BaitulMaqdis.com — Berdasarkan contoh dari ayat yang terkenal, Yohanes 3:16: “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia memberikan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadanya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Apabila anda ingin membaca artikel sebelumnya, Anda dapat mengklik link berikut: Siapakah yang Menulis Kitab-Kitab dalam Bibel?
Sesuatu yang mengganggu banyak pembaca adalah mengapa penerjemah Bibel menggunakan huruf besar pada kata ganti yang mengacu pada Yesus Kristus. Penerjemah Bibel menggunakan huruf besar pada kata “dia,” “ia”, atau “nya” ketika mengacu pada Yesus Kristus, tetapi tidak menggunakan huruf besar ketika mengacu pada orang lain. Hal ini lebih dikarenakan pada alasan doktrinal daripada karena alasan literatur. Sebagaimana kata pepatah Latin: corruptio optimi pessima: Yang terbaik, ketika dirusak, menjadi yang terburuk.
Keputusan untuk menggunakan huruf besar pada kata “ia,” “nya” dan “dia” ketika mengacu pada Yesus Kristus tidak memiliki dasar dalam manuskrip asalnya. Bahasa Yunani Koine, bahasa manuskrip dimana Perjanjian Baru kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa lainnya (termasuk bahasa Indonesia), tidak memiliki huruf besar (lihat New Catholic Encyclopedia Vol. 13, hlm. 431).
Jadi manuskrip Yunani “yang tidak begitu asli” dimana Bibel diterjemahkan darinya tidak menyebut Yesus Kristus dalam huruf besar. Melainkan, penerjemah Bibel menggunakan huruf besar pada kata “dia” dan “nya” untuk menyesuaikan dengan doktrin gereja, mereka melakukannya untuk meyakinkan pembaca, dan untuk membuat Yesus terlihat seperti Tuhan. Huruf besar dalam Bibel terjemahan lebih dikarenakan keyakinan agama dan bukannya keakuratan tekstual, merupakan hasil dari keyakinan doktrinal daripada karena teks manuskripnya.
Untuk contoh yang nyata, bandingkan Matius 21: 9 dengan Mazmur 118: 26. Mazmur 118: 26 menulis kata “dia” tanpa huruf besar. Bunyi ayatnya sebagai berikut: “Diberkatilah dia yang datang dalam nama TUHAN!” Namun, ketika Matius 21: 9 mengutip ayat dari Mazmur 118: 26, merujuk pada Yesus sebagai “dia” yang “datang dalam nama TUHAN,” penerjemah Bibel dengan sengaja mengubah huruf kecil “dia” pada Mazmur 118: 26 menjadi huruf besar “Dia” dalam upaya mereka untuk membuat Yesus tampak memiliki sifat ilahi. Ini bukanlah sekadar kesalahan ketik; Matius 23:39 mengulangi hal tersebut dengan memakai huruf besar pada kata “Dia” ketika merujuk kepada Yesus. Manipulasi tekstual ini sangat terang-terangan, dengan jelas menunjukkan bahwa para penerjemah tidak menghormati manuskrip Yunani asalnya.
Beberapa orang mungkin membela Bibel dengan mengatakan bahwa ini adalah manipulasi yang kecil. Tapi siapapun yang menganggap Bibel sebagai kitab petunjuk haruslah membaca ayat Bibel berikut dengan seksama, “Barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar” (Lukas 16:10). Bagaimana? Apakah ayat ini juga berlaku kepada para penulis dan penerjemah Bibel? Karena jika mereka tidak benar dalam perkara-perkara kecil, menurut kitab suci mereka sendiri, “ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.” Kalau begitu, bagaimana kita bisa percaya pada hasil terjemahan mereka?
Masalah lainnya adalah bahwa Bibel menyajikan berbagai sudut pandang sehingga orang dapat merancang ribuan pemahaman agama yang berbeda-beda. Dan pada kenyataannya, itulah yang telah mereka lakukan. Berbagai kelompok agama tidak setuju tentang kitab apa saja yang harus dimasukkan dalam Bibel. Kitab yang dianggap pantas dimasukkan dalam Bibel oleh salah satu kelompok, belum tentu dianggap pantas oleh kelompok yang lain. Bahkan di antara kitab-kitab yang telah dikanonisasi, banyaknya variasi dari teks sumbernya menyebabkan tidak adanya keseragaman. Kurangnya keseragaman ini terlampau banyak sampai-sampai The Interpreter’s Dictionary of the Bible menyatakan, “Tidak ada satu kalimat pun dalam Perjanjian Baru di mana antara manuskrip yang satu dengan manuskrip lainnya yang sepenuhnya sama.” [2]
Faktanya adalah ada lebih dari 5.700 manuskrip Yunani yang menjadi bagian dari Perjanjian Baru.
[3] Lebih jauh, “Tidak ada satu pun dari manuskrip ini yang persis sama jika dibandingkan satu sama lain…. Dan beberapa dari manuskrip ini memiliki perbedaan yang signifikan.”
[4] Ditambah lagi ada sekitar sepuluh ribu manuskrip Vulgata Latin, diperparah lagi ada banyak manuskrip kuno lainnya (misalnya manuskrip Suriah, Koptik, Armenia, Georgia, Ethiopia, Nubia, Gothic, Slavia). Jadi ada berapa manuksrip Perjanjian Baru totalnya? Dan mana yang harus kita pilih sebagai manuskrip yang benar dari puluhan ribu manuskrip ini?
Kesimpulannya, ada begitu banyak manuskrip yang tidak sesuai (bervariasi) dan tidak jarang saling bertentangan. Para sarjana memperkirakan jumlah variasi dalam manuskrip-manuskrip itu mencapai ratusan ribu, beberapa sarjana memperkirakan variasinya adalah sekitar 400.000 variasi.
[5] Sebagaimana menurut kata-kata Bart D. Ehrman yang sekarang dikenal luas, “Ada lebih banyak perbedaan dalam manuskrip-manuskrip Bibel daripada banyaknya kata-kata dalam Perjanjian Baru.” [6]
Bagaimana hal ini terjadi tidak penting. Yang penting adalah bahwa kontradiksi dalam manuskrip dasarnya begitu banyak dan sangat fatal, sampai-sampai pemahaman agama berdasarkan Bibel hanya dapat dilihat melalui kacamata skeptisisme, karena faktanya tidak ada manuskrip orisinil yang telah selamat dari periode Kekristenan awal. [7]
Manuskrip lengkap paling kuno (Vatikan MS. No. 1209 dan Sinaitic Syriac Codex) berasal dari abad keempat, tiga ratus tahun setelah misi Yesus berakhir. Tapi dimanakah manuskrip aslinya? Hilang. Dan salinan dari manuskrip aslinya? Juga hilang. Naskah paling kuno yang kita miliki, dengan kata lain, adalah salinan dari salinan dari salinan dari salinan dari entah berapa banyak salinan dari aslinya. [8]
Yang, tentu saja, menjadi salah satu alasan kenapa manuskrip-manuskrip itu tidak ada yang sama.
Bahkan jika dilakukan oleh penulis-penulis terbaik, adanya kesalahan ketika menyalin adalah sesuatu yang sering terjadi. Namun, manuskrip Perjanjian Baru tidak disalin oleh penulis-penulis terbaik. Selama periode awal Kekristenan, para penulisnya tidak terlatih, tidak dapat diandalkan, tidak kompeten, dan dalam beberapa kasus sebagian dari mereka buta huruf.
[9] Mereka yang matanya rabun bisa membuat kesalahan ketika melihat huruf-huruf dan kata-kata yang mirip, sementara mereka yang pendengarannya kurang baik bisa membuat kesalahan ketika menyalin manuskripnya seiring manuskrip itu dibacakan pada mereka. Seringkali para penulis juga terlalu banyak bekerja, dan karenanya cenderung membuat kesalahan karena rasa lelah menyerang mereka.
Seperti dikatakan Metzger dan Ehrman, “Karena kebanyakan, jika tidak semua, dari mereka [para penulis Bibel] masih amatir dalam seni menyalin, sejumlah besar kesalahan dipastikan ada dalam teks-teks mereka ketika mereka menyalin.”
[10] Lebih parah lagi, beberapa penulis Bibel memasukkan doktrin-doktrin yang mereka percayai yang menyebabkan manuskripnya semakin berubah.
[11] Sebagaimana Ehrman menyatakan, “Para penulis yang menyalin teks mengubah teks tersebut.”
[12] Lebih lanjut, “Jumlah perubahan yang sengaja dibuat untuk kepentingan doktrin sulit untuk diukur banyaknya.”
[13] Dan bahkan lebih khusus, “Dalam bahasa teknis kritik tekstual, para penulis Bibel ini telah ‘merusak’ teks-teksnya untuk kepentingan teologis.”
[14] Kesalahan terjadi dalam bentuk penambahan, penghapusan, pertukaran, dan modifikasi, paling sering yang diubah adalah kata-kata atau kalimat, tapi kadang-kadang seluruh ayatnya diubah.
[15] [16] Faktanya, “banyak perubahan dan penambahan-penambahan yang dimasukkan ke dalam teks.”
[17] Sehingga hasilnya adalah “semua saksi yang dikenal dari Perjanjian Baru untuk sebagian besar atau kecil telah mencampur teksnya, dan bahkan beberapa manuskrip paling awal tidak bebas dari kesalahan yang mengerikan.”
[18] Dalam bukunya Misquoting Jesus, Ehrman menyajikan bukti persuasif bahwa kisah perempuan yang berzina (Yohanes 7: 53-8: 12) dan dua belas ayat terakhir dari Markus tidak ada dalam manuskrip Bibel yang asli, tapi ditambahkah oleh para penulis Bibel pada periode kemudian.
[19] Lebih jauh, contoh di atas “hanyalah dua dari ribuan contoh dimana manuskrip Perjanjian Baru telah diubah-ubah oleh para penulis Bibel.”
[20] Bahkan, seluruh kitab dalam Bibel telah dimodifikasi.
[21] Ini bukan berarti isi yang ada di dalamnya pasti salah, tapi jelas juga bukan berarti bahwa isinya benar. Yang pasti kita dapat mengatakan bahwa dengan adanya kelemahan-kelemahan ini menandakan bahwa Bibel tidak dapat dipercaya dan tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kitab suci.
Jadi kitab mana saja yang dimodifikasi? Jadi kitab mana yang dimodifikasi? Efesus, Kolose, 2 Tesalonika, 1 dan 2 Timotius, Titus, 1 dan 2 Petrus, dan Yudas. Sebanyak sembilan dari dua puluh tujuh kitab dan surat Perjanjian Baru, diduga telah dimodifikasi.
[22] Banyak dari kitab-kitab lainnya tidak dikenal siapa yang menulisnya. Cukup luar biasa, bahkan para penulis Bibel tidak diketahui nama-namanya.
[23] Dan daftarnya terus berlanjut, jadi bagi mereka yang tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai topik ini, dapat membaca lebih banyak buku yang ditulis para sarjana Kristen yang membahas hal ini.
Catatan Kaki:
[1] Dow, Lorenzo. Reflections on the Love of God.
[2] Buttrick, George Arthur (Ed.). 1962 (1996 Print). The Interpreter’s Dictionary of the Bible. Volume 4. Nashville: Abingdon Press. hlm. 594-595 (Under Text, NT).
[3] Ehrman, Bart D. 2005. Misquoting Jesus. HarperCollins. hlm. 88.
[4] Ehrman, Bart D. 2003. Lost Christianities. Oxford University Press. hlm. 78.
[5] Ehrman, Bart D. Misquoting Jesus. hlm. 89.
[6] Ehrman, Bart D. The New Testament: A Historical Introduction to the Early Christian Writings. 2004. Oxford University Press. hlm. 12.
[7] Ehrman, Bart D. Lost Christianities. hlm. 49.
[8] Metzger, Bruce M. 2005. A Textual Commentary on the Greek New Testament. Deutsche Bibelgesellschaft, D—Stuttgart. Introduction, hlm. 1.
[9] Ehrman, Bart D. Lost Christianities and Misquoting Jesus.
[10] Metzger, Bruce M. and Ehrman, Bart D. The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration. hlm. 275.
[11] Ehrman, Bart D. Lost Christianities. hlm. 49, 217, 219-220.
[12] Ehrman, Bart D. Lost Christianities. hlm. 219.
[13] Metzger, Bruce M. and Ehrman, Bart D. The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration. hlm. 265. See also Ehrman, Orthodox Corruption of Scripture.
[14] Ehrman, Bart D. 1993. The Orthodox Corruption of Scripture. Oxford University Press. hlm. xii.
[15] Ehrman, Bart D. Lost Christianities. hlm. 220.
[16] Metzger, Bruce M. A Textual Commentary on the Greek New Testament. Introduction, hlm. 3
[17] Metzger, Bruce M. A Textual Commentary on the Greek New Testament. Introduction, hlm. 10.
[18] Metzger, Bruce M. and Ehrman, Bart D. The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration. hlm. 343.
[19] Ehrman, Bart D. Misquoting Jesus. hlm. 62-69.
[20] Ehrman, Bart D. Misquoting Jesus. hlm. 68.
[21] Ehrman, Bart D. Lost Christianities. hlm. 9-11, 30, 235-6.
[22] Ehrman, Bart D. Lost Christianities. hlm. 235.
[23] Ehrman, Bart D. Lost Christianities. hlm. 3, 235. Lihat juga Ehrman, Bart D. The New Testament: A Historical Introduction to the Early Christian Writings. hlm. 49.
[SUMBER: lampuislam.org]