Misalnya kulit kamu putih mulus bersih berseri. Lalu ada orang yang mengejek, “Hei, hitam pekat! Kamu ini orang atau arang!”
Apakah kamu marah? Pasti tidak. Karena kamu tidak merasa hitam seperti arang.
Lantas sebaliknya, kulit kamu memang hitam pekat seperti arang. Lalu ada orang yang mengejek, “Hei, arang. Boleh dong gue pake kamu untuk bakar sate?”
Apakah kamu marah?
Pasti ada rasa marah, tersingung atau sakit hati, walau dalam skala yang paling kecil sekalipun.
Kenapa? Karena kamu merasa diejek, kekurangan atau aib kamu diungkit dan dijadikan bahan ledekan.
* * *
Mari gunakan logika yang sama untuk istilah KAFIR.
Banyak sekali teman nonmuslim yang marah atau protes ketika disebut kafir. Padahal istilah “kafir” itu hanya soal status. Sama seperti ucapan “SBY orang Jawa” atau “Ahok Orang China” atau “Obama Orang Amerika”. Itu hanya status. Tak lebih dan tak kurang.
Kafir adalah mereka yang tidak menyembah Allah SWT dan tidak percaya Muhammad sebagai Rasulullah. Hanya sesederhana itu. Just that simple.
(Karena hanya soal status, maka TAK PERLU dikaitkan dengan masalah moral. Misalnya “Lebih baik kafir tapi bersih daripada muslim tapi korupsi.” Siapapun bisa jadi koruptor, tidak peduli apapun statusnya, apapun agamanya.
Status kafir TAK ADA KAITAN LANGSUNG dengan moral. Saya punya teman yang nonmuslim atau kafir, tapi pribadi mereka sungguh terpuji. Jadi tak perlu mengaitkan status kafir dengan moral. Sebab bisa jadi sangat rancu.
Saat menyebut seseorang sebagai kafir, itu BUKAN tuduhan yang berbau vonis bahwa anda tidak bermoral, anda bejat, dan seterusnya. Sekali lagi, ini hanya soal status)
Setiap status tentu berkaitan dengan hak dan kewajiban tertentu. Misalnya saat kita bertemu teman sesama Muslim, ada perintah untuk mengucapkan “Assalamualaikum….”. Tapi untuk teman nonmuslim, perintah seperti itu tentu tak ada.
Dalam konteks yang lebih besar seperti negara, tentu hak dan kewajibannya lebih besar pula. Misalnya jika di sebuah negara diterapkan hukum Islam, maka yang muslim wajib menyetor zakat kepada negara, sedangkan yang kafir tak perlu. Karena zakat hanya untuk kaum muslim.
* * *
Jika KAFIR hanya soal status, kenapa banyak orang yang marah disebut kafir?
Jika dikaitkan dengan logika dan contoh cerita pada bagian awal tulisan ini, maka sebenarnya secara PSIKOLOGIS ini bisa dipahami dengan sangat mudah:
Seseorang marah atau tersinggung disebut kafir, karena di lubuk hatinya yang terdalam terdapat PENGAKUAN TULUS bahwa menjadi kafir itu tidak baik. Yang baik adalah menjadi Muslim.
Jika Anda yakin akan kebenaran agama Anda, jika Anda yakin agama Anda baik, tentu tak perlu marah atau tersinggung disebut kafir, bukan?
Coba lihat bagaimana sikap kami umat Islam terhadap ajaran agama lain:
Pada ajaran Kristen, semua yang tidak menerima Yesus sebagai tuhan disebut “domba yang tersesat”.
Umat Islam tentu tidak mengakui Yesus sebagai tuhan. Karena itu, pasti kita yang Muslim termasuk golongan “domba yang tersesat” (versi mereka) tersebut.
Namun apakah kita umat Islam selama ini pernah marah atau tersinggung disebut “domba yang tersesat”?
TAK PERNAH SEKALIPUN. Karena kita yakin akan kebenaran Islam.
Karena yakin benar, maka sebodo amat dengan semua julukan dari agama lain untuk kita. Emang gue pikirin. Terserah mereka menyebut kita apa saja. Itu tak akan berpengaruh apapun terhadap keyakinan kita.
Betul?
Jadi jika Anda tak suka disebut kafir, cara mengatasinya gampang saja. Silahkan masuk Islam. Just that simple 😀 (Alkuin/BaitulMaqdis.com)
Oleh : Jonru
Sumber : Jonru.com