Hukum mengusap sepatu dan pembatal-nya
Islam adalah agama yang sempurna dan yang mudah sebab didalamnya semua ibadah tidak semuanya diwajibkan maka ada ibadah yang sunnah, dan dalam agama islam kita sebagai muslim mendapatkan keringanan apabila kita memiliki sesuatu rukhsah ( sesuatu alasan yang dapat meringankan kita dalam ibadah ) misal nya dalam agama islam,kita umat muslim dalam ibadah shalat boleh dalam keadaan duduk atau berbaring apabila kita dalam keadaan sakit parah yang mana kita tidak bisa shalat dalam keadaan berdiri dan apabia melakukan nya menjadikan kita lebih parah dalam keadaan sakitnya itu.
Dalam syariat Islam, kemudahan (rukhsah) merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Salah satu bentuk kemudahan itu adalah mengusap sepatu (khuffain) saat berwudhu, sebagai ganti dari membasuh kaki dalam rukun wudhu, maka membasuh sepatu hukumnya adalah diperbolehkan dalam islam.
Dan rukhsah dalam mengusap sepatu sebagai ganti dalam salah satu rukun berwduhu, itu memliki ketentuan – ketentuan yang sudah disyaritkan oleh agama islam, yaitu bagi seorang muslim yang bermukim ( tidak dalam berpergian ) maka rukhsah dalam mengusap sepatu atau diperbolehkan baginya mengusap sepatu saat hendak berwudhu adalah satu hari satu malam atau dua puluh empat jam ia boleh untuk mengusap sepatunya sebagai ganti dari salah satu rukun berwudhu semenjak dia memakai sepatu. Kemudian bagi yang berpergian ( bersafar ) maka ia diperbolehkan untuk mengusap sepatunya dalam tiga hari tiga malam semenjak ia memakainya
Hukum ini berlaku dalam kondisi tertentu dan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam.
Pertama, Sepatu dipakai setelah bersuci secara sempurna yang dimaksud dengan bersuci secara sempurna adalah bahwa seseorang harus sudah menyempurnakan wudhu terlebih dahulu, termasuk membasuh kedua kakinya, sebelum mengenakan sepatu. Jika seseorang memakai sepatu dalam keadaan belum berwudhu, atau berwudhu tapi belum membasuh kakinya lalu langsung memakai sepatu, maka tidak sah baginya mengusap sepatu tersebut ketika wudhu berikutnya.
Dari hadits Al-Mughirah bin Syu’bah, disebutkan: “Saya bersama Nabi ﷺ dalam suatu perjalanan. Saya menuangkan air untuk beliau, lalu beliau membasuh wajahnya, kedua tangannya, dan mengusap kepalanya. Ketika saya hendak membuka kedua sepatunya, beliau berkata: ‘Biarkan saja, aku memakainya dalam keadaan suci.’ Lalu beliau mengusap di atas kedua sepatunya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memakai sepatunya setelah dalam keadaan suci, yakni setelah wudhu lengkap. Inilah yang menjadi dasar bahwa syarat sahnya mengusap sepatu adalah sepatu tersebut harus dipakai setelah suci.
Kedua, Sepatu menutupi bagian kaki yang wajib dibasuh dalam wudhu, bagian kaki yang wajib dibasuh adalah dari ujung jari kaki hingga mata kaki. Maka dari itu, sepatu yang sah untuk diusap harus dapat menutupi seluruh area ini. Jika sepatu hanya menutupi sebagian kaki, misalnya hanya telapak kaki atau bagian tumit saja maka tidak sah untuk diusap dalam wudhu. Syarat ini menegaskan bahwa fungsi sepatu harus bisa mengganti basuhan kaki, sehingga harus menutupi seluruh bagian yang semestinya dibasuh.
Para ulama fikih menjelaskan bahwa di antara syarat sahnya mengusap sepatu adalah:“Sepatu harus menutupi seluruh bagian kaki yang wajib dibasuh saat wudhu, yaitu sampai mata kaki.”Syarat ini diambil dari makna dan praktik wudhu itu sendiri, yang dalam kondisi normal mengharuskan membasuh seluruh bagian kaki. Maka, ketika diganti dengan rukhsah berupa mengusap sepatu, syaratnya harus tetap sepadan. Selain itu, dalam hadits Al-Mughirah bin Syu’bah disebutkan bahwa Nabi ﷺ membiarkan sepatunya tetap terpakai karena beliau memakainya dalam keadaan suci. Sepatu yang dipakai oleh Nabi ﷺ itu termasuk khuff (sejenis sepatu atau pelindung kaki yang menutupi hingga mata kaki), bukan sandal terbuka atau sepatu pendek.
Ketiga, Terbuat dari bahan yang kuat dan layak digunakan berjalan Syarat bahwa sepatu harus terbuat dari bahan yang kuat dan layak digunakan untuk berjalan berarti sepatu tersebut: Mampu melindungi kaki dari kerusakan atau bahaya saat digunakan berjalan jauh. Tidak mudah robek atau rusa,. Tidak bolong di bagian utama kaki, Biasa digunakan dalam perjalanan atau kegiatan sehari-hari. Jika alas kaki tersebut tipis, mudah sobek, berlubang besar, atau hanya digunakan sebagai hiasan dan bukan untuk berjalan, maka tidak termasuk dalam jenis sepatu yang boleh diusap dalam wudhu.
Sebagaimana pada Dasar Syariat dan Pandangan Ulama Para ulama fikih menjelaskan bahwa di antara syarat sahnya mengusap sepatu (khuffain) adalah: “Sepatu tersebut harus kuat, menutupi bagian kaki yang wajib dibasuh, dan biasa dipakai untuk berjalan.” Syarat ini diambil dari praktik Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat yang menggunakan khuff, yaitu pelindung kaki dari bahan kulit yang kuat dan memang dirancang untuk perjalanan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa rukhsah mengusap sepatu ini diberikan karena sepatu yang kuat memudahkan dalam perjalanan dan menjaga kaki, sehingga menggantikan fungsi membasuh kaki dalam wudhu dengan cara diusap bagian atasnya.
Namun, seperti halnya keringanan lain dalam syariat, rukhsah ini tidak bersifat mutlak. Ada hal-hal tertentu yang dapat membatalkan rukhsah tersebut, sehingga seseorang kembali wajib membasuh kakinya secara langsung saat berwudhu. Oleh karena itu, penting untuk memahami apa saja pembatal rukhsah mengusap sepatu agar ibadah tetap sah dan sesuai tuntunan syariat.
Pertama, Melepas Sepatu Jika seseorang melepas sepatu yang sebelumnya diusap saat berwudhu, maka batal hukum mengusapnya. Hal ini karena salah satu syarat sahnya mengusap adalah sepatu tetap dipakai selama masa rukhsah berlangsung. Jika sepatu dilepas, maka wudhu berikutnya harus membasuh kaki secara langsung. Maka Melepas sepatu berarti rukhsah tidak lagi berlaku, sebab kaki tidak lagi tertutup oleh alas kaki yang diusap.
Kedua, Habis Jangka Waktu maka Rukhsah mengusap sepatu memiliki batas waktu, yaitu: Sehari semalam ( dua puluh empat jam) bagi orang mukim (yang tidak dalam perjalanan). Tiga hari tiga malam ( tujuh puluh empat jam) bagi musafir (orang yang sedang bepergian). Jika waktu tersebut telah habis, maka rukhsah tidak berlaku lagi, dan seseorang harus kembali membasuh kedua kaki dalam wudhu.
Ketiga,Terjadi Hadats Besar yang Mewajibkan Mandi Jika seseorang mengalami hadats besar, seperti junub (karena hubungan suami-istri atau mimpi basah), maka rukhsah mengusap sepatu batal secara otomatis. Sebab, hadats besar mengharuskan mandi, dan seluruh anggota badan (termasuk kaki) harus dibasuh secara sempurna. Dalam hadits dari Shafwan bin ‘Assal disebutkan:“Rasulullah ﷺ memerintahkan kami agar tidak melepas sepatu saat safar selama tiga hari tiga malam, kecuali karena janabah, sedangkan untuk buang air besar, kecil, atau tidur tidak membatalkan (rukhsah).” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)
Hukum mengusap sepatu adalah bentuk kemudahan yang diberikan dalam Islam, terutama dalam kondisi safar. Namun, syarat-syaratnya harus dipenuhi agar ibadah wudhu tetap sah. Ilmu tentang hal ini penting diketahui oleh setiap muslim agar dapat menerapkannya dengan benar saat dibutuhkan.