Islam Bukan Warisan, Tapi Pilihan: Kisah Perjuangan Ayu Hilda
Bagi sebagian orang, Islam mungkin adalah sebuah warisan atau keturunan. Namun, bagi Ayu Hilda, seorang ibu rumah tangga dengan dua anak, Islam adalah sebuah pilihan hati, sebuah keputusan yang membawa kedamaian dan ketenangan.
Keputusan ini bukanlah tanpa ujian. Kisah perjalanan hidupnya dipenuhi perjuangan berat, mulai dari stigma negatif, guncangan ekonomi parah, hingga isolasi sosial yang menempa imannya.
Kehidupan Awal dan Pandangan Awal terhadap Islam
Ayu Hilda dibesarkan dalam keluarga Protestan. Ia mengaku menjalani agama sebelumnya dengan santai, bahkan cenderung melihat Islam dengan pandangan yang skeptis. Pandangan Ayu saat itu terhadap Islam adalah ribet dan Penuh Aturan: Ia merasa Islam terlalu banyak aturan, terutama mengenai pakaian yang harus tertutup rapat dan larangan interaksi fisik dengan non-mahram, membuatnya merasa “terkekang.” Stigma Etnis Chinese: Ia menyadari adanya pandangan di kalangan etnis Chinese bahwa Islam dianggap “jorok,” “radikal,” dan “terlalu tertutup,” ditambah lagi dengan banyaknya aturan makanan yang bertolak belakang dengan budaya mereka.
Ujian Pahit Pasca-Syahadat : Berjuang dengan Es Mambo
Keputusan Ayu untuk bersyahadat terjadi saat ia masih kelas 6 SD (sekitar 12 tahun), di mana ia hanya mengikuti ajakan ibunya (Umi) dan belum didasari keyakinan pribadi. Namun, momen syahadat ini membawa konsekuensi besar bagi keluarganya. Setelah sang ibu memutuskan menjadi mualaf, perpisahan pun tak terhindarkan. Sang ayah, yang berasal dari keluarga berada, melepaskan semua tanggung jawab dan menolak memberikan nafkah sekolah dan biaya hidup.
Ayu menyaksikan sendiri perjuangan sang ibu yang tidak memiliki keahlian berdagang. Uminya berjuang mati-matian, rela berjualan makanan seadanya, seperti es mambo dan sirpa (manisan kelapa) hingga larut malam.
Momen yang paling menyentuh adalah ketika Ayu, yang saat itu masih SD, harus membawa dagangan sirpa ke sekolah. Karena malu dan dagangan sering tidak laku, ia rela menggunakan uang jajannya sendiri untuk membeli sisa dagangan agar Umi mengira semua dagangannya habis. “Padahal itu duit simpanan duit jajan yang dikumpulin yang ditabung… demi ngebuat mama senang.”
Penguatan Iman dan Pilihan Ibu
Meskipun harus melalui kepahitan ekonomi dan isolasi, perlahan keyakinan Ayu mulai menguat: Mendapat Perlindungan dari Aurat: Ia menyadari bahwa menutup aurat (berhijab) adalah bentuk perlindungan dan membuatnya merasa lebih dihargai dibandingkan saat ia berpakaian terbuka.
Bimbingan Sosok Ayah: Setelah Uminya menikah lagi dengan seorang Muslim, ia mendapat bimbingan tentang syariat Islam, termasuk cara berpakaian yang benar, hingga pentingnya menjaga suara (aurat suara).
Memilih Ibu daripada Harta: Ayu mengaku pernah ditawari hidup enak, disekolahkan di luar negeri oleh ayahnya, asalkan ia kembali dan meninggalkan ibunya. Namun, ia memilih untuk tetap bersama Umi, karena ia merasakan cinta dan perjuangan ibunya yang tanpa syarat.
Ia juga mulai mempertanyakan logika dalam keyakinan lamanya, khususnya konsep penebusan dosa, yang menurutnya tidak masuk akal jika manusia masih bisa berbuat maksiat. Hal ini semakin memantapkan keyakinannya pada Islam sebagai agama yang diperjuangkan.
Ia juga melihat bahwa keberhasilan mereka bisa bertahan hidup dan ia lulus kuliah, padahal modalnya hanya dari jualan es mambo, adalah bukti nyata dari keberkahan dan pertolongan Allah (keajaiban yang tidak masuk logika matematika).
Harapan dan Pesan untuk Para Mualaf
Saat ini, Ayu Hilda masih berjuang untuk membalas jasa sang ibu. Motivasi terbesarnya adalah bisa berkumpul kembali dengan Umi di surga dan membahagiakannya di dunia (memberangkatkan haji/umrah). Dalam perjalanannya, ia juga menghadapi tantangan sosial:
Gap dengan Muslim Sejak Lahir: Ia merasa kurang dirangkul oleh sebagian Muslim di lingkungan tempat tinggalnya, yang terkadang cemburu atau kurang paham mengapa para mualaf sering mendapat bantuan donasi. Ia berharap adanya pengajian yang interaktif agar ilmu syariat dapat merata, baik kepada mualaf maupun Muslim sejak lahir.
Pesan Ayu Hilda untuk para mualaf yang sedang diuji adalah: “Kalau kita sudah dikuatin hatinya, sudah diyakinin hati kita, mau sesulit apapun yang kita hadapin… kalau kita sudah yakin, sudah tenang, ada Allah deh, itu tenang aja bawanya.”
Keyakinan dan kemauan keras untuk terus mencari ilmu adalah kunci untuk tetap teguh di jalan Islam, karena iman yang kuat akan membantu menghadapi ujian ekonomi, keluarga, dan sosial.
Sebagai bentuk ikhtiar, Ayu Hilda kini juga merintis usaha kecil-kecilan menjual bolen sebagai upaya untuk membantu keluarga dan membalas jasa orang tuanya.
Tonton video lengkapnya di:
