Kesejahteraan berasal dari kata dasar sejahtera: aman sentosa dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya). Kesejahteraan: hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketenteraman, kesenangan hidup, dan sebagainya; kemakmuran.[1] Dalam definisi lain dijelaskan:
الرفاهية: الحالة التى تتحقق فيها الحاجات الاساسية للفرد والمجتمع من غداء وتعليم وصحة وتأمين ضد كوارث الحياة.
“Kesejahteraan (welfare) adalah kondisi yang menghendaki terpenuhimya kebutuhan dasar bagi individu atau kelompok baik berupa kebutuhan pangan, pendidikan, kesehatan, sedangkan lawan dari kesejahteraan adalah kesedihan (bencana) kehidupan”. [2]
Kesejahteraan Sosial atau social welfare adalah keadaan sejahtera masyarakat. Dalam Mu’jam Musthalahâtu al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah dijelaskan: الرفاهية الاجتماعية: نسق منظم من الخدمات الاجتماعية والمؤسسات يرمى الى مساعدة الافراد والجماعات للوصول الى مستويات ملا ئمة للمعيشة والصحة كما يهدف الى قيام علاقات اجتماعية سوية بين الافراد بتنمية قدراتهم وتحسين الحياة الانسانية بما يتفق مع حاجات المجتمع. “Kesejahteraan sosial: sistem yang mengatur pelayanan sosial dan lembaga-lembaga untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok untukmencapai tingkat kehidupan, kesehatan yang layak dengan tujuan menegakkan hubungan kemasyarakatan yang setara antar individu sesuai dengan kemampuan pertumbuhan mereka, memperbaiki kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat”. [3]
Pemerintah Republik Indonesia mendefinisikan Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.[4]
Dari ragam definisi di atas, bagaimana Konsep Islam? Pada intinya, kesejahteraan sosial menuntut terpenuhinya kebutuhan manusia yang meliputi kebutuhan primer (primary needs), sekunder (secondary needs) dan kebutuhan tersier. Kebutuhan primer meliputi: pangan (makanan) sandang (pakaian), papan (tempat tinggal), kesehatan dan keamanan yang layak. Kebutuhan sekunder seperti: pengadaan sarana transportasi (sepeda, sepeda motor, mobil, dsb.), informasi dan telekomunikasi (radio, televisi, telepon, HP, internet, dan lain sebagainya). Kebutuhan tersier seperti sarana rekereasi, hiburan. Kategori kebutuhan di atas bersifat materil sehingga kesejahteraan yang tercipta pun bersifat materil. Kesejahteraan sosial yang didambakan al-Quran menurut Qurasih Shihab[5] tercermin di Surga yang dihuni oleh Adam dan isterinya sesaat sebelum mereka turun melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti diketahui, sebelum Adam dan isterinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di Surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu bisa diwujudkan di bumi dan kelak dihuni secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan. Kesejahteraan surgawi ini dilukiskan antara lain dalam QS. Thâhâ/20:117-119, yang berbunyi : “Hai adam, sesungguhnya ini (Iblis ) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari Surga, yang akibatnya engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasakan dahaga maupun kepanasan”. Dari ayat menurut ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial. Lebih lanjut dalam Undang-undang Kesejahteraan Sosial, kriteria masalah sosial yang perlu diatasi meliputi i) kemiskinan; ii) ketelantaran; iii) kecacatan; iv) keterpencilan; v) ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; vi) korban bencana; dan/atau vii) korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Batasan Analisis Konsep Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial dalam Islam pada intinya mencakup dua hal pokok yaitu kesejahteraan sosial yang bersifat jasmani (lahir) dan rohani (batin). Sejahtera lahir dan batin tersebut harus terwujud dalam setiap pribadi (individu) yang bekerja untuk kesejahteraan hidupnya sendiri, sehingga akan terbentuk keluarga/masyarakat dan negeri yang sejahtera.[6] Mengingat luasnya definisi kesejahteraan dan banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan, maka bahasan kesejahteraan akan dibatasi “lebih kepada aspek ekonomi”. Demikian pula ayat-ayat Al-Quran yang terkait secara langsung dengan konsep kesejahteraan dibatasi pada usaha/bekerja, sebagai titik tolak pemilihan ayat yang akan dibahas. Ayat yang dipilih adalah QS. Al-Taubah/9:105. “dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” Adapun ayat lainnya yang akan dipergunakan untuk memperdalam pembahasan akan dipilih beberapa ayat yang berkaitan, yakni:
Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan invidualistik/perorangan (perintah mencari sumber penghidupan)
Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan komunal dalam keluarga/masyarakat (zakat dan kepedulian terhadap dhuafa)
Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan masyarakat yang lebih luas/negara (keberkahan ahlul quro dan negeri sejahtera atau baladan aminan)
Metode Penafsiran Metode tahlili atau yang dinamai Baqr Al-Shadr sebagai metode tajzi’i adalah suatu metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat dari berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat Al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf. Langkah Penafsiran Analitis (Tahlily) yang ditempuh diupayakan menerapkan metode sebagaimana dijelaskan oleh Shihab (2013),[7] secara sistematis mencakup: a) Bermula dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana urutan dalam Al-qur’an b) Menjelaskan asbabun nuzul ayat ini dengan menggunakan keterangan yang diberikan oleh hadist (bir-riwayah), c) Menjelaskan munasabah, atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelum atau sesudahnya d) Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan hadist Rasulullah SAW ataudengan menggunakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan e) Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut.
BAGIAN II PEMBAHASAN
Ayat Utama
“dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Taubah/9:105) Pada ayat sebelumnya[8] Allah SWT menganjurkan untuk bertaubat dan melakukan kegiatan nyata antara lain membayar zakat dan bersedekah, kini pada ayat 105 ini mereka diminta untuk –bekerja– melakukan aktivitas lain, baik yang nyata maupun yang tersembunyi. Demikian korelasi dengan ayat sebelumnya menurut Shihab (2009).[9] Lebih lanjut dikatakan bahwa ayat yang lalu bagaikan menyatakan “Katakanlah wahai Muhammad SAW., bahwa Allah menerima taubat,” [dan katakan lah] juga: [Bekerja lah kamu], demi karena Allah semata dengan aneka amal saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum (maka Allah akan melihat), yakni menilai dan memberi ganjaran [amal kamu itu, dan Rasulnya serta orang-orang mukmin] akan melihat dan menilainya juga, kemudian menyesuaikan perlakuan mereka dengan amal-amal kamu itu dan selanjutnya kamu akan dikembalikan dengan kematian kepada Allah SWT [Yang Maha Mengetahui yang gaib dan nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu] sanksi dan ganjaran atas [apa yang telah kamu kerjakan], baik yang nampak ke permukaan maupun yang kamu sembunyikan dalam hati. Latar belakang sebab turunnya kelompok ayat-ayat ini adalah sebagai teguran kepada Abū Lubābah dan kedua kawannya yang tidak ikut dalam Perang Tabuk, namun akhirnya mereka sadar dan bertaubat. Setelah pada ayat sebelumnya penyampaian harapan tentang bertaubat, ayat ini melanjutkan tentang beramal saleh. Hal ini perlu karena walaupun taubat telah diperoleh tetapi waktu yang telah berlalu yang pernah diisi oleh kedurhakaan tidak mungkin kembali lagi, karena itu perlu giat melakukan aneka kebajikan agar kerugian tidak terlalu besar. “Bekerja adalah pijakan kebahagiaan”, demikian menurut Al-Maraghi[10] manakala menafsirkan ayat ini. Posisi bekerja untuk dunia dan akhirat akan dilihat oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Bersabda Nabi SAW “Apabila seseorang diantara kamu bekerja walaupun didalam batu karang yang keras tiada berpintu ataupun berlobang, niscaya Allah akan mengeluarkannya (agar terlihat) keberadaaanya oleh manusia” (HR. Abu Daud). Kata (fa-sa-yaro) yang berarti “maka akan melihat atau menilai”, bagi Allah berarti “Allah akan menilai dan memberi ganjaran”, sedangkan bagi Rasul SAW dan orang beriman berarti “maka Rasul SAW dan orang beriman akan melihat dan menilai”.[11] Menurut penulis kata “melihat/menilai” akan timbul manakala usaha seseorang itu telah nampak, dapat dilihat, atau lebih jauh lagi dapat dibuktikan/dirasakan manfaatnya oleh orang lain.[12] Hal ini seakan memberikan isyarat bahwa bekerja yang sungguh-sungguh itu akan memberi manfaat tidak hanya untuk dirinya, namun untuk kaum muslimin (baca: masyarakat atau bahkan negara), tidak hanya bermanfaat di dunia namun juga bermanfaat untuk kehidupan akhirat, dan orang yang menerima manfaat tersebut akan menilai dan menjadi saksi di akhirat,[13] kesaksian yang diperkuat oleh kesaksian Rasul SAW dan kesaksian dari Yang Maha Mengetahui yang gaib dan nyata (Allah SWT). Selanjutnya untuk menggali isyarat makna bekerja yang dilakukan pada ranah individu, keluarga/masyarakt dan negara akan menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain (ayat pilihan), menggunakan hadist Rasulullah SAW, atau pun dengan menggunakan penalaran analitis-rasional, sebagaimana telah dijelaskan dalam batasan pembahasan.
Ayat-ayat Pilihan
Tidak semua ayat-ayat Al-Quran yang terkait bekerja atau terkait dengan kesejahteraan dibahas dalam makalah ini, namun dipilih enam ayat pada tiga tingkatan yang diharapkan dapat merepresentasikan kesejahteraan pada ranah pribadi, keluarga/masyarakat dan negara. a) Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan pribadi:
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur” (QS. Al-Araf/7:10)
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS Al-Nisa/4: 9).
b) Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan keluarga dan masyarakat
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros” QS. Al-Isra/17:26
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1) Itulah orang yang menghardik anak yatim (2) dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin (3)” QS. Al-Maun/107:1-3..
c) Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan pada suatu negara
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’râf/7: 96).
“dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS.Al-Baqarah/2:126)
Rumusan Konsep
Konsep Kesejahteraan Islam – TahlilyDilihat dari pengertiannya, sejahtera yang berarti aman, sentosa, damai, makmur, dan selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya, maka pengertian ini sejalan dengan pengertian “islam” yang berarti selamat, sentosa, aman, dan damai.[17] Dari pengertiannya ini dapat dipahami bahwa masalah kesejahteraan sosial sejalan dengan misi Islam itu sendiri. Misi inilah yang sekaligus menjadi misi kerasulan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut : “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. al-Anbiyâ/21:107).
Kehadiran Islam di semenajung Arab telah berhasil merubah status kesejahteraan masyarakat arab pada waktu itu –yang sebelumnya sangat timpang. Kekayaan sebagian besar dimiliki segelintir bangsawan dari pemuka arab, namun setelah Islam kekayaan terdistibusi lebih merata. Islam telah hadir dengan segenap konsep (sosialnya).[18] Dengan Demikian dapat dikatakan bahwa kesejahteraan sosial dimulai dengan “islam“, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Agama Islam memberikan kemaslahatan yang besar, karena dipegang oleh orang yang amanah. Selain itu Islam mengajarkan konsep untuk berbagi, membagi nikmat, membagi kebahagian dan ketenangan tidak hanya untuk individu namun untuk seluruh umat muslim lintas negara.[19] Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad Saw., melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga seimbang. Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra’, dan lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan kesejahteraan sosialnya.[20]
Ranah Pribadi
Sesungguhnya Allah SWT ketika menciptakan bumi Ia memberkahi di dalamnya, melengkapi dengan bahan-bahan makanan, perbekalan-perbekalan dan sumber-sumber kekayaan di dalam bumi dan permukaannya guna kebutuhan hidup hamba-hambanya sehingga merasa sejahtera dan bahagia. Tugas setiap orang (individu) dalam masyarakat Islam diharuskan bekerja dan diperintahkan adalah bekerja[21] mencari sumber penghidupan (ma’ayisha), sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-A’raf/:10, dan pada ayat lainnya (QS. Al-Isra/70, QS. Ghofi:64, QS. Hud:6, QS. Al-Mulk:15, QS. Al-Jumah:10). “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur” (QS. Al-A’raf/7:10). Setelah menerangkan sumber-sumber kekayaan yang Allah SWT peruntukan kepada manusia, ayat suci di atas meyakinkan bahwa sumber-sumber kekayaan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Hal ini dijelaskan pula dalam QS. Ibrahim/14: 34. “dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari [nikmat Allah]”. Bekerja mencari sumber penghidupan (ma’ayisha), adalah senjata utama untuk memerangi kemiskinan, modal pokok dalam mencapai kekayaan, dan faktor dominan dalam menciptakan kemakmuran dunia. Dimana dalam tugas ini Allah SWT telah memilih manusia untuk mengelolanya (QS. Hud:61). Islam sangat mengecam pengangguran, peminta-minta dan orang pasif yang hanya menunggu rizki. Semua usaha dan untuk mencari rizki yang halal dicatat sebagai ibadah. Beberapa kutipan hadis yang menguatkan:
“Senantiasa (ada) yang meminta-minta kepada manusia sampai datang hari kiamat, dan tidak terdapat di wajahnya sepotong daging-pun” (HR. Bukhari Muslim)
“Tidak ada suatu makanan yang lebih baik bagi seseorang, melainkan apa yang dihasilkan dari karya tangannya” (HR. Bukhari)
“Merantau lah kalian, niscaya kalian akan menjadi kaya” (HR. Thabrani)
Segenap jerih payah hasil usaha manusia tersebut dinilai sebagai sedekah baginya,[22] yakni dari harta yang diusahakan dengan cara yang halal dan untuk dibelanjakan di jalan Allah SWT. Akhir ayat QS. Al-A’raf/7:10 di atas mengisyaratkan banyaknya manusia yang tidak pandai bersyukur. Hal ini dapat dinilai sebagai salah satu wujud dari perilaku zalim yang juga dikecam pada akhir ayat QS. Ibrahim/14:34 “Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari [nikmat Allah]”.
Kezaliman manusia dalam hal distribusi kekayaan dan keingkaran mereka atas nikmat Allah SWT (dengan semena-mena mengeksploitasi sumber-sumber anugrah) adalah dua faktor yang menciptakan kesengsaraan hidup bagi manusia sejak awal sejarah. Dalam bidang ekonomi, Islam mengatur distribusi kekayaan agar tidak hanya beredar di kalangan para konglomerat (“…kay lâ yakûna dûlatan bayna al-aghniyâ’ minkum..”: QS. al-Hayr/59: 7). Sebaliknya Islam menghendaki agar setiap muslim berjuang meningkatkan kekayaan untuk merealisasikan tujuan manusia sebagai khalifah dan bukan merupakan pangkal dari terjadinya dosa. Keadaan ini lah yang menjauhkan manusia dari tuhannya.[23]
Sistim perekonomian dalam Islam tidak hanya dihitung menurut kalkulasi aritmatika dan kapasitas produksi, namn merupakan suatu sistim yang komprehensif yang merupakan gabungan antara bisnis dan norma-norma etis (moral). Transaksi bisnis sangat diperhatikan dan dimuliakan, perdagangan yang jujur, tidak saling menipu, semua dilakukan oleh setiap individu maupun perusahaan dengan penuh kejujuran dan saling menghormati. Segala ketentuan perekonomian, perdagangan dan usaha lainnya dalam Islam adalah untuk memperlihatkan hak individu yang dilindungi, dan untuk meningkatkan solidaritas yang tinggi dalam masyarakat.[24]
Dengan kerangka normatif seperti itu, menurut Hendrawan (2009) mudah bagi pelaku usaha untuk mengembangkan pola mentalitas berkelimpahan (abundance mentality) yakni pola hidup yang lebih banyak memberi daripada menuntut kepada pihak lain. Adapun bisnis dalam sistim kapitalis tidak memiliki konsep normatif seperti itu. Karenanya semua bekerja dengan logika keuntungan jangka pendek dan sempit. Persaingan juga mendorong pada eksploitasi manusia, perusakan lingkungan, dan pelanggaran kepentingan umum. Akibatnya jangka panjang bukan saja dunia bisnis yang terancam, namun juga keberlangsungan hidup manusia terancam. karena bekerja harus menciptakaan manfaat yang terbaik, tidak heran jika Islam mengajarkan wajibnya ihsan (bekerja dengan baik) dan jihad (bekerja dengan sungguh-sungguh).
Bagi orang yang beriman dan bertakwa bekerja dengan baik adalah karena kesadarannya tentang Allah yang Maha Melihat atas segala sesuatu. (lihat QS. Al-Taubah/105: “dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”).[25] Perintah dan motivasi bekerja tersebut diisyaratkan pula pada QS Al-Nisa/4:9, Allah SWT mengingatkan manusia agar takut apabila meninggalkan suatu generasi yang lemah, “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Ayat tersebut dalam arti luas memberikan motivasi lebih lanjut agar, usaha yang dilakukan secara maksimal untuk kesejahteraan pribadi dan anak-anak tanggungannya. Kehidupan yang layak di masa depan harus menjadi fokus perhatian orang bertakwa, salah satunya melalui penyisihan sebagian hasil usaha sebagai tabungan –salah satu penggalan ayat yang diulang-ulang Al-Quran sebagai tanda orang bertakwa adalah: “Dan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan” (QS. Al-Baqarah/2: 3) Sebagian lain (yang tidak mereka nafkahkan itu), mereka tabung, demikian tulis Muhammad Abduh, guna menciptakan rasa aman menghadapi masa depan, diri, dan keluarga.[26] Kewajiban lain yang ditetapkan kepada setiap individu adalah zakat fitrah, sedangkan kepada individu sebagai pemilik harta yang sudah mencapai nishab-nya berupa zakat māl.[27] Jelaslah dengan demikian bahwa tujuan kehidupan (ghāyah Al-Hayāt) setiap individu dalam Islam adalah merupakan tujuan bermasyarakat.[28] Jadilah insan rabaniyyah yang saling mencukupi antara kebutuhan jasmani dan ruhani, dua hal yang saling melengkapi.[29]
Ranah Keluarga dan Masyarakat
Menurut Murthadha Muthahari “Tidak diragukan lagi menurut Al-Quran bahwa mengabdi dan ihsan (berbuat baik) pada masyarakat merupakan salah satu dari nilai-nilai insani dan ilahi, yakni suatu kebaikan dan kesempurnaan yang mengandung nilai yang sangat tinggi.”[30] Dorongan untuk memperhatikan keluarga terdekat dan orang yang membutuhkan tercantum jelas dalam ayat : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” QS. Al-Isra/17:26 Kata (ātū) pada ayat tersebut bermakna pemberian sempurna. Pemberian yang dimaksud bukan hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat materi tetapi juga immateri. Setelah pada ayat sebelumnya memberi tuntunan menyangkut ibu-bapak, ayat ini melanjutkan tuntunan kepada kerabat selain mereka, (Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat) baik dari pihak ibu maupun bapak, walau keluarga jauh (akan haknya) berupa bantuan, kebajikan dan silaturahim dan demikian juga (kepada orang miskin) walaupun bukan kerabat, (dan orang yang dalam perjalanan) baik berupa zakat[31] maupun sedekah ataupun bantuan yang mereka butuhkan, (dan janganlah kamu menghambur-hamburkan [hartamu] secara boros) yakni pada hal-hal yang tidak mendatangkan kemaslahatan.[32] Adapun kata tabzir/pemborosan dimaknai sebagai pembelanjaan untuk maksiat kepada Allah SWT dan lebih luas lagi semua pengeluaran yang yang bukan haknya.[33]
Dalam beberapa riwayat dikemukakan bahwa ada pembesar Kafir Quraish yang setiap minggu menyembelih unta, suatu ketika ada seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang disembelih, namun ia tidak memberinya. Peristiwa tersebut merupakan latar belakang turunnya tiga ayat pertama dalam QS.Al-Maun/107. Tentu saja perilaku pembesar Quraish itu dapat dikategorikan kedalam perbuatan tabzir/pemborosan yang dikecam pada QS. Al-Isra/17:26 di atas,[34] dan mereka termasuk golongan orang yang mendustakan agama (hari pembalasan). “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1) Itulah orang yang menghardik anak yatim (2) dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin (3)” QS. Al-Maun/107:1-3. Redaksi ayat di atas bukanlah “tidak memberi makan”, melainkan “tidak menganjurkan memberi pangan”. Ini mencerrninkan kepedulian. Yang tidak memiliki kemampuan memberi, minimal harus menganjurkan pemberian itu. Jika ini pun tidak dilakukannya, sesuai ayat di atas ia termasuk orang yang mendustakan agama dan hari pembalasan.[35]
Ranah Bernegara
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara negara, demikian bunyi UUD 1945.[36] Kewajiban negara adalah mewujudkan negeri yang sejahtera, adil dan makmur. Namun demikian Al-Quran memberikan syarat tercapainya negeri yang sejahtera tersebut yakni (‘lau’/jikalau) hanya melalui iman dan takwa. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS. Al-A’râf/7: 96). Kata barakat dalam ayat di atas berarti kebaikan Tuhan. Kebaikan itu tidak diterima begitu saja oleh manusia. Ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh manusia untuk mendapatkannya. Allah SWT mengaitkan pemberian-Nya (berkah) dengan keimanan dan ketaqwaan. Melalui ketakwaan, suatu penduduk negeri menjadikan mereka saling bekerjasama dalam kebajikan dan tolong menolong dalam mengelola bumi dan menikmatinya bersama. Semakin kukuh kerjasama dan semakin tenang jiwa, semakin banyak pula yang dapat diraih.[37]
Kebaikan itu dapat muncul dari langit dan dari bumi. Menurut Al-Maraghi, berkah dari langit mencakup pengetahuan yang diberikan Tuhan dan ilham (bimbingan)-Nya dan dapat pula berarti hujan dan semacamnya yang mengakibatkan kesuburan dan kemakmuran tanah. Sedangkan berkah dari bumi adalah tumbuhnya tanaman setelah turunnya hujan dari langit. Berkah berupa turunnya hujan dari langit yang menyuburkan tanah. Akibatnya, makmurlah kehidupan penghuni bumi. Berkah lain adalah berupa ilmu pengetahuan dan pemahaman terhadap sunatullah (hukum alam). Ringkasnya menurut al-Maraghi, bila penduduk negeri beriman dan bertaqwa, Allah akan memperluas kebaikan kepada mereka dalam segala segi.[38] Dalam hubungannya dengan tambahan kebaikan ini, Rasulullah bersabda: “Harta benda tidak akan berkurang karena disedekahkan” (HR. Bukhari).
Secara lahiriyah, mengeluarkan sedekah berarti mengurangi harta. Akan tetapi secara tersirat, harta tidak akan berkurang, bahkan akan bertambah, yakni artinya, Tuhan akan menambah lagi rejeki kepada orang yang mengeluarkan harta, yang boleh jadi tanpa diduga dan tanpa diketahui oleh orang tersebut. Orang yang merasa merugi karena mengeluarkan harta di jalan Allah, karena ia hanya mencari hubungan lahiriyah antara infak harta di jalan Allah dengan kebaikan yang diperolehnya.[39]
Lebih lanjut dalam konteks bernegara maka infaq, sedekah dan zakat merupakan salah satu sumber yang dapat dijadikan kemakmuran oleh negara menurut Yusuf Qardhawi. Zakat bukan lah suatu kebajikan individual akan tetapi suatu sistem penertiban sosial yang pengelolaannya diserahkan kepada negara dan diurus oleh lembaga administrasi yang terartur yang sanggup menghimpun dan membagi kepada yang berhak menerimanya. Negara juga wajib menyediakan jaminan sosial termasuk penciptaan lapangan kerja.[40] Menurut Al-Maududi (1948), adalah hak semua orang untuk berusaha dan memperoleh bagian mereka dari bahan-bahan hidup yang telah dikaruniai tuhan bagi manusia di atas bumi ini. Islam menjamin supaya dalam usaha ini semua diberi kesempatan-kesempatan yang sama dan fair chances yang sama pula buat semua orang.
Salah satu dari kewajiban negara ialah melindungi hak-hak perorangan manusia menurut syariat dan menjamin agar hak-hak itu memenuhi kewajiban-kewajiban mereka terhadap masyarakat sebagaimana ditetapkan oleh hukum. Beginilah Islam mengadakan keseimbangan antara individualisme dan kolektivisme.[41] Demikian maka dapat ditemukan salah satu korelasi langsung antara manifestasi iman dan takwa, dengan penciptaan kesejahteraan pada suatu negeri. “dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS.Al-Baqarah/2:126)
Ayat di atas adalah doa Nabi Ibrahim AS untuk menjadikan negeri yang ditempati orang beriman (kepada Allah dan hari kemudian) sebagai negeri yang aman sentosa, yang dicukupkan limpahan rezki tidak hanya bagi penduduk yang beriman, namun juga termasuk yang kafir (sebagai kesenangan sementara). Ayat ini mengisyaratkan seakan keamanan dan kesejahteraan ini bukan hanya milik umat Islam, namun dalam konteks bernegara merupakan hak setiap orang sebagai hak dasar (asasi).
Dengan demikian setiap insan harus memperoleh perlindungan jiwa, harta, dan kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas harta secara tidak sah, mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau menggelari dengan sebutan yang tidak senonoh, berprasangka buruk tanpa dasar, mencari-cari kesalahan, dan sebagainya. Kesemuanya ini terlarang dengan tegas, karena semua itu dapat menimbulkan rasa takut, tidak aman, maupun kecemasan yang mengantarkan kepada tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan batin yang didambakan. Kewajiban negara adalah mewujudkan negeri yang sejahtera, adil dan makmur bagi setiap warga penduduknya dapat tercapai, tanpa memandang suku golongan maupun agamanya –sesuai dengan misi Islam rahmat bagi semesta alam.
BAGIAN III PENUTUP
Sebagai penutup, menurut penulis metode tahlily untuk menganalisis suatu konsep dirasakan “lebih sulit”, karena tidak fokus pada permasalahan yang dibahas –bahkan pada beberapa bagian terkesan dipaksakan, dan dihubung-hubungkan. Namun, walau bagaimana pun akhirnya nampak suatu jalinan yang dapat menghubungkan setiap ayat yang dibahas –meski tidak dalam satu surah yang sama– dalam jalinan temali yang indah dan kronologis yang runut. Selanjutnya dapat disampaikan kesimpulan terhadap konsep kesejahteraan dalam Islam, diantaranya:
Kesejahteraan sosial sejalan dengan misi Islam sebagai rahmatan lil alamin, yang diwujudkan melalui bekerja untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Pemenuhan kebutuhan tersebut wajib dilakukan untuk meraih kesejahteraan setiap individu, dalam keluarga dan masyarakat dan dalam suatu negeri.
Kewajiban individu adalah bekerja, berusaha untuk mencari nafkah yang baik agar mencukupi kebutuhan. Kemudian setiap harta yang diperoleh dibelanjakan di jalan yang baik (karenanya dinilai sebagai sedekah), bahkan sebagian disisihkan sebagai tabungan masa depan untuk jaminan kesejahteraan masing-masing.
Perhatian, bantuan, kebajikan dan silaturahim kepada keluarga/kerabat, dan kepada orang miskin walaupun bukan kerabat, dan orang yang membutuhkan baik berupa zakat maupun sedekah ataupun bantuan lainnya adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pada level keluarga/masyarakat.
Negara berkewajiban mewujudkan negeri yang sejahtera, adil dan makmur, dengan segala kebijakan dan strateginya –termasuk pengelolaan zakat, penciptaan lapangan kerja, dan lain sebagainya. Namun demikian Al-Quran memberikan syarat tercapainya negeri yang sejahtera tersebut yakni melalui iman dan takwa dari masing-masing penduduknya. Dengan kata lain kesejahteraan negeri tidak dapat dicapai tanpa pencapaian kesejahteraan pada level individu yang akan membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera berlandaskan iman dan takwa.
Kesimpulan Besar: “Bekerja untuk meraih kesejahteraan adalah tugas setiap orang, karenanya ia milik setiap orang dalam bingkai keluarga, masyarakat dan bernegara”.