Halal bihalal adalah tradisi khas Indonesia yang identik dengan momen Lebaran atau Idulfitri. Di tengah gegap gempita perayaan hari kemenangan, umat Islam di Indonesia berkumpul untuk saling memaafkan, mempererat tali silaturahmi, dan menyucikan hati. Namun, dari mana sebenarnya tradisi ini berasal? Apakah ada dasar keagamaan yang kuat? Dan bagaimana pandangan ulama terhadap praktik ini?
Etimologi
Secara bahasa, istilah halal bihalal tidak ditemukan dalam bahasa Arab klasik. Frasa ini merupakan konstruksi khas Indonesia yang mengandung permainan kata dari akar kata “halal” dan makna ganda yang terkait dengan penghalalan hubungan sosial pasca kesalahan.
Menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), halal bihalal dapat dimaknai sebagai upaya menghalalkan kembali hubungan yang sebelumnya mungkin “haram” atau terganggu karena adanya kesalahan atau pertengkaran.
Asal Mula Tradisi
Tradisi halal bihalal pertama kali diinstitusionalisasi pada masa Presiden Soekarno. Menurut beberapa catatan sejarah, pada 1948, Indonesia sedang mengalami konflik politik dan sosial yang cukup pelik. Soekarno meminta KH Wahab Hasbullah untuk mencari solusi guna mencairkan ketegangan politik. KH. Wahab kemudian mengusulkan istilah “halal bihalal” sebagai momen silaturahmi yang bisa menyatukan berbagai kalangan.
Sejak saat itu, halal bihalal mulai populer di kalangan pejabat negara dan masyarakat umum, terutama saat Idulfitri. Acara ini pun berkembang menjadi tradisi nasional yang unik dan hanya ditemukan di Indonesia.
Pandangan Ulama terhadap Halal Bihalal
Mayoritas ulama di Indonesia memandang halal bihalal sebagai bentuk ‘urf hasan (tradisi baik) yang tidak bertentangan dengan syariat. Esensi dari halal bihalal adalah silaaturahmi dan al-‘afwu wa as-safh (memaafkan), yang sangat dianjurkan dalam Islam.
Dalil-dalil yang menjadi dasar praktik ini antara lain firman Allah Ta’ala:
“… dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (Qs. An Nur: 22)
Dan sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam;
“Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali silaturahmi.” (HR. Bukhari)
Catatan dari Sebagian Ulama
Meski demikian, ada juga beberapa catatan kritis:
- Beberapa ulama mengingatkan agar acara halal bihalal tidak disalahartikan sebagai ritual wajib Lebaran.
- Halal bihalal yang formal dan seremonial tanpa keikhlasan sejati bisa kehilangan makna spiritualnya.
- Jangan sampai halal bihalal menjadi ajang pamer kekayaan atau kepentingan politis semata.
Namun secara umum, para kiai dari Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam besar lainnya mendukung tradisi ini karena nilai-nilai positif yang dikandungnya.