BaitulMaqdis.com — Tidak terlalu mengejutkan ketika bocah laki-laki yang penuh rasa ingin tahu itu mencapai karier puncak sebagai guru besar matematika. Yang mengejutkan ialah ketika bocah yang sangat rasional itu akhirnya meyakini keberadaan Allah, Pencipta Yang Esa.
Selama tahun terakhirnya di sekolah Katolik Notre Dame Boys High, ia mengungkapkan keberatannya secara rasional terhadap keberadaan Sang Maha Kuasa. Diskusi dengan kepala sekolah, orang tua, dan teman sekelas tidak bisa meyakinkan Jeffrey akan keberadaan Tuhan. Dia menjadi atheis pada usia 18 tahun.
Namun, kira-kira sesaat sebelum atau sesudah ia menjadi atheis, Jeffrey bermimpi. Sebuah mimpi yang berulang.
“Ruangan itu sempit dan kosong. Satu-satunya yang ada hanya karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil di atas, seperti jendela bawah tanah, yang mengisi ruangan dengan cahaya penuh,” tutur profesor matematika University of Kansas ini dilansir dari onislam.net, Kamis (28/5).
Ia seperti berada dalam satu baris, laki-laki semua. Tidak ada perempuan. Mereka semua duduk di atas tumit, kemudian bersujud. Ia merasa tenang, sangat tenang.
Saat melihat ke depan, ia menyadari bahwa mereka sedang dipimpin oleh seseorang yang mengenakan jubah putih panjang. Ia hanya bisa melihat sosok itu dari belakang, kemudian terbangun.
Mimpi itu kerap menyambanginya. Dia tidak akan terganggu jika hanya oleh mimpi, tetapi ia merasa kenyamanan yang aneh saat terbangun. Sayangnya, Jeffrey tak tahu aktivitas apa yang ia lakukan di mimpi itu. Ia merasa tidak masuk akal dan memilih tidak menganggap penting.
Sepuluh tahun kemudian, dalam ceramah pertamanya di Universitas San Franisco, ia bertemu seorang mahasiswa Muslim yang menghadiri kelas matematika. Jeffrey segera menjalin persahabatan dengan dia dan keluarganya. Mereka tidak pernah membicarakan agama, sampai salah satu anggota keluarga itu memberinya salinan Alquran.
Jeffery tidak sedang melakukan pencarian agama. Namun, ia toh mulai membaca Alquran itu, meski dengan prasangka kuat.
Ia lantas menemukan dirinya telah terlibat dalam pertempuran sengit. Penulis kitab suci itu seperti mengenalnya lebih baik daripada dia sendiri. Dia seolah-olah bisa membaca pikirannya. Setiap malam, Jeffrey akan membuat pertanyaan dan keberatan tertentu, tetapi menghadirkan jawaban di halaman-halaman selanjutnya.
“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya,” ujar Jeffrey.
Saat itu awal tahun 80-an, tidak banyak Muslim di kampus Universitas San Francisco. Ia hanya menemukan sebuah tempat kecil di basement sebuah gereja tempat mahasiswa Muslim biasa sholat.
Jeffery memutuskan untuk pergi dan mengunjungi tempat itu, setelah mengumpulkan cukup keberanian dalam hatinya. Ketika ia keluar dari tempat itu beberapa jam kemudian, ia sudah mengucapkan syahadat. Sebuah pernyataan hidup baru.
Waktu sholat Dzuhur tiba sesaat kemudian. Jeffrey mengikuti Muslim yang lain, berbaris dalam shaf-shaf dan mulai shalat.
“Kami sujud dengan tenang di atas karpet merah putih. Tenang, sangat tenang. Kemudian, kami kembali duduk di atas tumit. Saya melihat ke depan, tampak Ghassan mengenakan jubah putih panjang. Jendela membanjiri ruangan kecil itu dengan cahaya.”
Mimpi itu! Dia menjerit dalam hati. Persis seperti mimpi!
Ia sudah lupa sama sekali, tapi kini ia tertegun dan takut. Apakah aku bermimpi? Ia bertanya-tanya. Sebuah aliran dingin mengalir melalui tubuhnya dan membuat dia bergidik. Ya Tuhan, ini nyata! Kemudian dingin mereda, digantikan oleh kehangatan yang lembut memancar dari dalam. Air matanya menggenang.
“Tuhan akan membawamu berlutut, Jeffrey,” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun. Sepuluh tahun kemudian, itu menjadi kenyataan. Guru besar matematika itu kini berlutut.
Sumber: REPUBLIKA.CO.ID