ia boleh shalat dengannya. Jadi, ia tidak perlu mencuci baju itu secara keseluruhan.
Seorang mukmin hendaklah ia konsen terhadap kebersihan dari najis; baik di badan, tempat atau pun pakaian yang digunakan untuk shalat. Karena bersihnya badan, tempat dan pakaian itu bagian atau salah satu syarat sahnya shalat. Wallahu Ta’ala a’lam bis shawab.