Menemukan Kedamaian Sejati dalam Islam
Jovita, yang kini berusia menjelang 40 tahun, telah menjalani hidup sebagai seorang penganut Kristen Protestan hampir selama empat dekade. Kehidupan agamanya, yang diwarisi dari keluarga, berjalan sebagai rutinitas ibadah biasa. Ia bahkan sempat aktif sebagai Worship Leader (WL) di persekutuan doa kantornya. Namun, segala rutinitas itu berubah total ketika ia mulai mempertanyakan kebenaran yang selama ini ia yakini.
Sebuah Pencarian Kebenaran
Sebelum memeluk Islam, Jovita mengakui bahwa lingkungan sekitarnya—terutama keluarga non-inti dan teman-teman—memiliki pandangan Islamofobia, mengasosiasikan Islam dengan hal-hal negatif seperti radikalisme, terorisme, dan bahkan isu kebersihan. Ia mendapat saran: “Yang penting jangan Islam, deh.” Meskipun demikian, ia berpegang teguh pada prinsip bahwa yang bermasalah adalah oknumnya, bukan ajarannya.
Pertanyaan yang Menggugah
Titik kritis pertama muncul dari keraguan logisnya terhadap konsep Trinitas. “Kalau misalnya Tuhan kita satu, kenapa ada tiga?”. Ia mencari jawaban kepada pendeta dan teman-teman Kristennya, namun tidak menemukan jawaban yang masuk akal dan memuaskan logikanya.
Pemicu utama yang mendorongnya mendalami Islam justru datang dari diskusi dengan seorang teman Muslim. Temannya menyatakan bahwa agama Kristen justru menistakan Yesus (Nabi Isa) dengan menyalibkannya salib adalah lambang terkutuk sementara Islam memuliakan Nabi Isa. Hal ini memicu kebingungan besar bagi Jovita, yang selama ini diajarkan bahwa Yesus adalah jalan keselamatan. Rasa penasaran itu mendorongnya untuk mencari tahu lebih dalam tentang Islam, bahkan membandingkan pandangan teman-teman Muslim dan non-Muslimnya.
Hidayah Melalui Azan
Di tengah pencariannya, sebuah momen spiritual yang tak terduga datang melalui azan. Jovita, yang rumahnya dekat masjid, dulunya sering merasa terganggu dan menganggap suara azan “berisik”. Namun, suatu hari, saat duduk santai, ia mendengar azan Magrib dan tiba-tiba merasakan keindahan luar biasa. “Ini suara bagus banget ya,” katanya, dan air mata pun mengalir keluar. Perasaan haru yang mendalam dan tak terduga ini menjadi isyarat kuat dari hidayah Allah.
Selain itu, ia terkesan dengan praktik salat umat Islam, terutama sujud. Ia melihat teman-temannya bersujud dan merasa heran mengapa mereka sampai “mencium tanah.” Jawabannya: “Kami paling dekat sama Allah itu di situ,” kata temannya. Hal ini membuatnya takjub karena ia merasakan ada koneksi yang lebih mendalam dengan Tuhan yang belum pernah ia rasakan di ibadah sebelumnya.
Ikrar Syahadat dan Ujian
Setelah merasa yakin bahwa Islam adalah agama yang benar, seorang teman Muslim menasihatinya untuk segera mengucapkan syahadat, karena ia tidak tahu kapan ajal menjemput. Sempat ada pergumulan terakhir dalam hati terkait sosok Yesus, namun keraguan itu hilang setelah ia berdiskusi dengan Bang Zuma, seorang mualaf dan da’i yang membimbingnya.
Bang Zuma menenangkan keraguannya dengan kalimat bijak, “Kalau kamu cinta sama Yesus, kamu ikutin perintahnya dia hanya menyembah kepada satu Tuhan, karena Yesus sendiri pun Nabi Isa sendiri juga enggak pernah ngaku dia Tuhan”. Kalimat tersebut menguatkan tekadnya. Dengan modal nekad dan tanpa sepengetahuan ibunya, Jovita akhirnya mengikrarkan Syahadat pada 29 April 2024.
Kehidupan barunya tak luput dari ujian, terutama dari sisi finansial. Jovita harus resign dari pekerjaan lamanya di distributor alat tambang, karena perusahaan tidak mengizinkannya menggunakan atribut Islam seperti hijab dan mengharuskan karyawati memakai rok. Meskipun pendapatannya kini jauh berkurang, ia merasakan ketenangan yang tak ternilai. “Ketenangan itu tuh beda yang aku rasain,” ujarnya.
Syukurnya, hidayah juga mengalir kepada keluarganya. Ibunya, meskipun tidak melarang, meminta agar Jovita tidak memaksanya pindah agama. Namun, anak Jovita yang berusia 18 tahun, juga memutuskan untuk memeluk Islam di tahun yang sama.
Nikmat dalam Ibadah
Jovita merasakan penyesalan mendalam, “Kenapa enggak dari dulu gua masuk Islam,” karena ia merasakan kedekatan luar biasa dengan Allah. Ia mengungkapkan bahwa ia selalu menangis dalam setiap salatnya—sebuah nikmat yang ditegaskan oleh Ustadzahnya. Saat bersujud, ia merasa seolah-olah Allah sedang “mengelus kepalanya”, sebuah rasa kehadiran dan kasih sayang Ilahi yang tak terlukiskan.
Ia juga bersaksi bahwa doanya sering dikabulkan dengan cepat setelah ia masuk Islam. “Baru hari ini ku minta malam kok ada,” katanya. Ia kini tahu betul kepada siapa harus bergantung dan meminta, tidak lagi mengandalkan kekuatan diri sendiri atau manusia.
Ibadah yang paling berkesan baginya adalah salat dan kesempatan untuk masuk ke masjid-masjid besar seperti Masjid At-Tin dan Masjid Istiqlal. Ia kini fokus pada kegiatan dakwah dan sosial, berusaha merangkak untuk istikamah. Harapan terbesarnya saat ini adalah mendapatkan undangan dari Allah untuk bisa menunaikan Umrah.
Pesan untuk Semua
Kepada para non-Muslim yang sedang mencari kebenaran, Jovita berpesan untuk menggunakan akal yang telah Allah berikan. “Coba kita gunain akal kita… kita cari tahu Tuhan kita”. Ia mengingatkan agar orang-orang tidak sekadar dicekoki dogma, melainkan mencari kebenaran yang hakiki.
Bagi sesama mualaf yang sedang diuji, ia memberi semangat, “Ayo kita kan sama-sama nih udah diselamatin nih… ayo kita jangan jangan patah semangat”. Ia menekankan pentingnya menjaga salat, karena salat adalah pembeda antara kita dengan agama yang dulu. Ia mengajak semua mualaf untuk saling menguatkan dan berproses bersama menuju jannah (surga) Allah.
Tonton Kisah Lengkapnya Di Chanel Kami, Berikut Linknya:
