(BaitulMaqdis.com) Di tahun 380 M, Katholik menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi. Kristen menyatakan; bagi ajaran di luar Kristen dinyatakan sebagai bidat (sesat) dan akan mendapatkan hukuman. Beberapa abad kemudian, Gereja mendapatkan kekuasaan mutlak dari segala aspek kehidupan di Eropa. Menurut Paus Gregory VII, “Paus berhak mengangkat dan memberhentikan raja, memiliki otoritas untuk menyatakan bahwa valid tidaknya suatu tulisan agama, dan membuat hukum”.
Gereja tidak, dan tak akan pernah salah, Raja harus mencium kaki Paus, dan Paus tidak dapat disentuh hukum, hanya Tuhan yang dapat menghakimi Paus. Paus menyatakan, “mitos kebohongan tentang Yesus sangat menguntungkan kami”. Gereja menjadi sebab mayoritas penduduk buta huruf dan ignorant, menekan para cendikiawan kecuali yang ada di pihak Gereja . Pelarangan dan pembakaran buku yang bertentangan dengan dogma Gereja, sudah menjadi praktek umum. Dan masyarakat umum justru dilarang membaca Bible/Alkitab oleh Gereja. Metode Gereja dalam menjaga dan mempetahankan kekuasaannya menjadi sangat kejam. Demi kekuasaan mutlak, Gereja akan membunuh siapapun yang tidak setuju dengan dogma Gereja.
Berbgai perang yang diinspirasikan oleh Gereja disebut Perang Salib, di awali pada tahun 1095 M dengan tujuan mengontrol Yerussalem dan berlangsung selama 250 tahun. Paus Urban II memerintahkan agar tentara dipersiapkan untuk berperang melawan Muslim, Bangsa Israel dan kaum bidat, perkiraan korban sebanyak 3 juta manusia meninggal. Paus menjanjikan kepada para Tentara Salib pengampunan dosa. Pembantaian terjadi di tanah kelahiran Yesus, seluruh isi kota dibantai.
Tahun 1200an, Paus Innocent III mengorbankan perang salib terhadap kaum Katari di selatan Prancis. Dia mengizinkan penyerangan terhadap negeri Katari, dan memperbolehkan segala bentuk kekerasan terhadap kaum Katari yang disebut bidat. Komandan Tentara Salib menulis surat kepada Paus yang memberitahukan pembantaian terhadap 20.000 penduduk tanpa pandang umur dan gender termasuk wanita. Komandan tentara salib menyatakan; “Bunuh mereka semua, biar tuhan yang memilah umatnya“. Kekejaman terhadap kaum Katari terus berlangsung selama 30 tahun, dan diperkirakan 1 juta orang dibunuh atas perintah Gereja.
Inkusisi (Pengadilan Gereja) secara resmi didirikan tahun 1229 M sebagai alat untuk membersihakan kaum Katari dan simpatisannya. Inkusisi terhadap kaum bidat semakin agresif, bidat sendiri adalah ajaran atau pemikiran yang dianggap berbeda dengan doktrin Gereja. Paus Innocent III mengatakan, “siapapun yang memiliki pandangan tentang tuhan yang berbeda dengan dogma gerja harus dibakar tanpa belas kasih”. Orang-orang yang dituduh bidat akan dipenjara berbulan-bulan, sedangkan keluarga pihak tertuduh akan dikenakan sanksi, harta benda mereka akan disita oleh Gereja, orang-orang yang dianggap bersalah akan dibakar hidup-hidup.
Pada tahun 1252 M, Paus Innocent IV melegalkan metode penyaiksaan saat menginvestigasi kaum bidat. Peralatan yang digunakan untuk menyiksa sangat sadis dan belawanan dengan nilai kemanusian. Peralatan tersebut didesain khusus untuk menimbulkan rasa sakit luar biasa, dan korban penyiksaan biasanya mengakui tuduhan demi menghindari sakit saat disiksa. Dan pengadilan gerja menjadi kaya raya karena menyita harta korban inkusisi. Mereka beralasan jangan sampai ada bidat yang memiliki harta. Bahkan, yang sudah mati tidak selamat dari kecurigaan, kuburan mereka dibongkar serta tulang-tulang mereka dibakar dan harta benda disita.
Di akhir abad 15, Pengadilan Gereja mengalihkan perhatian mereka dari kaum bidat ke para wanita yang dituduh sebagai penyihir. Tahun 1487 M Gereja mempublikasikan Malleus Maleficarum, buku pedoman investigasi, penyiksaan dan hukuman bagi penyihir wanita di bawah pengawasan Paus Innocent VIII. Pengadilan Gereja mempertontonkan kekejaman terhadap wanita yang dituduh sebagai penyihir. Seorang wanita dapat divonis sebagai penyihir hanya dengan kesaksian satu orang. Dan alat penyiksaan pun didesain khusus untuk memutilasi payudara dan oragan seksual wanita. Wanita-wanita dipaksa mengaku di bawah penyiksaan yang brutal dan kesakitan yang luar biasa. Tercatat dibeberapa kota, populasi wanita menurun drastis. Bahkan remaja tidak terbebas dari tuduhan sebagai penyihir, gadis berumur 9 tahun juga dihukum.Pembakaran hidup-hidup di tiang pancang adalah hukuman yang paling sering diberlakukan.
Penyihir biasanya dituduh membunuh anak-anak dan membuat perjanjian dengan setan. Penyihir dituduh mempengaruihi korbannya melalui tatapan mata dan menyebabkan penyakit bagi manusia dan hewan ternak, dan dapat terbang lalu bersenggama dengan pria. Wanita yang memiliki pengetahuan tentang pengobatan, kontrasepsi dan kebidanan yang dihormati di komunitasnya, dituduh sebagai penyihir, terbang dengan sapu, mencium punggung setan dan merayakan Black Mask atau parodi dari perayaan Gereja. Setiap wanita beresiko di tuduh sebgai penyihir, dan akibat terbesar dari tuduhan itu adalah hukuman mati
Dengan landasan inilah mereka berpedoman ALKITAB/BIBLE,
KELUARAN 22:18
“seorang ahli sihir perempuan janganlah engkau biarkan hidup”
(versi TB 1974)
“Setiap perempuan yang melakukan sihir harus dibunuh”
(versi Bis 1985)
Pastor John Dowling, “the History of Romanism : from the Earliest Coruptions of Christian”
Para sejarawan ahli, mengestimasi 50 juta lebih manusia mati dibantai atas tuduhan Heresy/bidat oleh Gereja. Ini adalah salah satu wajah dari sebuah agama yang memiliki semboyan kasih sayang, damai sejahtera. diolah dari youtube (Dawud El-Lamunjanie/baitulmaqdis.com)