BaitulMaqdis.com — Ust. Bernard dilahirkan di kota Malang dalam keluarga Katolik ordo Roma. Saat dewasa beliau menjadi salah satu Penginjil dan ditugaskan menyusup ke pondok pesantren untuk belajar Al-Quran bersama beberapa orang teman. Sampai beliau hafal 5 juz Al-Quran, la qadarallah hidayah masuk ke hati beliau dan para penginjil lainnya, hingga akhirnya mereka berikrar sebagai muslim, dan berbalik arah menjadi mubaligh yang mendakwahkan kebenaran agama Allah, Islam. Allahuakbar.
Beliau menyampaikan bahwa program kristenisasi dan syi’ah-isasi sudah lama berjalan di Indonesia, bahkan Indonesia adalah negara tujuan no. 1 se-Asia Pasifik atas program pengkafiran tsb, dan kedua setelah Afrika ditingkat dunia.
Kristenisasi memiliki dalil yang kuat sebagai dasar pelaksanaannya, yaitu “Amanat Agung Yesus” dalam Injil Matius Pasal 28 Ayat 19 yang berbunyi “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Matius 28 : 19)
Ayat tersebut diatas ternyata palsu, yaitu ayat yang sengaja ditambahkan penginjil. Dimana sebenarnya Injil Matius Pasal 28 yang asli berakhir pada ayat 15.
QS. Al-Baqarah :120 berbunyi “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
Menurut data valid yang dimiliki Ust. Bernard, kristenisasi akhir-akhir ini telah berhasil memurtadkan 1.7 juta umat islam Indonesia setiap tahunnya (baik islam kaffah apalagi yang awam). Namun Alhamdulillah disisi lain ada sekitar 2 juta muallaf baru di Indonesia setiap tahunnya.
Model kristenisasi tidak lagi berhasil dengan cara memusnahkan mushaf Al-Quran, memalsukan ayat-ayatnya ataupun dengan menyusupkan penginjil mempelajari Al-Quran untuk mencari kelemahannya. Hal ini justru akan menyebabkan dampak yang berkebalikan atas upaya tipu daya tersebut.
Gerakan kristenisasi kini terasa lebih efektif dengan strategi menjauhkan umat islam dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
Cara ini dimulai dengan menyiapkan kader yang bisa menguasai ekonomi dan pemerintahan serta merusak budaya.
Kita sama sama bisa melihat bagaimana generasi saat ini lalai dengan sholat, lalai menutup aurat, lalai zakat, lalai puasa, lalai kajian Al-Quran.
Tapi sekarang sudah umum yang namanya bermain musik, nonton bioskop lalu sholatnya diakhirkan, bercampurnya lelaki dan perempuan bukan muhrim, CFD (car free day), merokok ditempat umum, dsb. Kekerasan dan pengrusakan yang tidak adil dan tidak diadili.
Pelatihan pasukan bersenjata Syi’ah bisa mendapat fasilitas di Halim Perdana Kusuma. Pembangunan Christian Center di Jakarta bisa menerima kucuran dana pemerintah miliaran rupiah, tingkat pembangunan gereja lebih dari 300% setahun (pembangunan masjid hanya 40%).
Kepengurusan MUI dulu yang juga diduduki oleh kalangan Syi’ah, dan banyak lagi contoh lainnya. Program kristenisasi di targetkan pada tahun 2020 akan masuk ke tahap penuaian.
Hal ini diperparah dengan rencana syi’ah yang diprediksi pada tahun 2018 akan melakukan revolusi di Indonesia.
Na’udzubillahi min dzalik, jangan sampai revolusi berdarah di Suriah dan Mesir, atau perang di Palestina terjadi juga di Indonesia. Kasihan anak cucu kita yang akan mengalami masa-masa tersebut.
(Syi’ah mulai ada sejak zaman Khalifah Usman Bin Affan r.a. dengan pendirinya adalah pemuka yahudi Abdullah bin Saba yang menghasuti hingga Kholifah Utsman dan Ali terbunuh dan bersama Majusi Persia – Iran kini – terus mengacau mengadu-domba).
Jika Nasrani, Yahudi dan Syi’ah sudah sedemikian rupa mempersiapkan diri untuk mengalahkan Islam, lantas apa yang umat Islam telah lakukan untuk membentengi diri atau bahkan melawan semua serangan tersebut ?
Sama-sama kita ketahui bahwa umat Nasrani melakukan panggilan untuk beribadah dengan menggunakan lonceng atau musik, Yahudi dengan terompet dan Majusi Persia dengan api berdewa Achire Mazda.
Saat ini notabene rakyat Indonesia yang beragama Islam, pada tahun baru masehi (bukan tahun baru hijriyah) turut merayakan pergantian malam tahun baru tersebut dengan meniup terompet, bernyanyi dan membakar petasan. Maa sya Allah…
Dalam perayaan natal bersama di Solo dimana Pasukan Banser (yang ‘disusupi’) ikut membantu mengangkat salib raksasa, petugas polisi atau pegawai supermarket yang menggunakan pakaian ala sinterklas, yang perlu lebih dikuatirkan bukan momen perayaannya, melainkan rapuhnya pemahaman tauhidiyah sebagai seorang muslim.
Untuk itu marilah kita umat Islam bersatu, kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, memahami dan mendakwahkan ajaran Islam kepada keluarga, saudara, tetangga dan masyarakat luas.
Lindungi generasi muda dari pengaruh budaya non islam yang datang dari segala arah dan kemasan menarik yang beraneka ragam cara penyajiannya.
Islam harus melangkah secara lebih terorganisir dan menghilangkan perpecahan di dalam, terkait dengan urusan fiqh (saling membid’ahkan, beda tata cara sholat, beda hari raya, dsb). Allahuakbar..
Wallahua’lam bisshawab.
[Diringkas dari ceramah Ust.Drs.H.Bernard Abdul Jabbar,MA Mantan Penginjil Kamis, 12 Rabiulawwal 1437/24 Desember 2015, di Masjid Al-Falah Surabaya]