Konflik Israel-Palestina merupakan salah satu konflik terpanjang dan paling kompleks di dunia. Konflik ini melibatkan sejumlah isu, termasuk klaim teritorial, hak-hak pengungsi Palestina, status Yerusalem, dan ketidaksetujuan mendasar sebagian besar negara Arab terkait eksistensi negara Israel.
Seiring berjalannya waktu Baitul Maqdis (Yerusalem) menjadi pusat konflik yang kompleks, terutama sejak berakhirnya Perang Dunia I dan pembentukan negara Israel pada tahun 1948. Pada saat itu, negara Israel didirikan di wilayah yang sebagian besar diambil dari wilayah Mandat Palestina di bawah kekuasaan Inggris. Ini menciptakan situasi ketegangan antara penduduk Arab dan Yahudi di wilayah tersebut.
Perpindahan Yahudi ke Baitul Maqdis (Yerusalem) memiliki sejarah yang kompleks dan bercabang, terutama sejak awal abad ke-20 hingga pembentukan negara Israel pada tahun 1948. Beberapa faktor, termasuk Deklarasi Balfour dan Mandat Palestina yang diberikan oleh Liga Bangsa-Bangsa kepada Inggris, memengaruhi perpindahan dan pemukiman Yahudi di wilayah tersebut.
Bangsa Yahudi yang terserak ke seluruh dunia sangat mendambakan untuk kembali ke Tanah Perjanjian, yang dijanjikan oleh Allah kepada Abraham (Ibrahim as, dalam tradisi Islam), leluhur mereka. Sebab sudah selama ratusan tahun bangsa Yahudi bermukim di negeri orang, tanpa negara dan tanpa tanah mereka sendiri.
Pendeta Alexander Keith, DD, seorang pendeta Kristen dan Restorasionis Kristen, pada tahun 1843, menulis bahwa orang-orang Yahudi adalah “bangsa tanpa negara; bahkan sebagai tanah mereka sendiri, seperti yang kemudian ditunjukkan, sebagian besar adalah sebuah negara tanpa rakyat”. Dalam kata-kata yang paling umum, tanah tanpa rakyat dan rakyat tanpa tanah, frasa tersebut muncul di media cetak dalam ulasan buku Keith tahun 1844 di majalah Scottish Free Church.
“Tanah tanpa rakyat untuk rakyat tanpa tanah” adalah ungkapan yang banyak dikutip terkait dengan gerakan mendirikan tanah air Yahudi di Palestina pada abad ke-19 dan ke-20. Blackstone Memorial, sebuah pernyataan dukungan tahun 1891 untuk menjadikan Palestina sebagai negara Yahudi, ditandatangani oleh ratusan tokoh Amerika terkemuka dan mendapat perhatian luas. Meskipun Peringatan tersebut tidak memuat frasa “tanah tanpa rakyat”.
John Lawson Stoddard, seorang pembicara populer dan penulis buku perjalanan, menerbitkan sebuah buku perjalanan tahun 1897 di mana ia menasihati orang-orang Yahudi, “Kalian adalah bangsa tanpa negara; yang ada adalah negara tanpa masyarakat. Bersatulah. Wujudkan impian lama Anda penyair dan bapa bangsa. Kembalilah, kembalilah ke tanah Abraham”.
Israel Zangwill, yang awalnya adalah seorang Zionis tetapi segera menjadi seorang Anti-Zionis terkemuka dan pendukung asimilasionisme, adalah salah satu pengguna frasa yang paling produktif. Pada tahun 1901 dalam New Liberal Review, Zangwill menulis bahwa “Palestina adalah negara tanpa rakyat; orang-orang Yahudi adalah rakyat tanpa negara”.
Zangwill berkata, “Palestina hanya mempunyai sedikit populasi orang Arab, felahin, dan pengembara, pelanggar hukum, dan memeras suku-suku Badui. “Pulihkan negara tanpa rakyat kepada rakyat tanpa negara. (Dengar, dengar). Karena kita punya sesuatu untuk diberikan dan juga untuk didapatkan. Kita bisa menyapu bersih si pemeras—apakah dia Pasha atau Badui—kita bisa membuat hutan belantara berkembang seperti mawar, dan membangun di jantung dunia sebuah peradaban yang dapat menjadi mediator dan penafsir antara Timur dan Barat.” Pada tahun 1902, Zangwill menulis bahwa Palestina “saat ini masih merupakan wilayah Turki yang hampir tidak berpenghuni, ditinggalkan, dan hancur”.
Frasa “tanah tanpa rakyat” yang menggambarkan bahwa Palestina merupakan wilayah yang hampir tidak berpenghuni, merupakan suatu kebohongan yang sangat menyesatkan. Namun orang-orang zionis tetap mempopulerkan frasa tersebut untuk mencari dukungan dan menarik minat bangsa Yahudi lainnya untuk berpindah ke Palestina.
Setelah “menyadari sepenuhnya bahaya Arab”, beberapa tahun kemudian Zangwill berupaya meralat frasa “tanah tanpa rakyat”. Katanya kepada audiensi di New York, “Palestina sudah memiliki penduduknya. Pashalik di Yerusalem sudah dua kali lebih padat penduduknya dibandingkan Amerika Serikat.”
Pada tahun 1908, Zangwill mengatakan kepada pengadilan London bahwa ia bersikap naif ketika menyampaikan pidatonya pada tahun 1901 dan sejak itu “menyadari berapa kepadatan penduduk Arab”, yakni dua kali lipat kepadatan penduduk Amerika Serikat.
Pada tahun 1913, Zangwill melangkah lebih jauh dengan menyerang orang-orang yang bersikeras menyatakan bahwa Palestina adalah “kosong dan terlantar”.
Mufti Yerusalem, Mohammad Amin al-Husayni, yang menyatakan bahwa “Palestina bukanlah tanah tanpa rakyat untuk rakyat tanpa tanah!”
Pada tanggal 13 November 1974, pemimpin PLO Yasir Arafat mengatakan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Rakyat kami sangat sedih menyaksikan penyebaran mitos bahwa kampung halamannya adalah gurun pasir hingga akhirnya menjadi berkembang berkat kerja keras para pemukim asing, bahwa itu adalah negeri tanpa penduduk.”
Dalam “Deklarasi Kemerdekaan” tanggal 14 November 1988, Dewan Nasional Palestina menuduh “kekuatan lokal dan internasional” “berusaha menyebarkan kebohongan bahwa ‘Palestina adalah negeri tanpa rakyat.'”
Salman Abu Sitta, pendiri dan presiden Masyarakat Tanah Palestina, menyebut ungkapan tersebut sebagai “kebohongan jahat yang membuat rakyat Palestina kehilangan tempat tinggal.”
Hanan Ashrawi menyebut frasa ini sebagai bukti bahwa Zionis “berusaha menyangkal keberadaan dan kemanusiaan orang Palestina.”
Namun Zionis tetap bersikeras untuk menguasai Palestina dan berpindah ke Tanah Perjanjian tersebut, sehingga Zionis harus memilih menciptakan konflik dengan rakyat Palestina. Zionis beranggapan bahwa orang-orang Arab harus keluar dari Palestina atau berurusan dengan “populasi asing dalam jumlah besar”.
Zionis takkan pernah menerima dan mengakui Solusi dua negara (two-state solution), yang merupakan salah satu opsi solusi konflik Israel–Palestina. Sejarah dari kerangka solusi telah tertulis dalam resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai “penyelesaian damai tentang masalah Palestina” yang ada sejak tahun 1974. Resolusi tersebut menyerukan untuk “kedua negara, Israel dan Palestina … hidup berdampingan dengan batas negara yang diakui” dengan “sebuah resolusi masalah sesuai dengan resolusi PBB 194“. Batas negara Palestina “berdasarkan dengan batas negara sebelum tahun 1967”.
Namun Israel tidak menyepakati resolusi PBB tersebut. Bagi Zionis, wilayah bekas Mandat atas Palestina tidak akan menjadi bagian dari Negara Palestina, dan akan menjadi bagian dari wilayah Israel. Zionis akan selalu menolak jika Tanah Perjanjian dijadikan “dua negara untuk dua warga.”
Zionis akan berupaya menguasai wilayah Palestina sepenuhnya. Mereka tiada henti berupaya untuk mengusir rakyat Palestina dari negerinya sendiri. Sebab solusi “dua negara untuk dua warga” hanya akan menimbulkan masalah dan menyebabkan bangsa Yahudi menderita.
Menurut Ze’ev Jabotinsky, Zangwill memberitahunya pada tahun 1916 bahwa, “Jika Anda ingin memberikan sebuah negara kepada orang-orang yang tidak memiliki negara, sangatlah bodoh jika membiarkannya menjadi negara dua orang. Ini hanya akan menimbulkan masalah. Orang-orang Yahudi akan menderita dan begitu pula tetangga mereka. Salah satu dari keduanya: tempat yang berbeda harus ditemukan baik untuk orang Yahudi atau untuk tetangga mereka”. Karena itu, Zionis memilih untuk selalu berupaya mengusir rakyat Palestina dari negerinya sendiri.
(Anton Kristiono)
Sumber:
Wikipedia Bahasa Indonesia Ensiklopedia Bebas, “Solusi Dua Negara,” November 5, 2023, https://id.wikipedia.org/wiki/Solusi_dua_negara.
Wikipedia Bahasa Indonesia Ensiklopedia Bebas, “Tanah Tanpa Rakyat Untuk Rakyat Tanpa Tanah,” November 1, 2023, https://en.wikipedia.org/wiki/ A_land_without_a_people_for_a_people_without_a_land.
Yayasan Lembaga SABDA (YLSA), “AlKitab SABDA,” 2021, https://alkitab.sabda.org/.