Lima Rekomendasi “GILA” Komnas HAM
Diskriminatif, tidak adil, terlalu mensekulerkan, begitulah sekelumit kata yang timbul ketika melihat peran Komnas HAM di Indonesia dalam merancang undang-undang kebebasan beragama, misinya hanya satu, ya menghancurkan Islam dengan cara mereka, rekomendasi yang meresahkan muslim itu dikeluarkan di Jakarta tanggal 07 Maret 2012.
Rekomendasi yang menyoal UU no.1 PNPS tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama. Menurut Komnas Ham, setiap orang bebas sepenuhnya memilih atau tidak memilih agama dan siapapun tidak memiliki kewenangan untuk melarang warga negara meyakini satu agama atau kepercayaan, sekalipun agama dan kepercayaan itu dianggap sesat menyesatkan oleh sekelompok agama tertentu. Rekomendasi aneh ini akan merugikan Islam, dimana para pengacak dan perusak agama bisa tumbuh berkembang kapan saja. Sebagai contoh, suburnya akidah-akidah sesat seperti Ahmadiyah, Lia eden, Ahmad Musaddik dan kelompok-kelompok sesat lainnya.
Tidak sah nya pernikahan beda agama seperti yang diatur dalam UU no.1 tahun 1974 harus dihapus. Dalam poin ini, Komnas Ham menunjukkan pada perbedaan agama, lesbian, homoseksual dan lainnya yang dianggap sebagai bagian dari HAM dan harus juga di akomodasi dengan mengubah syarat-syarat perkawinan dalam peraturan perundang-undangan sebagai bentuk dari harmonisasi RUU tentang kebebasan beragama. Dengan usulan seperti itu, menunjukkan bahwa Komnas Ham telah memporak-porandakan sendi-sendi dasar ideologi kesakralan manusia beragama ketika berbicara mengenai agama dan ketuhanan.
Selanjutnya rekomendasi itu juga mempersoalkan peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri no.8/9 tahun 2006 (SKB 2 Menteri) Menurut Komnas Ham SKB 2 Menteri itu menghambat kebebasan mendirikan rumah ibadah khususnya gereja. Rekomendasi ini menurut logika sangat sulit diterima, diatur pendiriannya saja masih menimbulkan konflik, apalagi membiarkannya. Sebagai contoh, di Australia, Eropa dan Amerika yang juga memuat untuk pendirian rumah ibadah, umat Islam tidak leluasa mendirikan masjid dan mushalla, bahkan kalau pun bisa mendirikan, tapi adzan tetap diperhitungkan, tidak boleh menggunakan pengeras suara.
Rekomendasi Komnas Ham tersebut juga menginginkan UU No 20 tahun 2003 tentang pendidikan yang mengharuskan murid (peserta didik –red) mendapatkan pelajaran agama dari guru agama yang beragama sama dengannya harus dihapus. Keinginan Komnas Ham ini bermaksud untuk memberikan kurikulum baru, dimana setiap murid harus mengikuti pelajaran dari agama manapun, walaupun murid itu tidak menganut agama yang sama dengan pelajaran agama yang diajarkan oleh gurunya. Sebagai contoh kecil, murid yang beragama Islam diajarkan mata pelajaran agama Kristen. Dan yang terakhir, Rekomendasi Komnas Ham itu ingin menghapus agama dalam atribut kependudukan termasuk dalam KTP dan KK. Mereka menolak aturan yang telah diatur dalam UU no.23 tahun 2006.
TV Nasional Bermain Mata Dengan Pihak Asing
Luar biasa, propaganda demi propaganda senantiasa dilakukan, tak jarang stasiun TV Nasional pun ikut berupaya membangunkan pihak asing yang sedang tidur melalui programnya. Data-data yang didapat tim SantriDayah dari ketua FPI Singkil menyatakan bahwa pada kamis malam, tanggal 19 Juli 2012 WIB pihak Metro TV menayangkan sebuah program yang mengangkat tema “Menanti Solusi Damai untuk Minoritas”. Isinya menyangkut penyegelan sejumlah gereja dan kebebasan beragama di Aceh Singkil. Saat peliputan materi tersebut, reporter Metro TV bernama Monique yang datang dari Jakarta memilih pendeta sebagai pendamping dan penunjuk jalan. Padahal di Aceh Singkil terdapat rekan wartawan Metro TV yang tentunya lebih paham mengenai sumber materi berita. Sikap reporter Jakarta tersebut dinilai melanggar kode etik jurnalis, karena tidak menunjukkan netralitas dalam peliputan berita. Keberadaan pendeta Erde Berutu sebagai penunjuk jalan tim Metro TV dari Jakarta hamper memicu keributan saat Mounique hendak melakukan wawancara dengan Ketua FPI lantaran si reporter Metro Tv itu dinilai tidak netral oleh warga Muslim yang berada dilokasi tersebut.
Penayangan gambar pintu gereja Misili Injili Indonesia (GMII) Desa Mandumpang Kecamatan Suro, gereja katolik gampong Napa Galuh Danau Paris Kabupaten Aceh Singkil yang digembok dinilai tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Sebab tidak ada satu gereja pun yang disegel dengan gembok oleh pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil hanya memasang papan segel yang memuat larangan membangun rumah ibadah tanpa izin sesuai peraturan SKB 2 Meteri No.8 dan 9 tahun 2006, Pergub Aceh No.25 tahun 2007 dan qanun Aceh Singkil no.7 tahun 2007. Pemerintah Aceh Singkil tidak pernah melakukan penutupan rumah ibadah gereja.
Cerita lain yang dibangun dalam tayangan program “Inside!” tersebut seolah-olah menggambarkan bahwa gereja-gereja yang disegel tidak dapat digunakan untuk beribadah, padahal faktanya hingga hari ini umat Kristen di Aceh Singkil masih tetap bisa menjalankan aktifitas beribadah di gereja-gereja yang di segel oleh pemerintah tanpa ada gangguan sedikitpun.
Narasumber yang ditayangkan dalam program Inside diwakili oleh pernyataan PJ. Bupati Aceh Singkil dan ditutup oleh pernyataan Ketua DPRK Aceh Singkil. Namun cerita/gambar tayangan dalam program itu memuat kemarahan warga di Peunayong Banda Aceh dan aksi pembakaran gereja di Sibubuhan (Sumatera Utara) kejadian tahun 2010. Hal ini dinilai tidak tepat, sebab Narasumber yang dimuat adalah mewakili pejabat dan wakil rakyat di Aceh Singkil, penayangan pembakaran gereja di Sibubuhan tersebut dinilai sebagai upaya pembenaran terhadap opini yang selama ini berkembang di tingkat Nasional dan Internasional bahwa di Singkil telah terjadi perusakan dan pembakaran 20 gereja. Padahal hal tersebut sama sekali tidak benar.
Selanjutnya, sebahagian gambar rekaman video yang ditayangkan dalam program Inside tidak jelas sumbernya, diantaranya pada durasi 05 menit (pukul 23.09 wib) penayangan program tersebut menunjukkan bahwa sebagian rekaman video yang ditayangkan dalam program itu bukanlah hasil liputan wartawan Metro TV, sayangnya tayangan itu tidak memuat sumber video berasal, hal ini jelas melanggar kode etik jurnalistik. Narasumber yang ditampilkan tidak berimbang antara umat Kristen dan umat Islam sehingga informasinya pun tidak seimbang. Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI menambahkan, Metro TV pernah meminta keterangan dari pengurus Forum Umat Islam Aceh Singkil, namun tidak dimuat dalam pemberitaan. Ketika dikonfirmasi kepada Metro TV, kenapa keterangan FUI tidak dimuat, Monique menjawab dengan alas an tidak cukup waktu, selanjutnya sengaja diminta keterangan dari tokoh agama yang tidak tahu menahu tentang persoalan ini.
Kabupaten Aceh Singkil terdiri dari sebelas kecamatan, tinggal empat kecamatan lagi yang belum ada gereja. Rekapitulasi jumlah penduduk dari dinas kependudukan dan pencatatan sipil berdasarkan agama di kabupaten Aceh Singkil diketahui umat Islam 112.896 jiwa. Sedangkan Kristen 13.653 jiwa. Katolik 922 jiwa. Hindu 13 jiwa. Budha 15 jiwa dan lainnya 335 jiwa.
Menjamurnya Kristenisasi di Aceh
Penganut Kristen harus dan perlu dibedakan dalam tiga golongan: Pertama, penganut Kristen yang buta (tidak tahu dan tidak faham agama Kristen, tidak pernah membaca dan mempelajari Bibel, tidak pernah ke Gereja dan kalau ditanya tentang agama Kristen, mereka tak dapat menjawab secara argumenentatif. Kedua, penganut Kristen yang menjadi qissiis dan rahib (mendalami ajaran Kitab Suci Injil dan mengamalkannya –red), seperti yang diungkapkan al-Qur’an surah al-Maa-idah ayat 82-83, yang kalau terdengar oleh mereka penyampaian wahyu kepada Rasul Allah, mereka menangis dan menyatakan beriman kepada Allah. Dan yang Ketiga, penganut Kristen seperti yang diungkapkan Allah di dalam al-Qur’an (Al-Baqarah: 120) bahwa Yahudi dan Nasrani tidak senang kepada Islam sehingga umat Islam mengikut agama mereka.
Yang berbahaya bagi umat Islam ialah penganut Kristen golongan terakhir ini. Golongan ketiga inilah yang secara gigih berupaya memurtadkan (mengkristenkan) umat Islam, yang dalam perkembangan selanjutnya dikatakan kristenisasi. Upaya ini telah berlangsung sejak lama, termasuk di Indonesia. Hanya di Indonesia, ketika Orde Baru jaya, banyak pejabat negeri ini tidak percaya bahwa kristenisasi besar-besaran telah dan sedang terjadi di Indonesia. Tetapi setelah dikeluarkan buku Fakta dan Data tentang kristenisasi di Indonesia oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, banyak yang terperangah dan yakin bahwa pihak misionaris zending (misi penyebaran agama Kristen –red) telah bekerja keras siang-malam untuk mengkristenkan umat Islam secara khusus. Ironisnya, pada Orde Reformasi di Indonesia, upaya kristenisasi itu semakin berani dan terbuka bahkan keji. Mereka menggunakan Al-Qur`an dan Hadits dengan pengertiannya yang sengaja diputarbalikkan untuk membenarkan ajaran sesat mereka, dan sekaligus untuk mengelabui umat Islam, agar sudi masuk Kristen. Berbagai trik halus mereka lakukan, di antaranya bergerilya dengan kedok “dakwah ukhuwwah” dan “shirathal mustaqim” secara gencar dan tersembunyi. Gerakan ini dikoordinasi oleh Yayasan NEHEMIA yang dipelopori Dr Suadi Ben Abraham, Kholil Dinata dan Drs. Poernama Winangun alias H. Amos.
Bermula dari semenjak musibah tsunami yang menerpa Aceh pada akhir 2004, serangan mulai datang dari berbagai Negara Barat, serangan yang dimaksud adalah Kristenisasi, ini diawali dengan banyaknya bantuan dari donatur luar yang dengan sengaja ingin menyampaikan misi lain. Pihak missionaris sudah sejak lama ingin menginjakkan kakinya di Aceh. Tahun 1984 sempat datang pendeta dari Jerman akan mendirikan pusat pengembangan Kristen, namun ditolak. Pada 1994 utusan dari kepausan datang ke Aceh. Mereka merayu 24 anak untuk masuk Kristen. Tapi dua bulan di Aceh, dia tidak sanggup melaksanakan tugasnya.
Misi Barat
Berita yang dikutip SantriDayah dari harian The Washington Post yang pernah terbit pada 13 Januari 2005 memuat berita yang menggelikan. Evangelis terkenal Jerry Falwell yang berteman dekat dengan Presiden W Bush mengatakan, “Rakyat di kawasan itu (Aceh) belum pernah mendengar nama Jesus disebut, jadi tak ada salahnya misionaris menyebarkan ajaran Bible sambil membawa bantuan kemanusiaan”. Kemudian pada berita yang lain terdapat kalimat, “Anak-anak ini tidak punya rumah, miskin, trauma, yatim piatu, tiada tempat untuk tinggal, tempat tidur dan tidak makan. Jika kita bisa menempatkan mereka di rumah anak-anak Kristen, iman mereka di dalam Kristus bisa menjadi pijakan untuk menjangkau rakyat Aceh.”
Lebih dari 70 LSM dari Vatikan sempat didaratkan oleh dubesnya sendiri masuk ke pedalaman garis pantai Aceh Barat siap mendirikan sekolah-sekolah. Truk-truk logistik World Vision beroda 12 merajai jalan-jalan Banda Aceh kala itu.
Tulisan ini merupakan tulisan bagian kedua yang ditulis oleh Tim Santri Dayah pada awal November 2012. Tak kurang dalam dua hari perjalanan tim mendapatkan tantangan demi tantangan ketika melewati terjal dan curamnya jalan Meulaboh hingga akhirnya sampai ke tujuan, tekad kami, ingin melihat secara jelas sekelumit persoalan aqidah yang menjadi buah bibir masyarakat Aceh saat itu.
(Sumber: aneukmulieng.blogspot.co.id)