Masyarakat merupakan entitas yang kompleks. Individu-individu dan unit-unit sosial di dalamnya beraktivitas dan menjalin hubungan-hubungan sehingga timbul struktur sosial, stratifikasi sosial, diferensiasi sosial, dan sebagainya. Struktur sosial antara lain menampakkan konfigurasi pranata-pranata sosial dan kesalingterkaitannya dalam masyarakat. Stratifikasi sosial menggambarkan relasi kuasa antara unsur-unsur pembentuk masyarakat. Adapun diferensiasi sosial menghadirkan keberagaman unsur-unsur pembentuk masyarakat secara horizontal.
Dengan kompleksitas yang dimilikinya, setiap masyarakat bersifat dinamis atau senantiasa berubah. Perubahan lingkungan alam, adanya penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kontak atau masuknya pengaruh dari masyarakat lain adalah beberapa hal menyebabkan terjadinya perubahan suatu masyarakat. Perubahan yang terjadi pada struktur sosial mengindikasikan adanya perubahan sosial dalam masyarakat. Selain struktur sosial, indikator lain bagi perubahan sosial adalah berubahnnya hubungan sosial. Menurut Horton dan Hunt, perubahan sosial antara lain meliputi perubahan dalam segi distribusi kelompok usia, tingkat pendidikan rata-rata, tingkat kelahiran penduduk, penurunan kadar rasa kekeluargaan dan informalitas antartetangga karena adanya perpindahan orang dari desa ke kota, dan perubahan peran suami sebagai atasan yang kemudian menjadi mitra istri dalam keluarga.[1]
Fakta menunjukkan bahwa setiap masyarakat selalu mengalami perubahan dalam struktur dan hubungan sosialnya. Perubahan ini bisa terjadi dalam tempo lambat dan perlahan atau dalam tempo cepat dan tiba-tiba. Contoh yang paling terlihat adalah perubahan yang dialami oleh masyarakat pedesaan. Mulanya masyarakat pedesaan berbasis pada pertanian, hubungan antarwarganya bersifat personal dan primordial, serta kalangan elit didominasi oleh para pemilik tanah (sistem feodal). Seiring dengan proses pembangunan dalam berbagai bidang, terutama infrastruktur, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan, masyarakat mengalami perubahan.
Salah satu faktor yang mampu menyebabkan terjadinya perubahan sosial adalah agama. Sebagai pranata sosial yang berintikan keyakinan terhadap adanya Kekuatan Adikodrati yang melampaui manusia dan alam semesta, agama menyediakan perangkat nilai, norma, dan aturan yang meliputi segenap aspek hidup manusia, tidak terkecuali dalam hidup bermasyarakat. Sebagaimana disinyalir oleh Clifford Geertz, agama tidak melulu urusan metafisika atau etika semata, tetapi merupakan perpaduan keduanya sehingga menjelma menjadi tata perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Konsekuensinya, agama juga melahirkan sistem kebudayaan.[2]
Terkait dengan perubahan sosial, Islam sebagai salah satu agama besar di dunia, mempunyai karakteristik yang khas. Islam tidak seperti tradisi Hindu yang menganggap bahwa sejarah (termasuk di dalamnya dinamika kehidupan masyarakat) tidak diterima karena tidak penting dan sepele. Islam juga tidak seperti Kristen yang menganggap bahwa kerajaan Tuhan tidak berada di dunia ini tapi hanya bisa ditemukan dalam diri orang-orang yang mempercayai Yesus. Hindu dan Kristen lebih menekankan upaya esoterik yang bersifat etis-individual daripada mewujudkan satu tatanan masyarakat tertentu. Dalam Islam, para penganutnya sudah mencari Tuhan dalam sejarah. Alquran memberi misi historis bagi umat Muslim, yakni membentuk komunitas yang seluruh anggotanya –walaupun yang paling lemah- diperlakukan dengan rasa hormat. Seorang Muslim harus menyelamatkan sejarah sehingga urusan-urusan masyarakat dan negara tidak menghalangi kehidupan spiritualitas, bahkan merupakan bagian dari agama itu sendiri.[3]
Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan, bagaimana perubahan sosial dihadirkan dan dipandang dalam Alquran sebagai sumber hukum dan pedoman utama umat Islam? Adakah ayat-ayat dalam Alquran yang mengatur perubahan sosial? Jika ada, bagaimana konteksnya dengan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat? Tulisan sederhana ini akan mencoba menelusuri jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Beberapa Ayat Alquran mengenai Perubahan Sosial
Perubahan sosial terkandung dalam Alquran baik secara eksplisit pada proses perubahan di masyarakat maupun merujuk pada struktur masyarakat dan sistem sosial yang dikehendaki oleh Allah SWT. Sebagai sebuah proses, perubahan sosial mengandung beberapa karakterietik dan aspek yang antara lain termuat dalam ayat-ayat berikut:
1. Otonomi Masyarakat
Sebagaimana manusia-manusia pembentuknya yang mempunyai otonomi dalam berkehendak dan bertindak, masyarakatpun diberi otonomi oleh Allah untuk menjalani proses sosial sebagai konsekuensi hidup bersama. Allah berfirman dalam Surat Ar-ra’du ayat 11:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Sebuah kaum (masyarakat) hidup dalam konteks zaman dan alam tertentu. Karenanya, mereka harus beradaptasi dan berupaya agar keberadaanya bisa bertahan dan berkembang. Individu-individu atau kelompok-kelompok sosial pembentuknya mesti beraktivitas dan menjalin relasi-relasi yang terintegrasi satu sama lain sehingga keutuhannya sebagai sebuah masyarakat tidak terganggu. Mereka mesti membangun norma dan etos hidup bersama sehingga keseimbangan hidup bermasyarakat bisa terus terjaga. Dinamika ini turut menentukan ‘kualitas’ hidup masyarakat tersebut, baik dari aspek nilai, kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan, termasuk teknologi dan produk-produk budaya yang dihasilkan.
Kualitas kehidupan masyarakat ini menentukan apakah masyarakat tersebut bersifat progresif (maju) atau mengalami kemunduran. Dalam situasi ini, Allah menegaskan bahwa suatu masyarakat (kaum) mempunyai otonomi atau kesempatan dan kewenangan untuk mengubah keadaannya sendiri atau tidak. Allah memberikan kepercayaan kepada suatu kaum untuk berupaya mengubah keadaannya dari situasi mundur (terbelakang) menjadi situasi yang maju baik secara lahiriah maupun batiniah. Dengan kata lain, Allah menghendaki adanya kerja keras yang aktif dari sebuah masyarakat, bukan sikap pasif yang fatalistik menerima keadaan.
Ayat ini juga mengisyaratkan kepada kita agar membangun upaya rekayasa sosial (social engineering) menuju keadaan yang dicita-citakan. Upaya ini memerlukan perencanaan, pengoganisasian, penggerakan dan pengendalian secara sistematis agar bisa berjalan efektif dan efisien. Upaya ini juga membutuhkan ‘perangkat keras’ berupa organisasi sosial, baik yang bersifat legal formal, seperti negara dengan lembaga-lembaganya, maupun organisasi informal, seperti perkumpulan warga, dan sebagainya. Pelembagaan dan birokratisasi ini memang bukan satu pilihan yang wajib diambil tetapi prinsip-prinsipnya diperlukan agar proses rekayasa sosial bisa berjalan optimal.
Upaya ini dengan sendirinya merupakan proses perubahan sosial yang memerlukan peran serta dari segenap unsur masyarakat. Dengan kata lain, diperlukan para agen perubahan sosial yang berkhidmat bagi kemajuan masyarakat disertai kesadaran bahwa semua upaya yang dilakukan mempunyai dimensi spriritual karena tentu saja penentu segala keberhasilan adalah Allah SWT. Namun dengan ayat tersebut, Allah jelas-jelas menegaskan bahwa Dia tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum tersebut berupaya untuk mengubahnya.
2. Dinamika/Pertumbuhan Masyarakat
Masyarakat terdiri dari individu-individu yang terjalin sedemikian rupa sehingga menjadi satu entitas utuh. Konsekuensi dari hal ini adalah apa ayang dialami atau dilakukan oleh individu, akan mempengaruhi dan membentuk karakteristik masyarakat. Namun terjadi pula hal sebaliknya, yaitu masyarakatpun mempengaruhi individu. Meminjam istilah Peter Berger, di antara masyarakat dan individu terjadi proses dialektika. Hal ini diisyaratkan oleh Allah SWT dalam Alquran, Surat Al-fath ayat 29 berikut:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Dengan analogi yang indah, Allah SWT mengibaratkan orang-orang yang bersama dengan Rasulullah SAW seperti tanaman yang tumbuh dari tunas sehingga menjadi pohon yang tegak lurus. Sebagaimana kita tahu, pohon tumbuh secara perlahan dari struktur dan bentuk yang sederhana menjadi struktur dan bentuk yang kompleks. Pertumbuhan dan perkembangan seperti ini bisa disebut sebagai proses evolusi. Dan jika dilihat dari keseluruhan ayat di atas, maka evolusi yang dialami oleh individu-individu tersebut, pada gilirannya akan juga membentuk evolusi masyarakat secara keseluruhan. Pada awal ayat tersebut ditegaskan bahwa orang-orang yang bersama Rasulullah hidup berkasih sayang yang dengan kata lain, membangun masyarakat.
Dalam sosiologi dan antroplogi, khususnya dalam ranah teori perubahan sosial, banyak ahli yang mengemukakan teori tentang pertumbuhan masyarakat yang dikenal dengan istilah teori evolusi sosial. Para ahli tersebut antara lain Ibn Khaldun, Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Ferdinand Toennies, dan Van Peursen. Para ahli ini mengemukakan teori-teori yang masing-masing mempunyai kompleksitasnya sendiri. Meski begitu, mereka sepakat setidaknya dalam memandang masyarakat sebagai organisme dan perubahannya sebagai pertumbuhan organik. Masyarakat, sebagaimana organisme, terdiri dari unsur-unsur yang dapat dilihat (sel, individu) yang tergabung dalam unit-unit yang lebih kompleks (organ, institusi) dan dipersatukan oleh jaringan hubungan tertentu (anatomi organik, ikatan sosial).[4]
Namun fakta sejarah membuktikan kepada kita bahwa sebuah masyarakat mempunyai masa tumbuh, maju, lalu mengalami kemunduran. Peradaban Mesir Kuno, Mesopotamia, India Kuno, Cina Kuno, Romawi, dan Kekhalifahan serta Dinasti-Dinasti Muslim, adalah beberapa contoh dari masyarakat yang tumbuh, maju, dan mengalami kemunduran. Saat ini kita harus mengakui bahwa masyarakat yang sedang mengalami kemajuan, setidaknya dalam ekonomi dan teknologi, adalah masyarakat Barat yang secara geografis dan kebudayaan berada di Eropa dan Amerika. Kebudayaan Baratlah yang sekarang mendominasi dunia dengan nilai dan cara hidup modernisme yang diusungnya.[5] Mengenai ‘kemestian’ ini, Allah SWT berfirman dalam Alquran Surat Yunus ayat 49:
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah”. Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).”
Dalam ayat di atas, Allah menegaskan bahwa tiap-tiap umat mempunyai ajal atau masa keruntuhannya sendiri. Allah juga memerintahkan kita untuk menginsyafi bahwa pada akhirnya kehendak Allah-lah yang berlaku. Meskipun begitu, bukan berarti kita boleh bersikap fatalistik dengan tidak melakukan usaha sama sekali. Kita tetap diperintahkan untuk berupaya mengubah nasib (masyarakat) kita sejalan dengan firman-Nya dalam Surat Ar-ra’du ayat 11. Pada titik ini, terbukti bahwa Islam bersifat wasathan (pertengahan), termasuk dalam menyikapi kewenangan/otonomi yang diberikan kepada masyarakat dengan sunnatullah atau ketentuan Allah yang berlaku. Kita dituntut untuk cerdas dan proporsional menempatkan diri antara usaha (kasab) dengan berserah diri (tawakkal) kepada Allah SWT.
3. Tujuan Perubahan Sosial
Sebagai agama yang mengandung prinsip-prinsip etika, Islam mempunyai konsep dalam tujuan perubahan sosial dengan menyediakan tujuan yang mesti dicapai oleh sebuah masyarakat. Masyarakat tidak dibiarkan menjalani proses tanpa tujuan, tetapi diarahkan untuk menuju kondisi ideal yang dicita-citakan. Masyarakat ideal yang dicita-citakan Islam adalah masyarakat yang anggota-anggotanya saling mencintai (tahabub), saling menasehati (tawashi dan tanahi), memiliki rasa persaudaraan (ta’akhiy), bekerja sama (ta’awun), saling mengajar (ta’alum), percampuran (tazawuj), saling menghibur (tawasi), dan saling menemani (tashaduq dan ta’anus).[6]
Masyarakat yang terbangun juga mesti mendahulukan kemaslahatan dan tidak berbuat kerusakan. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-a’raaf: 56).
Apabila mampu terwujud masyarakat etis yang terintegrasi, beriman, dan bertakwa kepada Allah SWT, maka keberkahan akan melimpahi masyarakat tersebut. Allah SWT sudah berjanji dalam Alquran:
“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Q.S. Al-a’raaf: 96)
Ayat di atas menegaskan bahwa penduduk suatu negeri harus beriman dan bertakwa secara bersama-sama. Hal ini mengisyaratkan bahwa sesama anggota masyarakat harus terintegrasi dan bahu-membahu menuju kondisi masyarakat ideal yang dicita-citakan. Tanggung jawab mewujudkan masyarakat yang ideal bukanlah tanggung jawab perseorangan tapi merupakan tanggung jawab kolektif. Perintah untuk saling menolong dan saling mengingatkan (menasihati) termuat dalam ayat-ayat Alquran.
Penutup
Islam adalah agama revolusioner. Pada masa awal perkembangannya, Islam mampu mengubah tatanan masyarakat Arab yang bertumpu pada kesukuan yang feodal dan elitis, menjadi masyarakat yang egaliter dan terbuka. Batas-batas primordialisme didobrak diganti oleh persamaan ideologi. Dalam penilaian Karen Armstrong, hal ini merupakan sebuah inovasi yang mengagumkan dalam masyarakat Arab.[7] Sedangkan Al-faruqi menilai bahwa Islam telah membangun suatu gesselschaft yang murni, suatu persaudaraan universal di bawah hukum agama dan moral dan mengundang semua manusia untuk ikut bergabung di dalamnya.[8]
Sifat revolusioner yang bergerak dalam sejarah ini memberi bukti kepada kita bahwa Islam adalah agama yang menempatkan perubahan sosial sebagai sesuatu yang penting. Kita bisa menyaksikan bagaimana Rasulullah membangun masyarakat di Madinah yang sama sekali berbeda dengan struktur masyarakat Arab yang berlaku pada masa itu. Begitu juga para khalifah penerusnya (khualafaurrasyidin) yang menjaga dan mengembangkan masyarakat madani yang terbuka, egaliter, dan bersifat kosmopolitan. Meski dengan berbagai dinamika politis yang dialaminya, terbukti bahwa struktur masyarakat yang terbuka, egaliter, dan kosmopolitan ini mampu mengantarkan umat Muslim meraih kejayaan selama berabad-abad dalam beragam bidang, tak terkecuali dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Pencerahan Eropa berutang pada umat Muslim, terutama dalam aspek kebebasan berfikir dan rasionalisme yang mengilhami gerakannya.
Namun tentu beromantika dengan sejarah tidaklah menyelesaikan masalah. Realitas yang tampak di depan mata adalah masyarakat kita mengalami ketertinggalan dalam banyak bidang kehidupan, terutama akhlak dan ekonomi. Angka kemiskinan tetap tinggi sehingga jurang kesenjangan masih menganga lebar. Korupsi sudah mewabah sedemikian rupa dan mencapai tingkat yang memalukan. Peristiwa perampokan, pencurian, perkosaan, kerusuhan, aksi terorisme, dan aneka ketidkastabilan sosial lainnya bermunculan di masyarakat. Dalam situasi seperti ini, penegakan hukum melemah dan norma-norma yang berlaku di masyarakat mengalami penurunan fungsi. Masyarakat kita perlahan-lahan menuju kondisi anomi dan anarki.
Di tengah situasi sulit ini, patutlah kiranya kita merenungkan ayat-ayat Alquran mengenai perubahan sosial. Allah menegaskan bahwa nasib suatu kaum mesti diubah oleh kaum itu sendiri. Perubahan yang dilakukan dianalogikan seperti pohon yang tumbuh dari tunas menjadi pohon yang kukuh tegak. Dinamika masyarakat adalah sunnatullah, tapi manusia dan masyarakat yang dibangunnya diberi otonomi untuk berpikir dan berbuat, bersama-sama bergerak mewujudkan masyarakat yang mendahulukan kemaslahatan, tidak berbuat kerusakan, saling menasihati, saling menyayangi, menjunjung tinggi keadilan, dan tidak kehilangan spiritualitas. Dalam upaya mewujudkan hal itu, kita perlu mengambil bagian. Terutama karena kita adalah Muslim, penganut agama yang menempatkan perubahan sosial sebagai manifestasi penting ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Wallahu a’lam…
[1]Lihat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi (Jilid 2), (Jakarta: PT Erlangga, 2004), hal. 208.
[2]Lihat Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003).
[3]Lihat Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam, (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003), hal. vii-viii.
[4]Lihat Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2008), hal. 115-116.
[5]Saat ini posisi Barat mulai tergeser oleh kebangkitan Cina dan India. Krisis ekonomi yang melanda Eropa dan Amerika serta menguatnya Cina dan India dalam perekonomian dan pertahanan, menjadi indikasi terjadinya pergeseran ini.
[6] Lihat Ismail Raji Al-faruqi, Tauhid, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1995), hal. 132.
[7]Lihat Karen Armstrong, Sepintas.., hal. 17.
[8]Lihat Ismail Raji Al-faruqi, Tauhid.., hal. 121.