BaitulMaqdis – Bali menjadi provinsi level teratas penyebaran virus HIV/AIDS di Indonesia. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) nasional baru-baru ini menyebutkan, hingga pertengahan 2014 tingkat penyebaran HIV/AIDS di Bali berada pada level paling berbahaya. Estimasi KPA pusat menyebutkan, jumlah penderita HIV/AIDS di Bali mencapai 26.000 orang.
Hal ini terungkap dalam sebuah diskusi awal pekan lalu di ruang Wisma Sabha Pratama, kompleks Pemprov Bali, di kawasan Renon, Denpasar. Hadir dalam pertemuan tertutup itu pihak dari Dinas Kesehatan, akademisi yang terdiri dari para profesor, dan sejumlah aktifis penanggulangan AIDS.
Karena itulah, pemerintah daerah Bali diminta untuk mengumumkan status gawat darurat HIV/AIDS.
Anehnya, rapat koordinasi pembahasan perkiraan jumlah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) di ruang Wisma Sabha Pratama digelar untuk menggugat angka penderita HIV/AIDS sebanyak 26.000 di Bali itu.
“Setelah kami bahas, estimasi 26 ribu itu terlalu tinggi, makanya kami menolak untuk menerima angka dari KPA nasional itu,” kata Yuni Ambara dari bagian pencegahan KPA Provinsi Bali.
Sajian data KPA nasional itu juga dinilai terlalu besar oleh Wagub Ketut Sudikerta. kemungkinan, angka dari KPA nasional itu belum mencerminkan fakta yang sesungguhnya.
Kendati begitu, Sudikerta meminta dilakukan verifikasi data agar dapat diambil langkah strategis dalam penanganan kasus HIV/AIDS.
Validasi data sangat penting karena terkait erat dengan upaya penanganan kasus ini. Semakin akurat data, semakin membantu upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Sebaliknya, semakin tidak akurat data, akan membuat upaya penanganan semakin jauh dari kenyataan yang dibutuhkan.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Ketut Suarjaya, juga mengatakan angka 26 ribu adalah perkiraan, bukan jumlah nyata. Data resmi Dinas Kesehatan Bali, jumlah penderita HIV/AIDS di sini adalah 9400 orang.
Sungguhpun tidak sebanyak estimasi KPA nasional, angka penderita HIV/AIDS yang mencapai 9400-an itu dinilai sudah sangat mengkhawatirkan. Terutama jika jumlah penderita sebanyak itu dibandingkan dengan jumlah penduduk Bali yang hanya sekitar 4 juta jiwa. Apalagi, mayoritas penderita HIV/AIDS adalah usia-usia produktif, yakni 20-29 tahun (sebanyak 3812 kasus) dan 30-39 tahun (3582 kasus).
Selain itu, kasus HIV/AIDS itu seperti fenomena gunung es, yang tampak kecil di permukaan tapi di bawah permukaan (yang tidak tercatat secara resmi) sesungguhnya lebih besar.
Dikatakan Suarjaya, setiap tahun Dinas Kesehatan (Dinkes) melakukan uji sampling HIV/AIDS terhadap 2000 orang. Dari jumlah itu, sekitar 400 orang atau 20 persennya terbukti positif HIV/AIDS. Itu berarti angka penyebaran terpantau masih tinggi.
Akar Masalah Dan Solusi Islam
Virus dan penyakit mematikan ini, diakui atau tidak, sebenarnya bersumber dari kehidupan sosial yang salah. Free love, free sex, pergaulan bebas, prostitusi, baik yang dilokalisasi maupun liar, merupakan sumber utama perkembangbiakan penyakit ini. Pendek kata, semua ini terjadi akibat diterapkannya sistem pergaulan (nidzam ijtima’i) yang salah, yang merupakan turunan dari sistem kufur.
firman Allah, “Telah tampak kerusakan di daratan dan lautan akibat ulah tangan manusia, agar Dia (Allah) mencicipkan mereka (untuk merasakan) sebagian dari apa yang telah mereka kerjakan, supaya mereka kembali (kepada Allah).” (TQS ar-Rum [21]: 41)
Dengan kembali kepada sistem Islam, maka tidak akan ada lagi pergaulan bebas di tengah-tengah kaum Muslim. Kehidupan antara pria dan wanita diatur sedemikian rupa. Mereka dilarang berkhalwat, berduaan pria dan wanita yang bukan mahram, termasuk berpacaran.
Bukan hanya melarang berkhalwat, Islam juga melarang kaum pria dan wanita melakukan ikhtilath (campur baur), kecuali dalam perkara yang dibenarkan oleh syariah, seperti jual beli, haji-umrah, naik kendaraan umum dan belajar-mengajar, misalnya. Karena hukum asal kehidupan antara pria dan wanita itu memang terpisah secara total.
Tidak hanya itu, kaum pria diwajibkan untuk menundukkan pandangan terhadap kaum wanita, sehingga terhindar dari memandang lawan jenis dengan dorongan syahwat. Demikian sebaliknya. Islam pun melarang kaum perempuan melakukan tabarruj, berpenampilan yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Hal yang sama juga berlaku bagi kaum pria. Islam juga melarang pria maupun wanita menampakkan auratnya di hadapan masing-masing.
Hukuman Berat Bagi Yang Berzina
Karena itu, ketika ada orang yang melakukan zina, sanksi yang dijatuhkan kepadanya pun tegas dan keras. Karena dianggap nekad. Bagi yang sudah menikah (muhshan), dia dikenakan sanksi rajam, dilempari batu hingga mati. Bagi yang belum menikah (ghairu muhshan), dia dikenai sanksi jild, dicambuk 1oo kali.
Inilah sanksi yang tegas dan keras bagi pelaku zina. Adapun bagi mereka yang melakukan pelanggaran, meski tidak sampai kepada taraf berzina, seperti berkhalwat, ikhtilath, membuka aurat, ber-tabarruj, dan sebagainya, sekalipun tidak disebutkan sanksinya dengan jelas dan tegas, mereka tetap dikenakan sanksi. Bagi mereka sanksinya adalah ta’zir. Berat dan ringannya bisa dikembalikan kepada hakim, namun hakim bisa merujuk pada hukuman hudud, seperti dicambuk, dan atau dibuang, misalnya.
Tindakan Pemerintah Islam (Khilafah)
Selain menerapkan hukum dan sanksi yang tegas dan keras di atas, baik untuk mencegah maupun menangani mereka yang terbukti melakukan pelanggaran, khilafah juga akan melakukan tindakan lain. Khususnya yang terkait dengan penanganan HIV/AIDS dan penyebarannya.
Bagi mereka yang mengidap virus HIV/AIDS, jika terbukti sebagai pelaku zina, baik muhshah maupun ghairu muhshan, maka khilafah akan menjatuhkan had zina kepada masing-masing. Dengan dijatuhkannya sanksi rajam bagi penderita HIV/AIDS yang muhshan, maka dengan sendirinya akan mengurangi jumlah penderia HIV/AIDS, sekaligus membersihkannya, baik dari dampaknya kepada orang yang lain, maupun dosanya di sisi Allah SWT. Sementara bagi yangghairu muhshan, akan dijatuhi sanksi jild, sebanyak 100 kali. Setelah itu, dia akan diperlakukan sebagai penderita HIV/AIDS dengan perlakuan yang khas.
Perlakuan yang khas juga dilakukan oleh khilafah terhadap penderita lain, yang bukan pelaku zina. Mereka bisa saja istri dari pelaku zina, yang tidak terlibat zina, atau anak-anak yang tertular virus tersebut dari orang tuanya. Bahkan, mungkin orang lain yang tidak bersalah, tetapi terinfeksi virus HIV-AIDS dari orang tersebut. Mereka semua mendapatkan perlakuan yang sama sebagai penderita virus yang mematikan ini.
Begitulah cara Islam, dan khilafah mengatasi masalah ini. Bukan dengan tindakan bodoh dan konyol, sebagaimana dilakukan para penguasa saat ini. Penguasa yang mendapat julukan dari Nabi SAW sebagai Ruwaibidhah. Siapa Ruwaibidhah? “Orang tolol, yang mengurusi urusan orang banyak.” Begitu sabda Nabi (HR Ibnu Majah). (Alkuin/BaitulMaqdis.com)
Sumber : Suara-Islam & Hizbut-tahrir