Stigma Islam dalam Keluarga Tionghoa: Kisah Perjuangan Lienda Surja Menuju Hidayah
Lienda Surja adalah seorang wanita keturunan Tionghoa yang lahir di Cirebon dan kini tinggal di Jakarta. Dibesarkan dalam keluarga dengan mayoritas keturunan Tionghoa, perjalanan spiritualnya dimulai dari ajaran Buddha yang dianut oleh orang tuanya, hingga berpindah ke Katolik saat menempuh pendidikan di sekolah Katolik dari TK sampai SMA. Namun, perjalanan hidupnya menemukan titik balik yang paling berliku ketika ia memilih untuk memeluk Islam. Pilihan ini membawa tantangan besar, terutama karena adanya stigma negatif yang kuat terhadap Islam di lingkungan keluarganya.
Stigma ‘Rendahan’ dan ‘Tidak Bersih’ (The Stigma)
Lienda menceritakan bahwa secara umum, keluarganya dan sebagian besar komunitas Tionghoa saat itu akan mengizinkan jika ada anggota keluarga yang ingin berpindah ke agama lain (seperti Kristen atau Katolik), kecuali Islam.
Alasan utama pelarangan tersebut berakar pada pandangan yang merendahkan:
Konsep Strata Sosial: Di masa feodal, terdapat pandangan bahwa orang Tionghoa memiliki strata yang lebih tinggi dibanding pribumi, yang mayoritas adalah Muslim. Islam lantas dianggap sebagai agama “orang yang rendah” (orang yang rendah).
Asosiasi Negatif dan Generalisasi: Masyarakat Tionghoa saat itu melihat Islam yang dipraktikkan oleh para pekerja atau pedagang di pinggir jalan (seperti tukang sampah atau tukang bakso) yang dianggap mempraktikkan “Islam turunan” yang tidak memahami ajaran agama secara komprehensif. Mereka menggeneralisasi Muslim sebagai orang yang “jorok” atau berperilaku tidak baik, bukan sebagai agama yang menjunjung kebersihan, kasih sayang, dan keramahan.
Penguatan Stigma oleh Isu Terorisme: Pandangan negatif ini semakin kuat ketika media mulai ramai memberitakan isu terorisme, yang semakin mengukuhkan citra buruk Islam di benak mereka.
Titik Balik Menemukan Akhlak Islam (The Turning Point)
Perkenalan Lienda dengan Islam bermula dari calon suaminya. Suaminya mengenalkan Islam bukan melalui ceramah atau kajian, melainkan melalui akhlak dan perilaku sehari-hari yang baik. Ia juga sering menyisipkan cerita-cerita tentang para sahabat dan Nabi dalam diskusi.
Momen Puncak Keraguan:
Video Irene Handono: Suaminya menunjukkan sebuah video mualaf terkenal, Irene Handono, yang bersyahadat setelah membaca Surah Al-Ikhlas.
Kontradiksi Trinitas: Lienda mulai membandingkan konsep Trinitas yang diyakininya dengan ajaran dalam Surah Al-Ikhlas yang menegaskan bahwa Tuhan itu Esa dan tidak beranak. Ketika ia bertanya kepada pemuka agama Katolik, jawabannya hanya “imani saja”, sementara calon suaminya memberikan jawaban yang logis dan mendorongnya untuk berpikir.
Masa Agnostik: Keraguan ini memuncak, membuat Lienda menjalani masa agnostik (percaya Tuhan, tidak percaya agama) selama setahun, tidak mendatangi gereja maupun masjid.
Jalan Hidayah:
Setelah setahun tanpa arah, Lienda mulai mendapatkan petunjuk: bermimpi mengenakan kerudung putih yang bersinar dan mendengar suara azan pada pukul 3 pag. Ia menyadari bahwa hidup harus memiliki tujuan, dan meyakini bahwa petunjuk tersebut adalah hidayah dari Allah. Akhirnya, ia memutuskan untuk bersyahadat di Masjid Lautze, didampingi dan didukung penuh oleh keluarga calon suaminya.
Perang Dingin Keluarga (Family Conflict)
Setelah bersyahadat, Lienda sempat menyembunyikan keislamannya. Pengakuan terpaksa dilakukan ketika ia akan menikah. Kakak dan adiknya menerima, namun memperingatkan soal ayahnya.
Ancaman dan Penerimaan: Ancaman Dicoret dari KK: Ayahnya terkejut dan sempat menolak dengan keras, bahkan mengancam akan mencoret namanya dari Kartu Keluarga.
Syarat dan Penolakan Tegas: Setelah pertemuan yang menenangkan dan setelah mengetahui semua sepupunya mendukung keputusannya, sang ayah akhirnya mengizinkan pernikahan, namun dengan syarat Lienda harus kembali ke agama lamanya. Lienda menolak dengan tegas, menyatakan bahwa pilihannya sudah final.
Akhir Bahagia: Berkat ketegasan dan doanya, sang ayah akhirnya menerima dan bahkan bersedia hadir di atas pelaminan pada hari pernikahannya. Setelah pernikahan, pandangan sang ayah terhadap Islam mulai berubah. Bahkan, adik Lienda pun akhirnya menyusul masuk Islam.
Diskriminasi di Tempat Kerja (Workplace Discrimination)
Setelah menjadi mualaf, tantangan terbesar Lienda selanjutnya adalah diskriminasi di lingkungan kerja. Ia harus mencari cara untuk menunaikan salat, yang awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Tuduhan Korupsi Waktu: Lienda mulai dituduh korupsi waktu karena mengambil waktu untuk salat di musala bawah, sementara rekan kerja Muslim turunan tidak menghadapi tuduhan serupa.
Persulitan KPI: Indikator Kinerja Utama (KPI) Lienda sengaja dipersulit, mencegahnya mendapatkan bonus setelah rekan kerjanya tahu ia adalah mualaf.
Resign dan Tantangan Melamar Kerja: Karena lingkungan kerja yang diskriminatif dan tidak nyaman, Lienda memutuskan untuk resign. Dalam proses melamar kerja selanjutnya, ia menemukan bahwa kehadirannya yang berhijab berbeda dengan foto di CV-nya (non-hijab) menjadi penghalang. Ia sering diwawancarai hanya sebagai formalitas dan diperlakukan dengan penuh kecurigaan.
Transformasi Iman dan Pesan untuk Mualaf (Transformation and Advice), setelah Islam, Lienda mengalami transformasi karakter yang signifikan. Semula ia adalah orang yang tidak sabaran, harus mandiri, dan mudah sakit jika pekerjaan tidak selesai. Kini, ia belajar untuk bersabar dan menjalani proses, serta mengubah pandangannya dari mengandalkan diri sendiri menjadi bertawakal kepada Allah. Kekhawatiran soal rezeki pun hilang, karena ia meyakini bahwa rezeki sudah ditetapkan oleh Allah dan pasti akan datang.
