Baik, kita masuk ke pembahasan fiqih selanjutnya, yaitu fiqih muammalah. Kita sudah sampai pada pembahasan keempat. Sebelumnya kita sudah membahas sampai keharusan adanya saksi dalam transaksi jual beli, terutama pada transaksi yang besar. Agar tidak terjadi kedzaliman atau yang lainnya.
Masalah Keempat, Pilihan dalam Berjual Beli
Al Khiyar; yang dimaksud dengan pilihan adalah bahwa setiap pembeli dan penjual mempunyai hak untuk melakukan akad jual beli atau membatalkannya. Pada dasarnya, akad jual beli itu adalah keharusan atau kepastian, ..
Jadi harus ada kesepakatan bersama. Kita beli mobil, motor, rumah atau yang lainnya, harus ada akad terhadap transaksi tersebut yang bersifat pasti dan tidak boleh mengambang. Jadi ketika kita menawarkan sebuah barang, sudah ada kepastian mengenai harga jualnya dan lainnya, tidak ada yang mengambang dan belum jelas mengenai barang tersebut. Apalagi tanpa ada niat menjual namun menawarkan barang kepada orang lain. Karena berjual beli haruslah fix. Baik barang yang ditawarkan, kualitasnya, harganya haruslah sudah ada kejelasan. Bukan untuk dipermain-mainkan. Ini adalah asal jual beli.
Misalnya, saya membeli motor ini seharga 10 juta. Disepakati transaksi ini. Karena saya tidak membawa uang, maka saya amanahkan dulu motor tersebut di rumah orang yang memiliki motor itu. Tapi ternyata keesokan harinya, ia tidak jadi menjual motor itu kepada saya karena ada yang menawar lebih tinggi misalnya. Ini tidak diperbolehkan dalam Islam. Atau misalnya si pembeli itu membatalkan karena mendapatkan motor dengan harga yang lebih murah lagi. Ini jual beli yang tidak berkah.
Karena itu, ketika kita menawar, silahkan kita menawar saja namun jangan sampai kepada akad jika kita masih perlu memikirkan kembali transaksi tersebut atau belum pasti mengenai transaksi tersebut. Silahkan kita menawar terus sampai kita menemukan barang yang kita inginkan dengan harga termurah, baru kemudian kita berakad kepada penjualnya.
Kecuali karena Islam ini adalah agama yang penuh toleransi dan kemudahan, selalu menjaga kemashlahatan dan kondisi bagi seluruh anggotanya. Jadi Islam itu tidak kaku, dan ini betul. Islam selalu melihat mashlahat dan kondisi. Tapi juga tidak mencla-mencle atau plin-plan. Jadi Islam berada di pertengahan antara keduanya, kaku dan plin-plan.
Di antara kemudahan Islam dan toleransi berbisnis, seorang Muslim jika sudah membeli sebuah barang atau ia menjualnya karena sebab tertentu, kemudian ia menyesali transaksi tersebut, karena itu syara’ membolehkan adanya pilihan sampai ia memikirkan perkaranya, dan dia melihat kemashlahatannya, apakah ia maju untuk menjual atau untuk menahan sesuai dengan apa yang sesuai bagi dirinya.
Makanya disini, sebelum kita memutuskan untuk berjual beli seharusnya kita pikirkan terlebih dahulu. Jangan kita tergesa-gesa. Ini adalah kaidah untuk semua, yaitu sebelum kita melangkahkan langkah kita, baiknya kita pikirkan terlebih dahulu langkah tersebut. Pertimbangannya apa? Mashlahat dan manfaatnya yang sesuai dengan kita. Dalam hal ini diperbolehkan, selama kedua belah pihak sepakat dan tidak sepihak.
Macam-macam khiyar
Al Khiyar ada bermacam-macam, diantaranya:
Pertama; Khiyar Majelis. Yaitu tempat berjalannya jual beli, ketika masih di tempat itu setiap pihak yang melakukan jual beli melakukan pilihan-pilihan, tapi harus masih berada di tempat jual beli tersebut, dan belum meninggalkannya. Selama keduanya masih berada di tempat itu dan belum berpisah. Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang berjual beli dengan khiyar, dengan syarat selama belum berpisah.” (Mutafaqun alaih).]
Tapi ketika keduanya sudah berpisah, maka sudah tidak bisa lagi. Ini disebut dengan khiyar majelis.
Kedua; Khiyar Syarthi.
Ini khiyar dengan syarat, contohnya yang banyak berlaku di kita adalah barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan kecuali ditukar. Atau banyak juga yang menggunakan syarat waktu seperti jika ada kecacatan pada barang yang dibeli, dapat dikembalikan maksimal selama tiga hari.
Yaitu kedua orang yang berakad memberikan syarat dalam hal khiyar, atau salah satunya, sampai batas waktu yang ditentukan, sama seperti misalnya garansi. Ini juga mirip dengan khiyar ini.Bilamana waktu yang disepakati dalam syarat sudah lewat, maka tidak boleh dibatalkan akad tersebut dan ia menjadi mengikat.
Syarat tergantung pada kesepakatan masing-masing, seperti tadi jika ditemukan cacat dan lain sebagainya. Atau misalnya jika barang tidak dibayar sampai tenggat waktu tertentu maka transaksi dinyatakan batal. Ini juga bisa dijadikan sebagai syarat untuk khiyar dalam jual beli.
Contoh, seseorang membeli dari yang lain sebuah mobil. Si pembeli berkata bahwa ia memiliki pilihan selama satu bulan penuh. Jika dalam kurun waktu sebulan itu si pembeli urungkan diri dan tidak jadi membeli, maka tidak masalah. Namun jika sudah lewat sebulan, maka ia harus membeli mobil itu. Hal ini semata karena khiyar yang sudah disepakati bersama.
Indent mobil, lain lagi permasalahannya. Karena ini penjual yang memberikan syarat kepada pembeli. Jika masih dalam batas khiyar yang disepakati, maka masih boleh untuk dibatalkan. Tapi jika sudah melewati batas waktu yang disepakati maka menjadi lazim dan harus dilanjutkan akad transaksi tersebut.
Ketiga; Khiyar karena cacat. Yaitu yang menetapkan bagi si pembeli jika ia menentukan cacat di dalam barangnya tapi tidak tunaikan khiyar tersebut atau ia tidak tahu apa yang dimaksud dalam khiyar tersebut, bisa juga dengan cacatnya tersebut harga menjadi berkurang atau dikembalikan, maka dikembalikan masalah kecacatan ini kepada orang yang memiliki pengetahuan atau keahlian soal ini. Maka yang dinamakan sebagai konsultan dapat menjadi pihak ketiga dalam sebuah transaksi jual beli, yang mengamankan transaksi bisnis tersebut karena pemahaman mereka dan profesionalitas mereka dalam bidang mereka. Tanpa ada pihak ketiga, bisa menjadi subyektif.
Jika ternyata si ahli tersebut menyatakan wajar dan bukan kecacatan, maka khiyar batal dan transaksi menjadi lazim. Kecurangan orang kebanyakan itu adalah ketika cacat sedikit dibesar-besarkan untuk menekan harga. Karena itu pentingnya pihak ketiga dalam transaksi jual beli, entah itu notaris, akuntan, konsultan dan lain sebagainya. Mereka akan memberikan opini sesuai dengan bidang keahlian mereka.
Maka tetaplah khiyar ini bagi si pembeli, kalau ia tetap mau membeli, boleh. Atau jika ia hendak mengganti dengan yang lain, juga boleh. Kalau ia ingin untuk mengembalikan barang tersebut, maka dapat dibatalkan transaksi tersebut sesuai dengan kesepakatan dalam khiyar tersebut.
Yang seperti ini kelihatannya jarang terjadi di masyarakat kita. Karena kita maunya yang mudah dan sudah ada garansi.
Keempat, Khiyar Tadlis. Yang dimaksud adalah palsu, atau berbohong. Si penjual berdusta kepada si pembeli melebihi daripada harga yang sebenarnya. Ini adalah perbuatan yang diharamkan, karena hadits dari Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang curang, bukan bagian dari kami.” (HR. Muslim).
Hadits ini berangkat dari masalah jual beli. Disinilah dasar kejujuran dalam jual beli. Jika hendak bermuammalah, jujur saja dalam bernegosiasi. Jangan sampai kita berbohong. Karena market price itu adalah sunnatullah selama tidak terjadi rekayasa. Di Indonesia ini banyak rekayasa terhadap harga, sehingga barang tertentu dipaksa harganya mahal lalu barang impor bisa masuk dan bersaing. Jadi jika pasar itu normal tanpa ada campur tangan pemain-pemain maka harga ini akan berdasarkan pada supply and demand saja.
Contohnya, kasus jual beli mobil yang didalamnya terdapat cacat yang banyak, lalu dicat sehingga kembali menjadi bagus tampilannya. Sehingga tampilan tersebut menipu si pembeli, seakan-akan mobil tersebut sehat tanpa cacat. Si pembeli berhak mengembalikan barang yang sudah ia beli karena cacat tersebut dan menerima pengembalian pembayarannya.
Kejadian seperti ini seringkali mengalami keributan karena bisa jadi kecurangan si penjual maupun kelicikan si pembeli. Karena itu diperlukan pihak pakar/ahli tadi untuk memberikan opini dan penilaian terhadap barang yang diperjualbelikan. Karena itu, sebelum terjadi khiyar tadlis ini lebih baik kita lakukan khiyar majelis atau khiyar syarthi. Ini lebih jelas tanpa ada sengketa.
Khiyar tadlis ini lebih merepotkan karena tidak ada dalam perjanjian. Apalagi jika sudah ada pernyataan, barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan. Khiyar dalam Islam adalah karena kondisi barang yang menentukan, bukan karena klausul keterpaksaan atau dipaksakan oleh salah satu pihak seperti yang seringkali terjadi dalam asuransi atau bank.
Nah, inilah jual beli dalam khiyar yang sudah dijelaskan terdapat empat macam. Khiyar majelis, khiyar syarthi, khiyar karena cacat, dan terkahir adalah khiyar tadlis.
Masalah kelima, Syarat-Syarat Jual Beli
Disyaratkan sahnya jual beli sebagai berikut:
Pertama, keridhoan antara penjual dan pembeli. Allah berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4]:29).
Dari Abu Sa’id Al Khudri ra, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu dari keridhoan.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Baihaqi, dan Shahih Al Albani).
Tidak sah jual beli jika dengan paksaan dari salah satunya terhadap yang lainnya secara tidak haq. Kalau paksaan tersebut secara haq, seperti seorang hakim yang memaksa seseorang untuk membeli sesuatu untuk menutupi hutangnya, maka ini dibolehkan.
Kalau ini adalah keputusan pengadilan, maka boleh dan sah. Tapi tidak bisa antar pihak, karena yang berwenang melakukan ini adalah pengadilan yang syar’i sesuai dengan hukum Islam.
Kedua, orang yang berakad memang diperbolehkan melakukan transaksi, seperti ia sudah baligh, berakal, merdeka, dan pintar.
Kita bisa melihat bagaimana luar biasanya Al Qur’an mengajarkan kita mengenai transaksi jual beli ini. Yang menarik adalah cerita mengenai Abu Hanifah ra, seorang pedagang pakaian yang besar dijamannya. Lalu datang seorang dari desa hendak menjual barang dagangan dari Abu Hanifah, sementara orang ini tidak tahu harga pasar. Abu Hanifah meminta agar orang tersebut mendatangi beberapa toko lain untuk melihat penawaran yang tertinggi, dengan harga itulah Abu Hanifah menawar barang dagangannya.
Ini sungguh luar biasa. Kalau di jaman sekarang, kita bisa saja melihat hal ini sebagai kesempatan untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Ini artinya, kecerdasan dalam berdagang juga merupakan salah syarat untuk berjual beli, sehingga Abu Hanifah mengajarkan hal ini kepada si pedagang tersebut.
Ketiga, penjual memiliki barang dagangan yang dijual, atau ia berdiri sebagai pemilik barang tersebut, seperti wakil, wali, wasiat, atau yang diberikan hak. Tidak sah jual beli seseorang terhadap barang yang bukan miliknya. Sabda Rasulullah SAW kepada Al Hakim bin Hazam ra,“Jangan kau menjual apa yang bukan milikmu.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah, Shohih Al Albani).
Makelar boleh selama ia menempati posisi sebagai pemilik barang selama sesuai dengan kaidah yang syar’i.
Keempat, yang dijual adalah yang dibolehkan untuk dimanfaatkannya. Seperti makanan, minuman, pakaian, kendaraan, properti dan lain sebagainya. Tidak boleh menjual barang yang diharamkan untuk dimanfaatkan seperti khomr, babi, bangkai, alat-alat musik dan lain sebagainya.
Kecuali alat-alat musik yang memang dibolehkan. Kalau rebana, boleh karena ada dalilnya. Atau misalnya CD. Kalau isinya sesuai dengan syari’at, maka boleh. Tapi kalau bertentangan, maka tidak boleh.
Hadits dari Jabir ra, bersabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khomr, bangkai, babi dan patung.” (Mutafaqun alaih).
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya jika Allah mengharamkan suatu kaum dari memakan sesuatu, maka Allah juga mengharamkan hasil jual beli dari sesuatu tersebut.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Jadi kalau barangnya diharamkan, maka jual beli barang tersebut juga ikut diharamkan.
Tidak juga diperbolehkan menjual anjing. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, ”Rasulullah SAW melarang hasil jual beli anjing, ..” (Mutafaqun alaih).
Kita melihat di beberapa tempat di kota kita ini ada orang berjualan anjing. Makanya perlu kita mengkaji Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW agar kita tahu apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan atas diri kita.
Kelima, menjual sesuatu itu hanya atas barang yang mampu untuk diserahkannya.
Makanya yang dinamakan future trading itu haram, karena yang diperjualbelikan hanya sekedar catatan saja bukan barangnya sendiri.
Karena yang tidak mampu diserahkan, dianggap tidak ada, sehingga tidak boleh diperjualbelikan. Ia termasuk ke dalam jual beli ghoror, yaitu penipuan dimana secara dhohir jelas namun isinya membodohi.
Termasuk dalam kategori ini adalah yang sekarang sedang heboh, yaitu gadai emas di bank syariah. Saya mengatakan hal itu haram dengan dua hal. Pertama, ia menggabungkan antara gadai dengan jual beli. Tidak bisa dengan satu barang namun terjadi dua transaksi. Gadai itu berbeda dengan jual beli, dan keduanya harus dipisahkan. Yang kedua, emas itu jika dibeli harus ada barangnya. Tidak boleh hanya sekedar pengakuan saja tanpa ada barangnya. Karena ada empat barang yang harus ada barangnya dalam sebuah jual beli, yaitu emas, perak, garam dan gandum. Untuk keempat barang ini, berlaku kaidah “ada uang, ada barang”. Tidak bisa indent. Karena empat komoditas ini adalah komoditas pokok yang tidak dapat dipermain-mainkan.
Yang dikhawatirkan adalah ketika hanya gambar emasnya saja yang diperjualbelikan, artinya sekedar pengakuan saja. Ketika suatu saat emas itu ditarik oleh mereka yang sudah menyetorkan uang, maka akan terjadi rush terhadap emas. Karena ia tercatat sebagai pemilik yang telah menyetorkan uang, sedangkan barangnya sendiri yaitu emas, tidak ada. Ini saya khawatirkan sekali akan terjadi. Karena itu kita harus berhati-hati ketika bertransaksi untuk empat komoditas di atas. Ketika barang tersebut sudah ada, baru kita bayar.
Pembeli sudah membayarkan harganya namun ia tidak bisa mendapatkan barangnya. Diperbolehkan menjual ikan yang masih berada di dalam kolam, namun tidak diperbolehkan menjual bibit yang masih ada dipohonnya. Tidak juga diperbolehkan menjual burung yang masih di udara, begitu juga susu yang masih di dalam hewannya, atau anak kambing yang masih dalam perut induknya, begitu juga hewan yang tersesat.
Misalkan saya hendak menjual 100 ekor kerbau, tapi masih berada di hutan liar. Ini tidak boleh. Ditangkap dulu kerbau itu baru boleh diperjualbelikan.
Hadits dari Abu Huroiroh ra, “Rasulullah SAW melarang jual beli ghoror.” (HR. Muslim)
Keenam, hendaklah barang yang diperjualbelikan itu diketahui oleh kedua belah pihak dengan melihat atau menyaksikan ketika berakad, atau dengan menjelaskan sifat-sifatnya.
Tapi untuk keempat komoditas yang sudah disebutkan di atas, larangannya bersifat khusus. Kalau kita hendak membeli mesin, boleh hanya dengan menjelaskan sifatnya saja. Jadi dikhususkan keempat komoditas yaitu emas, perak, garam dan gandum. Setiap sesuatu yang tidak diketahui adalah ghoror, dan ghoror itu dilarang. Tidak diperbolehkan berjual beli sesuatu yang ia tidak melihat atau ia melihat tapi ia tidak tahu. Dialah ghoib dari majelis akad.
Ketujuh, harga dari barang yang hendak diakadkan harus jelas, dengan membatasi harga barang yang hendak diakadkan dan kita mengetahui harga barang tersebut.]
Umpamanya kita tahu harga suat barang adalah 500. Tapi kita menjadi kesal karena ada suatu tempat yang menjualnya dengan harga 5.000 yang jauh lebih tinggi dari harga yang kita ketahui. Ini tidak sah jual belinya, kecuali terpaksa. Atau misalkan kita ridho dengan harga yang ditawarkan, maka tidak masalah.