Menjelang akhir tahun 2014, pemerintah Propinsi Papua melalui Biro Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan sedang gencar-gencarnya menggodok dan menyosialisasikan draf rancangan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keagamaan.
Sayang, bukannya menenangkan, justru menimbulkan kontroversi. Tokoh-tokoh masyarakat di Papua menilai isinya sangat diskriminatif dan merugikan, terutama bagi umat Islam.
“Draf itu banyak merugikan umat Islam, sebagai contoh dalam Bab III pasal 10 disebutkan Pemerintah daerah harus memprioritaskan pengangkatan tenaga kependidikan agama Kristen dan Katolik,” ujar Wakil Ketua MUI Kota Jayapura Moedhar A Yassir yang juga ikut menghadiri Uji Publik Penyempurnaan Draf Perdasus Pembangunan Bidang Keagamaan di gedung AMA Theresia Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, Rabu (3/12).
Moedhar juga menambahkan, bahwa disahkannya Perdasus tersebut berpotensi menimbulkan konflik.
“Saya khawatir draf ini juga akan memunculkan ekstrimis–ekstrimis baru. Di samping itu, di sini suasana sudah tenang. Saya sudah lama hidup di Papua, tidak pernah dengar bentrok masalah agama. Adanya aturan baru ini akan memancing persoalan baru. Dilihat dari isinya, ini juga akan mempertegas dan semakin memperjelas Papua sebagai daerah Kristus dan yang tak kalah penting menguatkan isu Papua merdeka,” jelas Moedhar yang juga mantan Kabintal Kodam XVII Cendrawasih ini.
Tidak hanya pada bab III pasal 10, bab VI pasal 16 Perdasus juga banyak disorot. Pasal itu berisi tentang pembatasan penggunaan pengeras suara hanya pada hari-hari ibadat sesuai kalender saja. Contoh yang lain, Bab VII pasal 18 menyatakan “Hari besar di Papua (Natal, Paskah, Pentakosta, Masuknya Injil) adalah hari libur”.
Menanggapi hal ini, Ketua DPD Hizbut Tahrir Papua Abdur Rouf mengatakan bahwa Raperda atau Perdasus yang akan disahkan dalam waktu dekat ini adalah sebuah agenda untuk menghalangi gerakan Islam yang benar.
“Di akhir bab Perdasus ini, mereka mengusulkan akan membentuk semacam lembaga atau SKPD yang mengurusi masalah pembangunan keagamaan. Mereka pasti akan menempatkan orang–orang tertentu pula untuk mengawasi dan mengontrol seluruh kegiatan penyelenggaraan keagamaan termasuk Islam. Saya lihat isi draf ini tidak ada satupun yang berpihak pada umat Islam, bahkan diskriminatif. Ini juga semakin menguatkan opini bahwa Papua merupakan provinsi Kristen,” ungkapnya kepada Media Umat (3/12).
Sebagaimana yang diketahui, Papua mendapatkan status Otonomi Khusus (Otsus) sejak disahkan oleh Presiden Megawati tanggal 21 November 2001. Melalui UU Otsus, pemerintah memberikan dana yang besar dan mendelegasikan kewenangan untuk melahirkan berbagai aturan penyangga pelaksanaan Otsus di Papua, yang kemudian dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi).
Hingga kini, di Papua telah dibentuk sebanyak 120 Perdasi dan Perdasus. Sedangkan sepanjang tahun 2013 lalu saja, DPRD Papua telah mengesahkan 14 Perdasi dan Perdasus. Di antaranya, Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan Peraturan Pelaksanaan Terkait, Perdasus Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pelayanan Pendidikan Bagi Komunitas Adat Terpencil, dan Perdasus Nomor 23 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. (Alquin/BaitulMaqdis.com)
Sumber : Hizbut-Tahrir.or.id