LAPORAN TIM INVESTIGASI FPI ACEH
[1]. Singkil adalah kabupaten baru, pemekaran dari kabupaten Aceh Selatan pada 2 April 1999.
[2]. Nama Singkil berasal dari nama ulama yang berdakwah pada abad 16, syech Abdurrauf Assingkili.
[3]. Kristen masuk ke Singkil tahun 1930, melalui penginjil yang berasal dari Salak Pakpak Barat bernama pendeta I. W. Banurea.
[4]. Bekerjasama dengan perusahaan perkebunan Socfindo, gereja banyak didirikan untuk karyawan yang berasal dari Pakpak.
[5]. Tahun 1968, saat Teungku Daud Beureu’eh sebagai Gubernur Militer, sempat mendatangi Kecamatan Lipat Kajang dan Desa Rimo, meminta gereja-gereja ditutup karena Aceh Daerah Istimewa Syariat Islam.
[6]. Tahun 1979, penginjil dari Gereja Tuhan Indonesia mendirikan gereja di desa Gunung Meriah, hal ini menimbulkan reaksi masyarakat.
[7]. Tanggal 11 Juli 1979, di Lipat Kajang, ditanda tangani perjanjian antara 8 ulama dan 8 pengurus gereja, bahwa gereja tidak akan didirikan kecuali dengan izin Pemda, dan tanggal 13 Oktober 1979 dilakukan ikrar perjanjian tersebut oleh masing-masing 11 orang perwakilan Islam dan Kristen yang juga ditanda tangani Pemda Aceh Selatan waktu itu.
[8]. Perjanjian tersebut terus dilanggar oleh pihak Kristen.
[9]. Oktober 2011, kembali dibuat perjanjian, bahwa gereja yang berizin hanya 1 unit di Kuta Kerangan, Undung-Undung 4 unit, di Gampong Keras, Gampong Napagaluh, Gampong Suka Makmur dan Gampong Lae Gecih, selain itu harus dibongkar.
[10]. Perjanjian ini tidak diindahkan, kenyataan berdiri 20 gereja, dengan tidak melalui prosedur sesuai dengan ketentuan PBM Menteri Agama dan Mendagri No. 8/9 Thn. 2006, Qanun Kabupaten Aceh Singkil No. 7 Thn. 2002.
[11]. Jemaat gereja adalah dari Luaq Kabupaten Singkil.
[12]. 20 September 2011, masyarakat mendatangi kantor Pemda, dan diterima oleh Assisten I, Drs. Azmil meyampaikan data banyaknya gereja liar tak berizin, dan Pemkab Singkil akan melakukan penertiban.
[13]. Juni 2012, di Singkil beredar luas buku tanpa penerbit yg berisi penghinaan pada ajaran Islam.
[14]. Atas kejadian tersebut, umat Islam yang mempersoalkan malah mendapat intimidasi.
[15] Intimidasi dan tekanan terhadap umat Islam terus terjadi, hingga akhirnya meledak menjadi peristiwa 13 Oktober 2015.
[16] Peristiwa di Singkil tersebut secara cepat dimanfaatkan dan diekploitasi oleh media sekuler dan aktivis liberal serta aktivis gereja untuk mencabut PBM MENAG & MENDAGRI NO 8/9 THN. 2006, dan melakukan kampanye negatif terhadap Islam.
[17]. Dari perspektif intelijen, terlihat jelas adanya operasi intelijen Asing untuk mengekploitasi konflik agama di satu sisi dan memunculkan indegenous people (masyarakat asli/adat) di sisi lain.
[18]. Di Singkil yang diangkat intoleransi umat Islam, di Tolikara diangkat hak masyarakat adat untuk mengatur daerahnya.
[19] Dalam dokumen Global Trend 2015 dan dokumen gelar pasukan oleh SOCOM (South Ocean Command), keduanya adalah dokumen resmi pemerintah Amerika, jelas sekali issue hak adat dan 4 titik konflik 1 issue intoleran (Aceh, Papua, Kalimantan, Ambon, Bali) akan di dorong dan dieksploitasi.
[20] selesai
Sumber : Fpi.or.id