MADURA (BaitulMaqdis.com) Pada pertengahan abad ke-19, ada seorang penduduk pulau Jawa keturunan Madura yang bernama Tosari. Setelah ia menjadi orang Kristen pada tahun 1843, Tosari berusaha menyebarkan Injil Kristen ke pulau nenek moyangnya. Karena orang-orang Madura tidak mau menerimanya, maka ia kembali ke Jawa Timur. Beberapa tahun kemudian ia dijunjung tinggi sebagai salah seorang pendekar gereja Jawa, dengan nama kehormatan Kiyai Paulus Tosari.
Salah seorang utusan misionaris dari negeri Belanda yang beroperasi di Jawa Timur pada masa hidup Paulus Tosari adalah Samuel Harthoorn. Pada tahun 1864 Harthoorn dan istrinya itu mulai menetap di Pamekasan, sebuah ibu kota kabupaten di Madura. Selama empat tahun mereka berusaha menjajaki persahabatan dengan penduduk setempat. Mereka berharap agar keakraban itu dapat menjadi suatu jembatan pengkristenan.
Usaha ini gagal dan terhenti setelah terjadi tragedi pada tahun 1868. Ketika Pendeta Harthoorn sedang keluar kota, segerombolan orang Madura di Pamekasan mengepung rumahnya dan membunuh istrinya. Setelah peristiwa yang begitu mengerikan itu, Harthoorn hengkang membawa trauma dan dukanya meninggalkan Madura selama-lamanya.
Sementara itu, di negeri Belanda ada J.P. Esser, seorang pendeta muda yang pandai. Ia belajar teologia dan memperdalam bahasa Madura sampai mencapai gelar doktor. Tahun 1880 ia memasuki pulau Madura dengan misi Kristen. Karena misinya gagal, maka meninggalkan Madura dan menetap di Bondowoso, lalu pindah ke Sumberpakem. Kedua kota kecil di Jawa Timur itu penduduknya banyak yang keturunan suku Madura.
Berkat usaha Dr Esser dan kawan-kawannya, seorang Madura bernama Ebing dibaptiskan di Bondowoso pada 23 Juli 1882. Dialah orang Madura pertama yang memeluk agama Kristen. Tanggal ini kemudian dijadikan tonggak awal berdirinyajemaat Sumberpakem, meskipun peresmian sebagai gereja jemaat baru pada tahun 1900.
Beberapa aksi pendeta di pulau Madura
- 1. Usaha untuk mengartikan bible kedalam bahasa Madura
Penerjemahan dan penerbitan Alkitab bahasa Madura, berkali-kali usaha ini mengalami kegagalan. Usaha ini seolah-olah menabrak benteng baja yang berujung maut.
Pada tahun 1886, Dr. Esser menyelesaikan terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Madura. Lalu ia mengambil cuti dinas ke Belanda, agar terjemahannya itu dapat diterbitkan. Tetapi proyek penerjemahan Bibel bahasa Madura ini kembali mengalami kegagalan karena Esser meninggal dunia pada umur 37 tahun, dan sebagian naskah terjemahan hasil karyanya itu raib.
Pada tahun 1889, seorang pendeta muda bernama H van der Spiegel, berangkat ke Jawa Timur untuk meneruskan misi mendiang Esser. Ia mengerahkan tiga orang Madura untuk menolong penyempurnaan naskah Kitab Perjanjian Baru peninggalan Esser.
Ketika naskah buram terjemahan itu selesai, Spiegel pulang ke Belanda pada tahun 1903 untuk menerbitkan seluruh Perjanjian Baru dalam bahasa Madura. Pada saat Spiegel memperjuangkan proyek penerbitan Bibel bahasa Madura di Belanda, sebuah tragedi terjadi di Madura. Gereja Ebing dibakar massa. Seorang misionaris bersama istrinya nyaris tewas, pada saat rumah mereka dikepung dan dibakar.
Berita buruk ini sampai ke negeri Belanda, sehingga proyek Spiegel terganggu. Akibatnya, hasil karya Spiegel yang diterbitkan hanyalah “Ketab Injil Sotceh see Toles Yohanes” (Kitab Injil Suci Karangan Yohanes).
Salah seorang rekan sekerja Spiegel ialah Pendeta F Shelfhorst. Sejak tahun 1912 ia dan keluarganya tinggal di Kangean Madura. Shelfhorst berusaha menyebarkan kekristenan melalui bantuan sosial dan pengobatan. Tapi, usaha pendeta ini tak membuahkan hasil sama sekali. Tak satu orang pun orang Madura yang masuk Kristen. Hingga pada tahun 1935 Pendeta Shelfhorst pensiun atas permohonannya sendiri. Ia tidak pulang ke Belanda, tetapi menetap di pegunungan Jawa Timur sambil menerjemahkan Bibel ke dalam bahasa Madura. Usaha ini pun gagal karena daerah pegunungan itu dikepung bala tentara Jepang pada tahun 1942. Tiga tahun kemudian, Shelfhorst meninggal dalam sebuah kamp tahanan Jepang di Jawa Tengah. Gagal lagi penerjemahan kitab agama Kristen ke dalam bahasa Madura.
Akhirnya, penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Madura baru selesai 130 tahun sejak kegagalan Pendeta Samuel Harthoorn, tepatnya pada bulan September 1994. Penerjemahnya adalah Ny. Cicilia Jeanne d’Arc Hasaniah Waluyo, seorang guru agama Katolik di SMP Pamekasan. Bibel bahasa Madura ini diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dengan nama “Alketab E Dhalem Basa Madura.”
- 2. Menyebarkan majalah “Midrash Talmiddim”
6966DENGAN motto “melayani yang belum terlayani,” Yosua memimpin redaktur majalah Midrash Talmiddim yang sebagian dibagikan cuma-cuma kepada masyarakat. Beberapa pernyataan yang menyinggung Islam antara lain:
- Yosua mengkristenkan orang satu tahun sebanyak 50 orang lebih, dengan menggunakan bahasa Arab dan Qasidah Arab sebagai daya tarik. (edisi 3, hal. 13-15).
Menyatakan Nabi Muhammad tidak memiliki mukjizat (edisi 3 hal. 17). - Mewajibkan mahasiswa SATT untuk mengkristenkan minimal lima orang Islam dari beberapa suku, antara lain suku Madura, sebagai salah satu syarat kelulusan. (edisi 3 hal. 21; edisi 4 hal. 44).
- Menyebutkan bahwa gambar Maria, Yesus dan salib terdapat di Ka’bah sampai dengan tahun 683 M. (edisi 3 hal. 25).
- Menuduh Nabi Muhammad pernah bergabung dalam ibadah orang kafir dengan cara semedi di goa. (edisi 3 hal. 25).
- Menyebutkan bahwa Al-Qur’an mendukung keabsahan kitab Kristiani. Tak satu pun ayat yang menyatakan bahwa kitab suci Kristiani itu terpalsukan. Al-Qur`an justru menasihatkan umat Islam untuk menghargai kitab-kitab tersebut (edisi 3 hal. 8).
- Menyatakan Al-Qur’an memiliki konteks yang amat miskin untuk bahan rujukan (edisi 4 hal. 12).
- Menebar amarah kepada suku Madura dengan menyatakan bahwa Kristen harus diberitakan kepada suku Madura, meskipun mereka memiliki sikap yang keras dan ganas (edisi 4 hal. 13).
- Menyatakan bahwa Allah dalam Al-Qur’an itu menyesatkan orang dan tidak mengampuni orang (edisi 4 hal. 15-17).
- Menuduh Nabi Muhammad sebagai seorang pemarah yang membuat ayat Al-Qur’an untuk melampiaskan kemarahan kepada orang Yahudi lantaran mereka tidak mau mengakui kenabiannya (edisi 4 hal. 22).
- 3. Aksi Pemurtadan Pendeta Madura
28/11/2006 – Sebuah buletin yang diterbitkan kelompok penginjil di bekasi menulis soal kegiatan misionaris yang ngebet menjadikan pulau yang terkenal dengan budaya karapan sapinya itu sebagai ladang Kristenisasi. “Doakan kepada suku Madura agar mata hati mereka terbuka dan firman Tuhan masuk dalam kehidupan mereka. Doakan para penginjil, pendeta yang sedang menyampaikan kebenaran firman Tuhan. Doakan siswa-siswi sekolah Alkitab yang diutus agar diberi kesabaran dan perlindungan….” tulis MIDRASH TALMIDDIN, sebuah buletin yang berisi informasi proyek Kristenisasi dan ajaran-ajaran Kristen tersebut.
Suku Madura menjadi target gerakan Kristenisasi. Selain bergerilya ke pelosok desa, para penginjil juga mengaku aktif berdialog dengan para ustadz pesantren. Mereka menggunakan metode perbandingan agama dan penginjilan yang menggunakan Alkitab dalam bahasa Arab. Dengan pendekatan kultural, mereka menjadikan Madura ladang pemurtadan.
Kristenisasi yang mengincar Madura memang terbilang nekat. Bagaimana tidak, orang Madura yang terkenal taat memegang Islam dan selama ini sulit ditembus gerakan salibis, tiba-tiba dikejutkan dengan fakta adanya upaya pemurtadan.
Sampul depan edisi ke-4 tahun 2006 buletin yang diterbitkan oleh Yayasan Kaki Dian Emas Bekasi itu, memuat foto orang madura yang masih menggenakan kopiah dan sarung tengah didoakan oleh beberapa orang pendeta. Seperti halnya ritual pembaptisan, tangan seorang pendeta memegang kepala orang Madura tersebut, sambil komat-kamit mendoakan. Entah, apakah orang Madura itu sadar atau tidak.
Adalah Edhie Sapto Wedha, pendeta yang menjadi motor penggerak Kristenisasi di wilayah madura. Pria yang mengaku sebagai asli orang madura ini getol menjalankan misinya dengan berbagai cara. Edhie juga yang terlihat sedang membaptis orang madura seperti dalam sampul depan buletin MIDRASH TALMIDDIN tersebut.
Bersama penginjil lainnya, Edhie menerbitkan buletin tersebut. Dari format dan isi buletin yang banyak menggunakan tulisan berbahasa Arab, Edhie dan kawan-kawan jelas ingin mengaburkan akidah umat Islam. Selain bahasa Arab, istilah – istilah yang familiar dalam ajaran Islam juga kerap mereka gunakan. Dalam misinya, Edhie dikenal piawai menggunakan metode perbandingan agama dan pengabaran injil dalam bahasa Arab. Meski tertulis “Untuk kalangan sendiri”, buletin dengan lambang Bintang David dan pohon Gorqot ini juga beredar luas di masyarakat. “Ini sduah meresahkan umat Islam,” jelas Mulyadi, anggota tim FAKTA.
Dari penelusuran Tim FAKTA, para penginjil ini menjalankan misinya di wilayah Sampang, Madura. Pada beberapa foto yang ada dalam buletin tersebut terlihat jelas, mereka tak sungkan mendatangi masyarakat untuk berdialog dan menjalankan aksi “tipu-tipunya”. Bahkan dalam foto itu digambarkan seseorang yang mengenakan kopiah haji terlihat seperti tak sadarkan diri dikelilingi para pendeta yang sedang mendoakan. “Para ustadz minta didoakan dan mereka dijamah Roh Kudus,” tulis keterangan dalam foto tersebut.
Meski terbilang berani dan melecehkan orang Madura yang terkenal fanatik terhadap Islam, Edhie mengaku aksinya memurtadkan umat Islam di madura tanpa paksaan .”itu berdasarkan kemauan mereka sendiri. Kita tidak memaksa. Kan orang tidak boleh dipaksa dalam beragama,” kilah Edhie saat dikonfirmasi sabili, sambil mengatakan bahwa Islam dan kristen sama-sama sebagai agama misionaris, cuma ada aturan yang tidak membolehkan adanya pemaksaan dalam beragama. “Siapa yang berani maksa orang Madura, Mas?” tambahnya.
Menurut Edhie, kedatangannya ke Madura bukan atas kemauannya sendiri. “Kita diundang bersama mereka. madura itu kan orangnya keras, kemudian mereka lihat Kristen itu penuh kasih, kedamaian. Mereka pilih itu,” terangnya. Mengenai tudingan terhadap buletin dan gerakan pemurtadan yang dilakukannya dengan menggunakan bahasa Arab, Edhie menjelaskan, “Alkitab diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh Waraqah bin Naufal. Itu bukan pelecehan terhadap Islam, sebab Alkitab itu ada dalam bahasa Arab. Kristen itu kan berasal dari Arab.” tambahnya lagi. Meski begitu, Edhie mengaku kegiatannya di sampang sudah dihentikan, karena umat Islam disana melakukan aksi penolakan. Bahkan, dua orang pendeta yang melakukan pemurtadan di sana sempat berurusan dengan aparat hukum.
Mengenai gerakan Kristenisasi di Sampang, tokoh masyarakat Madura yang tinggal di Surabaya, KH Abdurrahman Navis, mengakui hal tersebut sempat membuat orang Madura gerah. Dengan alasan akan menawarkan bantuan kemanusiaan bagi korban konflik Sampit, para pengjinjil melakukan aksi Kristenisasi. “Kasus ini sempat masuk pengadilan, bahkan kedua orang pendetanya sudah dipenjara,” jelas Kiai Navis.
Bagi Kiai Navis, tak ada ceritanya orang Madura murtad dari Islam. Kalau toh ada, menurutnya itu karena ditipu atau diiming – imingi sesuatu yang besar. “secara kultur orang Madura tidak mungkin masuk Kristen. Lebih baik mati daripada masuk Kristen. kalau ada yang maksa, bisa carok!” ucap kiai yang bersuara teduh ini dengan tegas. Menurutnya, gerakan Kristenisasi yang terjadi di Sampang itu terjadi dengan mengelabui umat Islam bahwa ajaran yang mereka sampaikan bukan Kristen, tapi Islam Ayah atau Islamnya nabi Isa. “Orang awam yang tidak ngerti bisa dikelabui soal ini.” tambahnya.
Bukan kali ini saja Edhie membuat ulah. pada tahun 2002 ,pendeta ini terlibat kasus penyekapan puluhan anak yang dipekerjakan sebagai penjaga kandang babi. selain disuruh menjada kandang babi, Edhie juga berusaha memurtadkan anak-anak tersebut. Kasus ini terbongkar berkat laporan masyarakat dan aksi penggerebekan yang dilakukan umat Islam Bekasi.
Saat ini, dengan dalih membuka kursus bahasa Arab, pendeta yang sempat berurusan dengan laskat Ababil pimpinan tokoh Islam Bekasi, KH Sulaeman Zachawerus, ini berusaha memurtadkan umat Islam. Tak tanggung-tanggung, untuk mengelabui masyarakat, pendeta yang mengajar bahasa Arab itu, mengenakan baju koko khas ustadz. “Orang ini tidak kapok. Saya minta Polres Bekasi menindak tegas orang-orang itu,” ujar Sulaeman Zachawerus saat diminta pendapatnya soal kembali berkasinya pendeta Edhie dan kawan-kawan.
Saat diminta konfirmasinya soal kursus bahasa Arab itu, Edhie berlepas tangan. ” Itu bergerak sendiri. Bukan di luar koordinasi saya. Orangnya sudah ada di Bandung, saya juga kehilangan kontak,” ujar lelaki yang tinggal di bilangan Jaka Mulya, Bekasi ini, seolah tak bersalah.
Umat Islam Bekasi meminta aparat penegak hukum bertindak tegas terhadap para perusak akidah kaum Muslimin. Jika aparat lembek, bukan tidak mungkin, seperti kata Sulaeman Zachawerus, “Umat Islam akan bikin perhitungan sendiri!”. (Artawijaya/sabili/al-islahonline.com/Alquin/BaitulMaqdis.com)