![Crusaders](https://baitulmaqdis.com/site/wp-content/uploads/2014/08/Crusaders.jpg)
“Langkah pertama untuk memusnahkan sebuah bangsa cukup dengan menghapuskan memorinya. Hancurkan buku-bukunya, kebudayaan dan sejarahnya, maka tak lama setelah itu bangsa tersebut akan mulai melupakan apa yang terjadi sekarang dan pada masa lampau. Dunia sekelilingnya bahkan akan lupa lebih cepat”
~Milan Kundera, Sastrawan Cekoslovakia~
Dracula adalah satu dari sekian sejarah yang dipelintir untuk menutupi kisah yang sesungguhnya. Jika kita menyebut kata Dracula, maka yang umum muncul di kepala orang-orang adalah makhluk bertaring yang gemar menghisap darah, takut salib dan bawang putih, identik dengan kelelawar, tidur di siang hari dan memangsa di malam hari. Belakangan ini muncul versi baru tentang jenis dracula atau vampir yang digambarkan sebagai sosok tampan yang bisa membaca pikiran orang lain, punya keluarga, bersekolah seperti manusia umumnya dan jatuh cinta pada seorang gadis yang tidak bisa ia baca pikirannya (you know what i mean).
Tapi sangat jarang ada yang tahu bahwa Dracula sebenarnya adalah sebuah sejarah kelam penuh darah yang berhubungan dengan perang salib dan umat islam. Buku yang ditulis oleh Hyphatia Cnejna ini pertama kali terbit tahun 2007. Walaupun agak asing, mungkin sudah banyak yang membacanya. Buku ini bukanlah novel tentang makhluk bertaring seperti yang ditulis oleh Bram Stoker pada abad ke-19, tapi merupakan buku sejarah yang menguak asal-usul, kehidupan dan kekejaman seorang yang telah membantai umat islam dalam perang salib. Walaupun agak lemah dari segi motodologi penelitian, tapi penulisnya mampu menguraikan hal-hal menarik yang masih jarang diketahui masyarakat.
Perang salib merupakan perang dua peradaban besar yang sedang menggeliat pada abad pertengahan. Tanggal 25 Agustus 1095 adalah permulaan rangkaian perang salib. Sebanyak 150.000 prajurit yang berasal dari bangsa Prancis dan Norman bergerak menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Mereka dipimpin oleh Godfrey, Bomemond dan Raymond. Sementara itu pasukan Islam dipimpin oleh Imaduddin Zanki. Perang pertama terjadi di Edessa, wilayah yang berdekatan dengan Baghdad, berada di jalur Mesopotamia dan Mediterania. Perang ini dimenangkan oleh pasukan Islam. Setelah Zanki wafat, ia digantikan oleh anaknya, Numuddin Zanki yang kemudian berhasil merebut Antiochea dan seluruh wilayah Edessa. Setelah Numuddin wafat, pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin Al Ayyubi tahun 1175. Di tangan penglima inilah Yerussalem berhasil direbut kembali setelah 88 tahun berada dalam genggaman pasukan salib. Peristiwa itu terjadi dalam perang Hattin pada tanggal 2 oktober 1187 M.
Film yang berjudul “Kingdom of Heaven” juga menggambarkan tentang keberanian dan keluhuran budi seorang Shalahuddin. Ada kalimat pendek dalam sebuah dialog saat Shalahuddin ditanya arti Yerussalem bagi orang islam. Kalau tidak salah jawabannya begini, ‘Nothing…this is everything”. Berbeda dengan pasukan salib ketika merebut Yerussalem dan membantai umat Islam, Shalahuddin membiarkan umat Kristen aman di dalamnya. Berita bahwa Shalahuddin tidak melukai satupun umat kristen membuat Paus di Roma mati mendadak karena terkejut ada manusia semulia itu. Raja Richard bahkan mengeluarkan statemen seperti ini, “Saya lebih rela Yerusalem dipimpin oleh seorang Muslim yang bijak dan berjiwa ksatria daripada kota suci itu jatuh ketangan para baron Eropa yang hanya mengejar kekayaan pribadi .” Sikap ksatrianya membuat Shalahuddin dihormati kawan maupun lawan.
Perang salib membawa kemajuan bagi masyarakat Eropa. Pada masa itu Eropa yang berada dalam zaman kegelapan mendapatkan cahaya benderang dari peradaban islam. Orang-orang mulai belajar berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada rentang abad X-XV peradaban islam sangat maju. Salah satu mercusuarnya adalah Cordoba (sekarang Spanyol). Saat itu perpustakaan-perpustakaan di Cordoba adalah tempat berkumpulnya para intelektual islam. Namun sayang, kebencian dan permusuhan terhadap islam sangat besar. Luka akibat kekalahan perang salib masih membekas di hati orang-orang barat. Barat kemudian berusaha mengaburkan sejarah dan menampakkan seolah-olah islam adalah agama yang hanya ditegakkan oleh pedang dan kekerasan. Tidak mengherankan jika saat ini umat islam digambarkan sebagai kaum teroris.
Setelah perang salib berlalu, umat islam mengalami kemunduran. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang awalnya menjadi ujung tombak kemajuan, pelan-pelan ditinggalkan. Cordoba jatuh ke tangan barat. Begitu pula identitas sebagai orang islam perlahan-lahan ditanggalkan oleh umatnya. Kemunduran ini mengakibatkan perasaan inferior sehingga dengan mudah pola pikir mereka dicengkeram. Lama kelamaan umat islam lupa bahwa mereka pernah menjadi mercusuar peradaban dunia.
Dan Beranikah dirimu membuktikan kebenaran yang paling kau benci ?” ~Byron~
Selama ini sosok Drcula hanya dianggap imajinasi Bram Stoker dalam novelnya, makhluk yang berada antara ada dan tiada. Padahal sejarah hidup Dracula adalah kisah banjir darah yang belum ada tandingannya hingga kini. Dan semua itu tak bisa dipisahkan dengan perang salib serta jatuhnya Konstantinopel ke tangan kerajaan Turki Ottoman.
Ayah Dracula bernama Vlad II. Nama aslinya Basarab. Basarab kemudian bergabung dengan kerajaan Honggaria dan direkrut sebagai pasukan elit garda depan perang salib. Tahun 1431 istri Basarab mengandung anak kedua mereka. Mereka kemudian pindah ke Transylvania, tepatnya di Benteng Sighisoara. Di tempat inilah istri Basarab melahirkan anak keduanya, Dracula. Vlad III atau Vlad Tepes (nama asli Dracula) dilahirkan pada bulan November atau Desember 1431 M. Asal-usul kata Dracula adalah karena ayahnya (Vlad II) merupakan anggota orde naga dan selalu membawa lencana orde tersebut kemana-mana. Orang-orang Wallachia kemudian memanggilnya dengan sebutan “Vlad Dracul” dalam bahasa Rumania, “Dracul” artinya Naga, sehingga Vlad Dracul berarti Vlad Sang Naga. Sementara akhiran “ulea” dalam bahasa Rumania berarti “anak dari”. Dari kata tersebut Vlad III atau Vlad Tepes dipanggil dengan nama Vlad Draculea (dalam bahasa inggris dilafalkan menjadi Dracula) yang berarti anak dari Vlad Dracul.
Karena ayahnya sering terjun ke medan perang dan kehidupannya hanya mengenal sosok ibu, Dracula tumbuh menjadi sosok tertutup dan inferior. Situasi politik membuat ia dan adiknya, Randu dikirim ke Turki sebagai jaminan dari ayahnya. Dracula tumbuh menjadi remaja pembangkang dan pendendam. Untuk menghibur rasa kesepiannya, Dracula sering menangkap tikus dan burung kemudian ditusuk-tusuk dengan tombak kecil. dia sangat girang melihat hewan-hewan tersebut menggelepar sekarat. Selama berada di Turki, Dracula memeluk agama Islam tapi hanya untuk tujuan politik. Di sana ia belajar memainkan segala jenis senjata dan strategi perang. Dia mempunyai satu kelebihan yang sulit dicari tandingannya, yaitu naluri membunuh. Semakin dewasa kegemaran Dracula menonton hukuman mati semakin menjadi. Boleh dikata ia kecanduan jerit korban yang sekarat, darah yang muncrat etika pedang ditebaskan. Bibit kekejaman itu ia dapatkan sewaktu masih di Wallachia. Di kota itu pembantaian sudah menjadi tontonan sehari-hari. Udara kota itu selalu anyir bau darah.
Tahun 1448 kerajaan Turki Ottoman membebaskan Dracula. Setelah bebas, Ia dan pasukannya kemudian berhasil merebut Wallachia. Selanjutnya, masa pemerintahan Dracula merupakan masa-masa teror yang mengerikan. Naluri kekejamannya benar-benar tersalurkan setelah ia menjadi penguasa di Wallachia. Hanya dalam waktu kurang dari setahun ia telah membunuh ribuan orang dengan cara yang kejam yaitu disula. Bagian ke III buku ini menggambarkan penyiksaan ala Dracula. Boleh dikata Dracula adalah seorang kreator penyiksaan. Mulai dari penyulaan, pemotongan dan perusakan organ seksual, merebus korban hidup-hidup, menguliti kepala dan bagian tubuh lainnya, mencekik, memotong otot-otot tertentu, memotog hidung dan telinga, membutakan mata, membakar hidup-hidup, memaku kepala, memangsakan si korban pada binatang buas, menarik korban dengan dua kuda, memendam tubuh korban dan memanggang. Saya tidak perlu ceritakan secara mendetail karena bagi saya itu terlalu sadis. Kesadisan Dracula melebihi kesadisan suku-suku paling primitif yang ada di muka bumi.
Pembantaian Dracula terhadap umat islam juga tak bisa dipisahkan dari perang salib. Sebagai salah satu panglima perang salib di daerah Transylvania, Dracula bertugas mencegah pasukan Turki Ottoman menuju Eropa Timur dan Barat. Ia memakai segala cara, salah satunya dengan meneror umat islam yang ada di Wallachia. Dracula juga berusaha mencari sekutu dari kerajaan yang sama besarnya dengan Turki, yaitu Honggaria. Langkah pertamanya untuk mendapat simpati dari Honggaria adalah dengan pindah agama. Ia memeluk Katolik. Langkah ini berhasil, ia diterima sebagai bagian dari pasukan salib bahkan dinikahkan dengan saudara raja Honggaria. Setelah itu, ia baru berani secara terbuka menyatakan bahwa dirinya adalah musuh kerajaan Turki Ottoman. Ia mulai meneror dan membantai umat islam di wilayah sekitarnya. Sejarah mencatat sekitar 300.000 umat islam dibantai oleh Dracula sepanjang masa pemerintahannya. Dracula menjemput ajalnya di tepi Danau Snagov setelah tak sanggup melawan pasukan Turki Ottoman yang jumlahnya tiga kali lipat lebih besar. Namun kekejamannya tidak pernah terungkap secara terbuka karena beberapa sebab :
- Pembantaian Dracula terhadap umat islam tidak bisa dilepaskan dari perang salib. Negara-negara barat yang menjadi pendukung pasukan salib tidak mau tercoreng wajahnya. Mereka yang getol mengore-ngorek kekejaman Hitlet dan Polpot enggan membuka aib sendiri.
- Dracula, betapapun kejamnya adalah pahlawan pasukan salib sehingga nama baiknya selalu dilindungi. Dan sampai saat ini, di Rumania, Dracula dianggap sebagai pahlawan.
Seperti itulah politik sejarah. Negara adidaya akan memaksakan kebenaran sejarah menurut selera mereka. jika tidak jeli, kita akan terjebak pada kebenaran yang sebenarnya adalah kebohongan. Dengan kemampuan keuangan dan teknologi mereka berupaya untuk memelintir sejarah. Contohnya adalah perang Vietnam. Sejarah mencatat bahwa dalam perang itu Amerika harus menerima kekalahan telak. Banyak prajurit yang tewas dan tidak sedikit yang cacat seumur hidup. Amerika pun menciptakan sosok super hero lewat film. Mereka memproduksi film Rambo dengan berbagai judul dan variasi untuk menunjukkan bahwa merekalah pemenang di perang Vietnam. Rambo adalah mitos baru untuk menyembunyikan fakta sebenarnya. Dan Dracula tak ubahnya seperti Rambo. Bedanya, kalau Rambo adalah sosok fiksi yang seolah-olah dibuat nyata, maka Dracula sebaliknya, yaitu sosok nyata yang diubah menjadi fiksi.
Selain itu, tujuan lain dari penjajahan sejarah adalah menghilangkan pahlawan dari pihak musuh. Superoritas barat menginginkan bahwa hanya merekalah yang memiliki pahlawan. Dalam mitos Dracula, sosok Sultan Mehmed II atau yang lebih dikenal dengan Muhammad Al Fatih dihilangkan sama sekali. Padahal sejarah resmi mencatat peran sang sultan dalam mengakhiri kekejaman Dracula dalam dua kali gempuran besar-besaran. Serangan pertama membuat Dracula kehilangan tahta dan serangan kedua membuat Dracula terbunuh. Tapi semua fakta itu telah dihapus oleh barat. Sosok sultan Mehmed II memang sangat dibenci kerena telah berhasi merebut konstantinopel dan membuat barat kehilangan muka. Karena itulah mereka berusaha untuk menghapus nama Sultan Mehed II dalam sejarah. Harus diakui usaha itu cukup berhasil. Buktinya, bahkan umat islam sendiri pun jika ditanya tentang sultan Mehmed II akan menggelengkan kepala namun jika ditanya tentang Dracula, mereka bisa memberikan penjelasan panjang lebar. Hanya segelintir sejarawan yang mengetahui sosoknya.
Bila suatu umat tidak mengenal pahlawannya maka mereka tidak akan bangga terhadap umatnya sendiri. Mereka akan memilih berkiblat pada bangsa lain yang dianggap lebih superior. Gejalanya bisa dilihat dari pemujaan secara berlebihan terhadap budaya barat. Kondisi seperti ini yang diinginkan barat karena negara yang tidak lagi bangga pada bangsanya sendiri akan dengan mudah diarahkan. Inilah bentuk penjajahan gaya baru. Begitu halus, tak ada perang, tak ada penguasaan wilayah. Tapi tanpa terasa kekayaan sebuah negara tersedot habis, dan otak masyarakatnya telah dicuci.
“Pada akhirnya, perjuangan melawan lupa merupakan perjuangan manusia melawan dirinya sendiri”
Diposkan oleh Jubah Biru,mushalli(himitsukii.blogspot.com/baitulmaqdis.com)