Dalam ajaran Islam, bersuci (thaharah) adalah syarat mutlak sebelum melakukan ibadah seperti salat atau membaca Al-Qur’an. Proses bersuci ini, baik itu wudhu maupun mandi wajib, sangat bergantung pada penggunaan air. Namun, tidak semua jenis air bisa digunakan untuk bersuci. Ada kriteria dan jenis air tertentu yang dianggap suci dan menyucikan (thahir muthahhir). Berikut adalah macam-macam air yang boleh digunakan untuk bersuci dalam Islam:
Pertama, Air hujan adalah air yang turun langsung dari langit. Air ini dianggap suci dan menyucikan secara mutlak selama tidak bercampur dengan najis setelah turun. Banyak dalil dalam Al-Qur’an dan hadis yang menegaskan kesucian air hujan, sebagaimana Allah ﷻ telah berfirman: “Dan Dia menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu” ( Q.S Al-Anfal : 11 )
Kedua, Air sumur adalah air yang keluar dari dalam bumi melalui galian. Jika air sumur jernih, tidak berbau, dan tidak berubah rasa atau warnanya karena najis, maka ia termasuk air yang suci dan menyucikan. Air sumur menjadi salah satu sumber utama air untuk bersuci, terutama di daerah yang tidak memiliki akses ke air mengalir lainnya.
Kedua, Air danau adalah air yang menggenang di sebuah cekungan alami atau buatan. Selama air danau tersebut tidak tercampur najis yang mengubah sifat-sifatnya (warna, bau, rasa), air danau boleh digunakan untuk bersuci. Kebersihan dan kealamian air danau sangat penting untuk memastikan kesuciannya.
Ketiga, Air sungai adalah air yang mengalir secara alami dari hulu ke hilir. Air sungai termasuk air yang suci dan menyucikan karena sifatnya yang mengalir dan cenderung membersihkan dirinya sendiri. Namun, jika air sungai telah terkontaminasi najis secara signifikan sehingga mengubah warna, bau, atau rasanya, maka air tersebut tidak lagi boleh digunakan untuk bersuci.
Ke-empat, Air laut adalah air yang memenuhi samudra dan lautan di seluruh dunia. Meskipun rasanya asin, air laut hukumnya suci dan menyucikan. Dalil yang memperkuat hal ini adalah hadis Nabi Muhammad ﷺ tentang laut: “Dia (laut) adalah suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan An-Nasa’i). Ini berarti, meskipun mengandung garam, air laut sah untuk berwudu dan mandi wajib.
Keenam, Air salju yang telah mencair, atau air dari es, juga termasuk air yang suci dan menyucikan. Pada dasarnya, salju berasal dari uap air yang membeku di atmosfer dan kemudian turun ke bumi, sama seperti air hujan. Selama proses pencairannya tidak tercampur najis, air salju cair boleh digunakan untuk bersuci.
Ketujuh, Air embun adalah tetesan air yang terbentuk di permukaan benda-benda karena kondensasi uap air. Air embun juga tergolong air yang suci dan menyucikan. Meskipun jumlahnya seringkali sedikit, jika terkumpul dan mencukupi, air embun dapat digunakan untuk bersuci.
Maka air yang disebutkan diatas yaitu termasuk air yang bisa digunakan untuk berthaharah, baik itu untuk berwudhu ataupun mandi wajib, adapun dalam islam air memiliki kedudukan menjadi empat jenis air yaitu :
Pertama, air mutlak yaitu air yang masih suci dan mensucikan sesuai dengan penciptaannya, tidak bercampur dengan zat lain yang mengubah sifatnya (warna, bau, dan rasa), serta tidak pernah digunakan untuk mengangkat hadas atau menghilangkan najis. Air ini adalah air yang “asli” dari sumbernya, tanpa perubahan signifikan. Konsep air mutlak sangat penting karena hanya air jenis inilah yang sah digunakan untuk bersuci, baik untuk berwudu, mandi wajib, maupun membersihkan najis.
Kedua, Air musyammas adalah air yang terpapar sinar matahari secara langsung di dalam bejana atau wadah yang terbuat dari logam (selain emas dan perak) di negeri atau daerah yang beriklim panas. Contoh bejana yang dimaksud adalah tembaga, besi, atau timah. Konsep “musyammas” sendiri berasal dari kata Arab “syams” (matahari), yang secara harfiah berarti “dijemur di bawah matahari” atau “dipanaskan oleh matahari”. Jadi, air musyammas adalah air yang menjadi hangat atau panas karena terjemur matahari dalam wadah logam tertentu.
Ketiga, Air mustamal Secara bahasa, musta’mal berarti “yang sudah digunakan” atau “bekas pakai”. Dalam konteks fikih, air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadas (baik hadas kecil seperti berwudu maupun hadas besar seperti mandi wajib) dari tubuh seseorang. Air ini dianggap telah melaksanakan fungsinya sebagai pensuci. Contoh paling mudah adalah tetesan air yang jatuh dari anggota tubuh saat kita berwudu atau mandi wajib. Air yang menetes ini, meskipun mungkin terlihat bersih, telah berubah statusnya menjadi air musta’mal.
Keempat, Air najis adalah air yang telah bercampur dengan najis dan mengalami perubahan pada salah satu dari tiga sifatnya: warna, bau, atau rasa. Perubahan ini adalah indikator utama yang menjadikan air tersebut dari status suci menjadi najis, dan dengan demikian tidak sah digunakan untuk bersuci (baik untuk mengangkat hadas maupun menghilangkan najis). Dengan catatan bahwa air itu tidak sampai dengan dua qullah maka air yang terkena najis itu berubah menjadi najis. Adapun ukuran dua qullah itu adalah lima ratus liter baghdad berdasarkan pendapat paling benar.