BaitulMaqdis.com – Syariat, menurut Muhammad Salam Madkur adalah “hukum yang telah ditetapkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, agar mereka menjadi orang yang beriman dan beramal shaleh dalam kehidupannya, baik yang berkaitan dengan perbuatan, akidah, maupun akhlak.” (Al-Fiqh Al-Islami, 1/11)
Definisi di atas senada dengan pengertian syariat menurut Manna’ Khalil al-Qathan, “syariat adalah apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt bagi para hamba-Nya, baik mengenai akidah, ibadah, akhlak, muamalat maupun tatanan kehidupan lainnya, dengan segala cabangnya yang bermacam-macam guna merealisasikan kebahagiaan baik didunia maupun di akhirat.” (At-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, hal 10).
Sedangkan menurut Mahmud Syaltut, syariat adalah “peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah, dengan saudaranya sesama muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dan berhubungan dengan alam semesta serta berhubungan dengan kehidupan.” (Al-Islam Aqidatun wa Syarii’atun, hal 12)
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa makna syariat mengandung dua arti: Pertama, seluruh ajaran agama yang mencakup akidah, ibadah, akhlak, hukum dan muamalah. Dengan kata lain, syariat mencakup ushul dan furu’, akidah dan amal, serta teori dan aplikasi. Ia mencakup seluruh sisi keimanan (akidah), sebagaimana ia mencakup sisi lain seperti ibadah, muamalah, dan akhlak yang dibawa oleh Islam serta dirangkum dalam Al-Quran dan As-Sunnah untuk kemudian dijelaskan oleh ulama fikih, akidah dan akhlak. Kedua, sisi hukum amaliah di dalam agama, seperti ibadah dan muamalah yang mencakup hubungan dengan Allah dan mencakup juga urusan keluarga, masyarakat, ummat, negara, hukum dan hubungan luar negeri.
Islam, Solusi Hidup Sejahtera dan Seimbang
Syariat Islam diturunkan Allah Swt sebagai agama yang sempurna dengan membawa misi rahmatan lil’alamin. Secara umum, maksud dan tujuan diturunkan syariat Islam adalah untuk mendatangkan kemaslahatan dan sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan ummat manusia. Konsep ini dikenal dengan maqashid syariah.
Dalam konsep maqashid syariah, ada lima kebutuhan kehidupan primer manusia yang mesti ada (ad-dharuriyyat al-khams) atau kini populer dengan sebutan HAM (Hak Asasi Manusia) yang dilindungi oleh syariat yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Pelanggaran terhadap salah satu daripadanya dianggap sebagai suatu kriminal (jarimah).
Untuk menjaga hal ini, Islam mensyariatkan sanksi (uqubat) yang cukup tegas baik berupa hukuman hudud, qishash dan ta’zir demi menciptakan kemaslahatan publik dan menghindari kemudharatan. Hukuman murtad (had ar-riddah) misalnya, bertujuan untuk menjaga kemaslahatan agama. Hukuman minum minuman keras (had al-khamr) untuk menjaga akal, hukuman zina (had az-zina) untuk menjaga nasab dan menghindari dari penyakit yang berbahaya seperti AIDS dan sebagainya, hukuman tuduhan berzina (had al-qazf) untuk menjaga kehormatan, hukuman pencurian (had as-sariqah) untuk menjaga harta, serta hukuman qishah bertujuan untuk menjaga jiwa manusia.
Konkritnya, hukum pidana Islam ditetapkan untuk menjaga kehormatan seseorang, menjaga masyarakat dari kekacauaan dan prilaku buruk atau hina, mensucikan jiwa yang telah ternoda dengan dosa, dan memelihara kemaslahatan asasi manusia yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Disamping itu untuk bertujuan sebagai sarana preventif dan pembelajaran.
Syariat Islam kebutuhan Fitrah manusia
Fitrah berarti tabiat atau sifat pembawaan manusia sejak dilahirkan atau kecenderungan manusia terhadap sesuatu sejak diciptakan. Secara fitrahnya, manusia memerlukan kepada suatu aturan (tasyri’) yang berguna untuk mengatur hubungan sesama mereka, menjelaskan hak dan kewajiban mereka, dan mengatur hak dan kewajibannya tersebut. Bila tidak, maka akan terjadi suatu kericuhan dalam masyarakat, yang kuat pasti akan bertindak sewenang-wenang untuk memenuhi ambisinya, sedangkan yang lemah akan merasa terzalimi dengan kehilangan haknya. Terlebih lagi jiwa manusia dihiasi dengan kecintaan kepada materi yang tunduk kepada hawa nafsu. Dalam konteks ini, syariat Islam sangat dibutuhkan oleh fitrah manusia.
Pada dasarnya fitrah manusia itu cenderung bersyariat Islam, sebagaimana firman Allah, “Maka hadapkanlah wajahmu lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Ruum: 30)
Allah juga berfirman, “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil saksi terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):“Bukankah Aku ini Tuhanmu. Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).” (Al-A’raf: 172)
Dari kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah menciptakan hati manusia dengan kecenderungan alami, yakni seruan iman. Kecenderungan inilah yang disebut dengan fitrah. Konsekuensi dari iman adalah mengerjakan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah atau dengan kata lain mengamalkan syariat Allah. Fitrah ini Allah ciptakan pada diri manusia sejak dalam kandungan ibunya, lalu ia dilahirkan ke dunia dalam keadaan fitrah, Nabi saw bersabda, “Setiap anak bayi itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Maka kedua orang tuanyalah yang memajusikannya atau menasranikannya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Sejarah kemanusiaan telah mencatat bahwa hukum Allah Swt telah berhasil mengantarkan manusia menemukan fitrah kemanusiaan dan kehambaannya. Misalnya, kecintaan manusia kepada lawan jenisnya adalah fitrah. Kebutuhan biologis tersebut diciptakan untuk mempertahankan eksistensinya di bumi. Islam tidak mengekang syahwat ini. Sebaliknya, Islam mengatur bagaimana fitrah ini dijalankan dengan cara yang benar (baca: menikah). Islam melarang manusia menyalurkan nafsu biologis dengan cara yang diharamkan dan melanggar fitrah seperti zina, lesbian dan homo seksual.Allah berfirman:“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Al-Isra’: 32)
Menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Allah Swt telah mengategorikan zina sebagai perbuatan keji dan kotor. Artinya, zina dianggap keji menurut syara’, akal dan fitrah karena merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak keluarganya atau suaminya, merusak kesucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan merusak tatanan lainnya.” (Tafsir Kalaam al-Mannaan, 629.)
Jelaslah, Islam mengharamkan zina, lesbian dan homo seksual, karena itu melanggar fitrah manusia. Selain itu juga melanggar hak masyarakat yaitu hidup mulia. Untuk menghindari hal ini, hukuman berat diberlakukan di dunia terhadap pelaku zina (cambuk seratus kali bagi yang belum kawin dan rajam bagi yang sudah kawin). Selain itu, azab Allah akan menimpa masyarakat bila mereka tidak pro aktif dalam mencegah zina. Rasulullah saw bersabda: “Jika zina dan riba telah merebak di suatu kaum, maka sungguh mereka telah membiarkan diri mereka ditimpa azab Allah.” (HR. Al-Hakim).
Contoh lain mengenai fitrah yaitu kecenderungan manusia mencintai harta. Untuk itu, syariat Islam memerintahkan ummatnya agar bekerja dan mencari rezki secara halal dan mengharamkan cara yang batil. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188) Untuk melindungi fitrah ini, maka Islam memerintahkan ummatnya untuk berzakat, bershadaqah dan berinfaq. Selain itu, pelanggaran terhadap harta orang lain (pencurian) diberikan sanksi yang tegas yaitu potong tangan. Allah berfirman, ”Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah.” (Al-Maidah: 38)
Kedua contoh diatas termasuk fitrah yang disebut dalam firman Allah, “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia kecintaan terhadap apa yang diinginkan berupa wanita-wanita, anak-anak, harta benda yang berlimpah dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali Imran: 14)
Diakhir ayat tersebut, Allah Swt mengingatkan bahwa hanya kepada Allah-lah sebaik-baik tempat kembali. Maksudnya, walaupun telah diciptakan fitrah demikian, sikap taqwa kepada Allah dengan cara dengan membimbing dan menjaga fitrah sesuai dengan ketentuan Allah adalah jalan menuju keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
Selain itu, banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang menyatakan bahwa secara fitrahnya manusia dilahirkan untuk bersyariat Islam. Sudah sewajarnyalah bila dikatakan agama Islam merupakan agama fitrah (baca: sesuai dengan fitrah). Maka, sangatlah keliru bila ada yang menuduh syariat Islam tidak sesuai dengan fitrah manusia seperti yang ditulis saudara Masrianto dalam tulisan opininya di harian Serambi Indonesia yang berjudul Syariat vs Tuhan (Serambi Indonesia, 29/05/2009).
Dalam bukunya “Bayyinat Al-Hal Al-Islami Wa Syubhat Al-‘Ilmaaniyyin Wa Al-Mutagharribin”, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi menegaskan bahwa “Islam itu adalah akidah yang sesuai dengan fitrah, ibadah yang memberi nutrisi kepada ruh, akhlak yang dengannya jiwa menjadi mulia, adab yang dengannya hidup menjadi indah, amal yang bermanfaat bagi manusia, dakwah untuk memberi petunjuk bagi semesta alam, jihad dalam kebenaran dan kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran dan kasih sayang.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Syariat Islam sangat dibutuhkan dan relevan dengan fitrah manusia. Oleh sebab itu, agama Islam disebut agama fitrah. Syariat Islam diturunkan oleh Allah Swt sebagai rahmatan lill’alamin yang bertujuan untuk mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Islam sangat menjunjung HAM dan melindunginya, selama tidak melanggar hak Allah (hak publik). Oleh karena itu, sangatlah tidak relevan dan bahkan keliru bila ada yang menuduh bahwa syariat Islam tidak sesuai dengan fitrah manusia dan melanggar HAM serta tidak sesuai untuk zaman modern ini. (Alquin/BaitulMaqdis.com)
Oleh : Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA
Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry
Kandidat Doktor Ushul Fiqh International Islamic University Malaysia (IIUM)
sumber : acehinstitute.org/