Seorang muslim mengimani akan wajibnya mencintai para sahabat Rasulullah ﷺ dan ahli baitnya, serta keutamaan mereka atas kaum muslimin dan mukminin yang lain. Juga mengimani bahwa para sahabat memiliki keutamaan dan ketinggian derajat yang berbeda-beda berdasarkan siapa yang lebih dahulu masuk Islam.
Sahabat yang paling utama adalah Khulafaur Rasyidin yang empat, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhum. Setelah itu sepuluh sahabat vang dijamin masuk surga, yaitu Khulafaur Rasyidin yang empat, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqgash, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah Amir bin Jarrah, Abdurrahman bin Auf.
Kemudian dilanjutkan para sahabat yang ikut serta dalam perang Badar. Kemudian para sahabat yang dijamin masuk surga selain sepuluh orang yang telah disebutkan, yaitu Fathimah Az-Zahra’ dan kedua anaknya Hasan dan Husain, Tsabit bin Qais, Bilal bin Rabbah, dan yang lainnya. Kemudian para sahabat yang turut serta dalam peristiwa Baiatur Ridwan. Jumlahnya mencapai seribu empat ratus sahabat.
Seorang muslim juga mengimani tentang wajibnya memuliakan imam kaum muslimin, menghormati mereka, dan menjaga adab saat menyebut nama-nama mereka. Sebab, mereka adalah para imam dalam hal agama dan panji-panji petunjuk, seperti gari’ (orang yang hafal dan ahli dalam Al-Qur’an), faqih (ahli fikih) nuhaddits (ahli hadits), mufassir (ahli tafsir) dari kalangan tabi’in dan tabiut tabi’in rahimahumullah.
Seorang muslim juga mengimani tentang wajibnya menaati, menghormati, dan memuliakan para pemimpin kaum muslimin, berjihad bersama mereka, dan shalat di belakang mereka, serta haramnya menentang mereka. Oleh karena itu, pada saat berhadapan dengan semua orang yang telah disebutkan di atas, diharuskan melazimi adab-adab yang khusus. Di antara adab-adab kepada para sahabat Nabi ﷺ dan keluarganya adalah:
Pertama: Mencintai mereka, karena Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ juga mencintai mereka. Allah ﷻ telah memberitahukan bahwa Dia mencintai Mereka dan mereka pun mencintai-Nya, Allah ﷻ berfirman:
“..Maka kelak Allah ﷻ akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah ﷻ, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela…” (Al-Maidah: 54)
“Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamadengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…”(Al-Fath:29)
Rasulullah ﷺ bersabda:
“(Bertakwalah kepada) Allah ﷻ, (bertakwalah kepada) Allah ﷻ terhadap hak-hak para shahabatku. Janganlah kalian jadikan mereka sebagaisasaran (cacian dan cercaan) sepeninggalku. Barang siapa mencintai para sahabat, maka dengan kecintaan-Ku, aku pun mencintai mereka. Dan barang siapa membenci para sahabat, maka dengankebencian-Ku,aku pun membenci mereka. Barang siapa menyakiti para sahabat, berarti ia telah menyakitiku, barang siapa menyakitiku,berarti ia telah menyakiti Allah ﷻ, dan barang siapa menyakiti Allah ﷻ,maka Allah ﷻ akan menyiksanya.”(HR Tirmidzi 3862) dan ia menghasankannya.
Kedua: Mengimani keutamaan mereka atas kaum mukminin dan muslimin yang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah ﷻ dalam memuji mereka:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)darigolongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ﷻ ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah ﷻ dan Allah ﷻ menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya.Itulah kemenangan yang besar.”(At-Taubah:100)
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Janganlah kalian mencela sahabatku, karena sesungguhnya jika salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tidak akan mencapai satu mud sedekah mereka,tidak juga setengahnya.”
(HR Abu Dawud (4658)dengan sanad hasan)
Ketiga:Memiliki pandangan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq merupakan sahabat Rasulullah ﷺ. Yang paling utama daripada sahabat yang lain dan orang-orang sesudah mereka secara mutlak. Adapun sahabat yang memiliki keutamaan berikutnya adalah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhum. Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
“Seandainya aku boleh menjadikan seorang kekasih dari umatku ini,pasti aku telah memilih Abu Bakar. Namun, ia adalah saudara ku dan sahabatku.”
(HR Bukhari 1/126)
Ibnu Umar juga pernah menuturkan, “Kami mengatakan pada saat Nabi masih hidup, ‘Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman,kemudian Ali.’ Ucapan itu sampai kepada Nabi ■, dan beliau tidak mengingkarinya.” (HR Abu Dawud 4628)
Ali bin Abi Thalib menuturkan, “Orang yang paling utama dari umat ini sesudah Nabi Muhammad ﷺ adalah Abu Bakar,kemudian Umar, dan jika aku berkehendak akan aku sebutkan yang ketiga-yaitu Utsman-semoga Allah meridhai mereka.” (Kanzul Ummal (32684),(36139))
Keempat:Mengakui kelebihan dan keunggulan para sahabat. Sepertikeunggulan Abu Bakar, Umar, dan Utsman yang disebutkan di dalam sabda Rasulullah ﷺ yang ditujukan kepada gunung Uhud yang saat itu bergetarsedangkan mereka berada di atas gunung itu:
“Tenanglah wahai gunung Uhud! Karena di atasmu ada seorang Nabi,seorang yang jujur (Abu Bakar), dan dua orang yang syahid(Umar dan Utsman).”
Sabda beliau kepada Ali bin Abi Thalib :
“Apakah kamu ridha jika kedudukanmu dari diriku sepertikedudukan Harun dari Musa ?”
Sabda beliau ﷺ:
“Fathimah adalah tuannya para wanita penghuni surga.”
Sabda beliau ﷺ kepada Zubair bin Awwam:
“Setiap nabi memiliki hawari (pembela), dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam.”
Sabda beliau ﷺ mengenai Hasan dan Husain:
“Ya Allah ﷻ,cintailah keduanya, karena aku benar-benar mencintai keduanya.”
Sabda Nabi ﷺ kepada Abdullah bin Umar:
“Abdullah adalah seorang lelaki yang shaleh.”(HR Al Bukhari 5/31 9/47,51)
Sabda beliau ﷺ kepada Zaid bin Haritsah:
“Engkau adalah saudaraku dan maulaku(budak yang aku bebaskan)
Sabda beliau ﷺ kepada Ja’far bin Abi Thalib:
“Engkau serupa denganku dalam hal bentuk fisik dan akhlak.”(HR Al-Bukhari 3/242,5/24,180)
Sabda beliau ﷺ kepada Bilal bin Rabbah:
“Aku mendengar suara sandalmu di hadapanku di dalam surga.”
Sabda Nabi ﷺ mengenai Salim Maula Abu Hudzaifah, Abdullah binas’ud, Ubay bin Ka’ab, dan Mu’adz bin Jabal :
“Pelajarilah Al-Qur’an dari empat shahabatku: dari Abdullah binMas’ud, Salim Maula Abi Hudzaifah, Ubaybin Ka’ab, dan Mu’adz binJabal.” (HR Al-Bukhari: 5/34,45)
Sabda beliau ﷺ mengenai Aisyah:
“Keutamaan Aisyah atas para wanita lain adalah seperti keutamaan tsarid (sejenis bubur) atas seluruh makanan yang lain.”(HR Al-Bukhari dalam Shahihnya (5419))
Sabda ﷺ beliau mengenai orang-orang Anshar:
“Seandainya orang-orang Anshar melewati suatu lembah atau bukit,pasti aku akan melewati lembah orang-orang Anshar. Dan,kalaulahbukan karena hijrah, pasti aku sudah menjadi salah seorang dari kaum Anshar.”(HR Al-Bukhari 5/38)
Nabi ﷺ bersabda:
“Orang-orang Anshar tidak dicintai kecuali oleh orang yang beriman,dan ridak dibenci kecuali oleh orang munafik. Siapa yang mencintai mereka maka Allah ﷻ akan mencintainya, dan siapa yang membenci mereka maka Allah ﷻ akan membencinya.”(HR Al-Bukhari dalam Shahihnya (3783)
Sabda beliau ■ mengenai Sa’ad bin Mu’adz:
“Arasy telah bergetar karena meninggalnya Sa’ad bin Mu’adz.”(HR Al-Bukhari 3803)
Juga seperti keunggulan Usaid bin Hudhair, ketika ia sedang bersama salah seorang sahabat yang lain di rumah Rasulullah ﷺ pada suatu malam yang gelap gulita. Tatkala keduanya keluar, serta merta di hadapan keduanymuncul cahaya hingga mereka pun dapat berjalan dengan cahaya itu. Lalu saat keduanya berpisah,cahaya itu pun ikut berpisah mengikuti masing masing dari keduanya.(Kisah ini tercantum dalam Shahih Al Bukhari (3805))
Sabda beliaukepada Ubay binK a’ab,“Allah ﷻ telah memerintahkanku untuk membacakan kepadamu ayat, ‘Orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan(agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.'(Al-Bayyinah: 1)” Ubay bertanya, “Dia menyebut namaku?”Beliau ■menjawab, “Ya.”Ubay bin Ka’ab pun menangis.(HR Imam Ahmad 3/130)
Sabda beliau ﷺ mengenai Khalid bin Walid:
“Ia adalah pedang dari pedang-pedang Allah yang terhunus.”(HR Al-Bukhari dalam Shahihnya (3757))
Sabda beliau ﷺ mengenai Hasan:
“Putraku ini adalah seorang pemimpin. Semoga dengan perantaraannya Allah berkenan mendamaikan antara dua golongan dari kaum muslimin, “(HR Al-Bukhari:4/249, 5/32 )
Sabda beliau ﷺ mengenai Abu Ubaidah:
“Setiap unmat mempunyai orang kepercayaan, dan orang kepercayaan kita, wahai umat Islam, adalah Abu Ubaidah bin Jarrah. ” (HR Al-Bukhari: 5/218,9/109)
Sungguh, Allah telah meridhai mereka semua!
Kelima: Menjauhkan diri dari mengungkit kesalahan-kesalahan mereka dan mengambil sikap diam terhadap perselisihan yang terjadi di antara mereka. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ
“Janganlah kalian mencela para shahabatku.”
“Janganlah kalian jadikan mereka sebagai sasaran (cacian dan cercaan) sepeninggalku.”
“Barang siapa menyakiti para sahabat, berarti ia telah menyakitiku, dan barang siapa menyakitiku, berarti ia telah menyakiti Allah ﷻ, dan barangsiapa menyakiti Allah ﷻ, maka hampir saja Allah ﷻ menyiksanya.
(Telah di takhrij di depan)
Keenam: Mengimani kehormatan para istri Rasulullah dan bahwa mereka adalah para wanita yang suci dan disucikan; ridha kepada mereka dan memiliki pandangan bahwa yang paling utama di antara mereka adalah Khadijah binti Khuwailid dan Aisyah binti Abu Bakar. Hal ini berdasarkan firman Allah :
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka…” (AI-Ahzab: 6)
Etika terhadap para pemuka agama
yaitu para qari, ahli hadits, dan ahli fikih
Di antara etika seorang muslim terhadap para pemuka agama adalah:
Pertama: Mencintai mereka, memintakan rahmat dan ampunan untuk mereka, serta mengakui keutamaan-keutamaan yang mereka miliki. Sebab,mereka telah tercantum di dalam firman Allah ,
… Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah… ” (At-Taubah: 100).
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Sebaik-baik orang di antara kalian ialah generasi yang hidup pada masaku, kemudian generasi sesudah mereka, kemudian generasi sesudah mereka. “(HR Al-Bukhari:3/224,8/113,176. Muslim(214,Kitab Fadhailush Shahabah))
Mayoritas para qari’, ahli hadits, ahli fikih, dan mufasir adalah termasuk dalam tiga generasi yang telah disaksikan kebaikan mereka oleh Rasulullah ﷺ.
Allah telah memuji orang yang memintakan ampunan untuk orang-orang yang mendahului mereka dengan keimanan, Allah berfirman,
Mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara yang telah beriman lebih dahulu dari kami..”(Al-Hasyr: 10).
Berdasarkan ayat di atas, seorang muslim akan senantiasa memintakan ampunan untuk seluruh orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan
Kedua: Tidak menyebut mereka kecuali dengan cara yang baik dan tidak mencela mereka dengan perkataan maupun pemikiran. Hendaklah mengetahui bahwa mereka adalah para mujtahid yang ikhlas, sehingga ia harus menjaga etika saat menyebut mereka. Selain itu, ia juga harus mengutamakan pendapat mereka atas pendapat orang-orang sesudah mereka, dan mengutamakan cara pandang mereka atas cara pandang orang-orang yang datang sesudah mereka dari kalangan ulama, fuqaha, mufassir, pendapat mereka kecuali jika menyelisihi pendapat Allah ﷻ, Rasulullah ﷺ, atau para sahabat radhiallahu anhum.
Ketiga: Segala persoalan yang telah disusun oleh Imam yang empat; Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah, serta pendapat dan ucapan mereka yang berkaitan dengan masalah-masalah agama, fikih,dan syariat, semuanya bersandar pada Kitabullah dan sunnah Rasulullah ﷺ.
Mereka tidak memiliki apa-apa kecuali apa yang telah mereka pahami dari kedua sumber ini (AI-Qur’an dan As-Sunnah), atau mereka simpulkan dari keduanya, atau mereka qiyaskan atas keduanya jika tidak mendapatkan nash atau isyarat dari keduanya.
Keempat: Berpandangan bahwa mengambil pendapat dalam masalah-masalah fikih dan agama dari apa yang telah disusun oleh salah seorang dari imam terkemuka tersebut adalah diperbolehkan, dan mengamalkannya termasuk mengamalkan syariat Allah, selama ia tidak bertentangan dengan nash yang jelas lagi shahih dari Kitabullah atau sunah Rasulullah ﷺ.
Seseorang tidak boleh meninggalkan firman Allah atau sabda Rasul-Nya hanya karena pendapat salah seorang dari makhluk-Nya, siapa pun orangnya. Hal ini berdasarkan firman Allah ﷻ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya..” (Al-Hujurat: 1)
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah… ” (Al-Hasyr: 7)
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan
mereka.. ” (Al-Ahzab: 36)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Barang siapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami atasnya, maka ia tertolak. “(HR Al-Bukhari: 3/91, 9/132. Muslim (18) kitab Al-Aqdhiyah.)
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang telah aku bawa, (Diriwayatkan oleh An-Nawawi, dan ia berkata, “Hasan shahih.”)
Kelima: Memiliki pandangan bahwa para imam adalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah. Terkadang mereka menyalahi kebenaran dalam sebuah masalah dari sekian masalah yang ada. Bukan karena unsur kesengajaan–dan jauh kemungkinannya begitu–tapi karena kealpaan, lupa, atau belum mengetahuinya.
Atas dasar inilah, seorang muslimn tidak boleh bersikap fanatik terhadap pendapat salah seorang dari mereka dan meninggalkan pendapat yang lain, Namun, ia boleh mengambil pendapat siapa pun dari mereka, dan pendapat mereka tidak boleh ditolok kecuali jika menyelisihi firman Allah ﷻ atau sabda
Rasulullah ﷺ.
Keenam: Menerima alasan mereka dalam beberapa masalah cabang agama yang mereka perselisihkan. Juga berpandangan bahwa perselisihan mereka bukan karena kebodohan dan bukan karena fanatik terhadap pendapat masing-masing. Akan tetapi disebabkan karena beberapa hal, bisa jadi hadits dalam masalah yang diperselisihkan belum sampai kepada imam yang berbeda pendapat, atau ia berpendapat bahwa hadits yang tidak ia ambil sudah dinasakh (dihapus), atau ada hadits lain yang berbeda dengan
hadits yang telah sampai kepadanya lalu ia menguatkan hadits lain itu, atau ia memahami hadits tersebut tidak sama dengan yang , dipahami ulama yang lain. Sebab, maksud dari suatu diperbolehkan berbeda pemahaman terhadap lafal nash, lalu masing-masing membawa maknanya kepada pemahamannya sendiri.
Sebagai contoh adalah pemahaman Imam Syafii tentang batalnya wudhu karena menyentuh seorang wanita, secara mutlak. Hal ini berdasarkan pemahaman beliau terhadap firman Allah menyentuh perempuan…” (Al-Maidah: 6). Imam Syafi’i memahami ayat ini , …Atau dengan makna menyentuh, dan tidak memahami dengan makna yang lain.
Sehingga Imam Syafî’i berpendapat akan wajibnya berwudhu hanya karena menyentuh seorang wanita.
Sedangkan imam yang lain memahami bahwa maksud dari menyentuhdalam ayat tersebut adalah jimak (bersetubuh). Sehingga mereka tidak mewajibkan berwudhu hanya karena menyentuh seorang wanita. Wudhu diulangi ketika ada perasaan lebih, seperti mnenyentuh wanita dengan sengaja atau adanya perasaan nikmat saat menyentuh wanita.
Mungkin ada yang bertanya, “Mengapa Imam Syafi’i tidak meninggalkan pendapatnya agar menyamai pendapat imam-imam yang lain dan menghilangkan perselisihan umat?”
lawabannya, “Tidak diperbolehkan sėlamanya bagi seorang imam untuk memahami suatu ayat yang datang dari Rabbnya yang ia tidak ragu sedikit pun tentangnya, kemudian ia meninggalkannya hanya karena untuk mengikuti pendapat atau pemahaman imam yang lain, sehingga jadilah ia sebagai seorang yang mengikuti pendapat manusia lain dan meninggalkan firman Allah. Perbuatan ini termasuk salah satu dosa besar di sisi Allah ﷻ.”
Memang benar, jika pemahaman seorang imam terhadap suatu nash bertentangan dengan nash yang jelas dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, maka wajib baginya untuk berpegang dengan makna zahir dari nash tersebut, dan meninggalkan pemahamannya terhadap lafal yang dalinya bukan nash yang jelas dan zahir. Sebab, jika dalil-dalilnya bersifat qath’i, maka ia tidak akan diperselisihkan oleh dua orang dari kalangan orang awam apalagi dari kalangan para imam.
Etika terhadap para pemimpin kaum muslimin
Pertama: Memiliki pandangan akan wajibnya menaati mereka. Ini berdasarkan firman Allah ﷻ, “Wahai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu…” (An-Nisa’: 59)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Hendaklah kalian mendengar dan taat, sekalipun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyah yang seakan-akan kepalanya seperti kismis. (HR AI-Bukhari: 9/78)
“Siapa yang menaatiku berarti ia telah menaati Allah, dan siapa yang bermaksiat kepadaku berarti telah bermaksiat kepada Allah. Siapa yang menaati pemimpinku berarti ia telah menaatiku, dan siapa yang maksiat kepada pemimpinku berarti ia telah maksiat kepadaku.(HR Al-Bukhari: 9/77)
Akan tetapi, ia tidak boleh berpandangan akan bolehnya menaati mereka dalam hal yang memaksiati Allah . Sebab, ketaatan kepada Allah lebih didahulukan daripada ketaatan kepada mereka, sebagaimana dalam firman- Nya, “…Dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik…” (AI- Mumtahanah: 12).
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Ketaatan itu hanya berlaku dalam hal-hal kebaikan saja.'(HR AI-Bukhari: 9/89. Muslim (39, 40) kitab Al-Imarah.)
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal yang memaksiati Sang Khaliq. “(HR Al-Bukhari: 9/109, Muslim dalam kitab Al-Imarah (9))
Tidak ada ketaatan dalam hal vangmemaksiati Allah.”(HRImam Ahmad: 1/131, 409, 5/66)
“Mendengar dan taat adalah kewajiban seorang muslim dalam perkara-perkara yang ia sukai dan tidak ia sukai, selagi ia tidak diperintah dengan kemaksiatan. Jika diperintah dengan kemaksiatan, maka ia tidak wajib mendengar dan taat. “(HR Al-Bukhari: 9/78, Abu Dawud (2626), Tirmidzi: 7/17, Imam Ahmad: 2/17.)
Kedua: Tidak boleh membelot dari perintah para pemimpin atau mengumumkan penentangannya kepada mereka. Sebab, perbuatan ini termasuk pemberontakan terhadap pemimpin kaum muslimin, sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:
“Siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya hendaknya ia
bersabar. Sebab, siapa yang keluar dari (ketaatan kepada) pemimpin
meski hanya sejengkal, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliah. “(HR Al-Bukhari: 9/59, Muslim (506) kitab Al-Imarah.)
“Siapa yang menghinakan seorang pemimpin, maka ia akan dihinakan Allah (HR Tirmidzi (2224), dan ia menghasankannya.)
Ketiga: Mendoakan mereka dengan kebaikan, kebenaran, taufik, dan
penjagaan dari keburukan serta dari terjerumus ke dalam kesalahan. Sebab,
kebaikan umat terletak pada kebaikan mereka, dan kerusakan umat terletak pada kerusakan mereka. Selain itu, kita tetap harus menasihati mereka dengan cara yang tidak membuat mereka hina dan jatuh kemuliaannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ :
“Agama itu nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau bersabda, “UntukAllah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin muslimin, dan seluruh kaum muslimin, “(HR Muslim (95) kitab Al-Iman.)
Keempat: Berjihad di bawah kepemimpinannya dan shalat berjamaah di belakangnya, sekalipun mereka melakukan kefasikan dan perbuatan- perbuatan haram yang tidak sampai tingkat kekafiran. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada seseorang yang bertanya mengenai ketaatan kepada pemimpin yang buruk:
“Hendaknya kalian tetap mendengar dan menaatinya, karena bagi mereka apa yang menjadi tanggung jawab mereka, dan bagi kalian apa yang menjadi tanggung jawab kalian, “”(HR Muslim (49, 50) kitab Al-Imarah.)
Ubadah bin Shamit juga berkata, “Kami telah berbaiat kepada Rasulullah untukmendengar dan taat, baik dalam perkara yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi; baik dalam keadaan susah maupun lapang. Juga agar kami tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya.” Nabi ﷺ bersabda:
“Kecuali jika kalian telah melihat adanya kekafiran yang nyata, yang mana dalam hal ini kalian memiliki bukti dari Allah .” (Hr Imam Muslim (42) kitab Al-Imarah.)