Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” [at Taubah/9:117]
Berkaitan dengan larangan mencampuri pertikaian besar di antara sahabat, Ibnu Baththah rahimahullah berkata : “Kita harus menahan diri dari pertikaian yang terjadi di antara sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sllam, dan telah mendahului yang lainnya dalam hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka dan memerintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka, dan mendekatkan diri kepadaNya dengan mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan RasulNya. Allah Maha Tahu apa yang bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada yang lainnya, karena segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah lihat komentar-komentar negatif tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di kediaman Bani Sa’idah dan pertikaian-pertikaian lain yang terjadi di antara mereka. Janganlah engkau tulis untuk dirimu atau untuk orang lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorangpun, dan jangan pula membacakannya kepada orang lain, dan jangan pula mendengarkannya dari orang yang meriwayatkannya.
Itulah perkara yang disepakati oleh para ulama umat ini. Mereka sepakat melarang perkara yang kami sebutkan tersebut. Di antara ulama-ulama tersebut adalah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi’b, Ibnul Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu’aib bin Harb, Abu Ishaq al Fazari, Yusuf bin Asbath, Ahmad bin Hambal, Bisyr bin al Harits dan Abdul Wahhab al Warraq, mereka semua sepakat melarangnya, melarang melihat dan mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang yang membahas dan berupaya mengumpulkannya. Banyak sekali perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka yang ditujukan kepada orang-orang yang melakukannya, dengan lafal bermacam-macam namun maknanya senada; intinya membenci dan mengingkari orang yang meriwayatkan dan mendengarnya”.[1]
Apabila Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan Shiffin dan Jamal, beliau berkata: “Urusan yang Allah telah menghindarkan tanganku darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan lisanku!”[2]
Al Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar al Marwadzi, ia berkata: “Ada yang berkata kepada Abu Abdillah, ketika itu kami berada di tengah pasukan dan kala itu datang pula seorang utusan khalifah, yakni Ya’qub, ia berkata: “Wahai Abu Abdillah, apa komentar Anda tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah?”
Abu Abdillah menjawab,”Aku tidak mengatakan kecuali yang baik, semoga Allah merahmati mereka semua.”[3]
Imam Ahmad menulis surat kepada Musaddad bin Musarhad yang isinya: “Menahan diri dari memperbincangkan kejelekan sahabat. Bicarakanlah keutamaan mereka dan tahanlah diri dari membicarakan pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dengan seorangpun dari ahli bid’ah dalam masalah agama, dan janganlah menyertakannya dalam perjalananmu”.[4]
Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin Malik tentang pokok-pokok dasar Sunnah. Beliau menuliskan di dalam suratnya:
“Termasuk pokok dasar, (yaitu) barangsiapa melecehkan salah seorang sahabat Nabi atau membencinya karena kesalahan yang dibuat atau menyebutkan kejelekannya, maka ia termasuk mubtadi’ (ahli bid’ah), hingga ia mendoakan kebaikan dan rahmat bagi seluruh sahabat dan hatinya tulus mencintai mereka”[5]
Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman ash Shaabuni rahimahullah berkata di dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits : “Ahlu Sunnah memandang, wajib menahan diri dari mencampuri pertikaian di antara sahabat Rasul. Menahan lisan dari perkataan yang mengandung celaan dan pelecehan terhadap para sahabat”.
Dalam kitab Lum’atul I’tiqad, Ibnu Qudamah al Maqdisi berkata: “Termasuk Sunnah Nabi adalah, menahan diri dari menyebutkan kejelekan-kejelekan para sahabat dan pertikaian di antara mereka. Serta meyakini keutamaan mereka dan mengenal kesenioran mereka”.
Dalam kitab Aqidah Wasithiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ahlus Sunnah wal Jama’ah menahan diri dari memperbincangkan pertikaian di antara para sahabat. Mereka mengatakan, riwayat-riwayat yang dinukil tentang kejelekan mereka, sebagiannya ada yang dusta, ada yang ditambah-tambah dan dikurangi serta dirobah-robah dari bentuk aslinya. Berdasarkan sikap yang benar, para sahabat dimaafkan kesalahannya. Mereka itu adalah alim mujtahid, yang kadangkala benar dan kadangkala salah”.
Imam al Asy’ari dalam kitab al Ibanah mengatakan: “Adapun yang terjadi antara Ali, az Zubair dan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhum adalah bersumber dari takwil dan ijtihad. Ali adalah pemimpin, sedangkan mereka semua termasuk ahli ijtihad. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjamin mereka masuk surga dan mendapat syahadah (mati syahid). Itu menunjukkan bahwa, ijtihad mereka benar. Demikian pula yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhuma, juga bersumber dari takwil dan ijtihad. Semua sahabat adalah imam dan orang-orang yang terpercaya, bukanlah orang yang dicurigai agamanya”.
Al Qadhi Iyadh berkata dalam karyanya, Syarah Shahih Muslim: “Mu’awiyah termasuk sahabat yang shalih dan termasuk sahabat yang utama. Adapun peperangan yang terjadi antara dirinya dengan Ali, dan pertumpahan darah yang terjadi di antara para sahabat, maka sebabnya adalah takwil dan ijtihad. Mereka semua berkeyakinan bahwa ijtihad mereka tepat dan benar”.
Al Qahthaani berkata dalam Nuniyah-nya:
Ucapkanlah sebaik-baik perkataan pada sahabat Muhammad
Pujilah seluruh ahli bait dan isteri beliau
Tinggalkanlah pertikaian yang terjadi di antara sahabat
Saat mereka saling bertempur dalam sejumlah pertempuran
Yang terbunuh maupun yang membunuh
sama-sama dari mereka dan untuk mereka
Kedua pihak akan dibangkitkan pada hari berbangkit
dalam keadaan dirahmati
Allah akan membangkitkan mereka semua pada Hari Mahsyar
dan mencabut kebencian yang tersimpan dalam dada mereka!
Hafizh al Hikmi berkata dalam Sullamul Wushul ila Ilmil Ushul:
Kemudian wajib menahan diri dari pertikaian di antara mereka
Yang mana hal tersebut telah berjalan menurut takdir ilahi
Mereka semua adalah mujtahid yang pasti mendapat pahala
Sementara kesalahan mereka diampuni Allah Yang Maha Memberi.
Demikian penjelasan singkat mengenai sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap pertikaian yang terjadi antara Sahabat Mu’awiyah dan Ali Radhiyallahu ‘anhuma. Begitu pula sikap kita kepada para sahabat Nabi n secara keseluruhan.
Wallahu a’lam bish shawab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
[1]. Al Ibanah, karya Ibnu Baththah, halaman 268. Bagi yang ingin mengetahui penjelasan lebih lengkap, silakan lihat kitab as Sunnah, karya al Khallal. Beliau telah menulis sebuah bab dalam kitab tersebut, tentang teguran keras terhadap orang yang menulis riwayat-riwayat yang berisi hujatan terhadap sahabat Nabi.
[2]. As Sunnah, karya al Khallal, 717.
[3]. As Sunnah, karya al Khallal, 713.
[4]. Thabaqaatul Hanaabilah, I/344.
[5]. Thabaqaatul Hanaabilah, I/345.
Sumber : Almanhaj.or.id