Setelah beberapa hari yang lalu umat Islam disibukkan dengan polemik ucapan selamat Natal, kini kaum muslimin dihadapkan dengan masalah yang serupa, yaitu perayaan tahun baru. Ya, Natal memang datang sepaket dengan tahun baru dimana keduanya bukanlah hari raya umat Islam.
Untuk masalah ucapan Natal sudah dibahas dalam artikel lain mengutip dari perkataan dari Dr Zakir Naik. Lantas, bagaimana sikap kita dengan datangnya tahun baru 2016? Dalam pengambilan sikap kita sebagai umat Islam, kita perlu menelisik lebih jauh sejarah perayaan tahun baru ini. Apakah pernah ada contoh dari para salaf atau itu hanyalah budaya dari luar Islam yang semestinya kita tidak ambil bagian di dalamnya.
Sejarah Perayaan Tahun Baru
Dalam sebuah artikel di www.history.com yang berjudul “5 Ancient New Years Celebrations” disebutkan lima peradaban kuno yang sejak dulu telah merayakan tahun baru. Lima peradaban itu adalah Babilonia, Romawi, Mesir, China dan Persia. Dari kelima peradaban yang disebutkan tidak ada peradaban yang bernafaskan Islam di dalamnya. Semuanya adalah peradaban di luar Islam.
Babilonia
Salah satu peradaban tertua yang tercatat merayakan tahun baru adalah peradaban Babilonia sekitar 2000 SM. Perayaan itu diselenggarakan pada akhir Maret selepas ekuinoks vernal (titik musim semi matahari menandai dimulainya musim semi astronomis). Sekaligus untuk menghormati kelahiran dunia baru dengan festival keagamaan yang dikenal dengan nama Akitu. Ritual itu di selenggarakan selama 11 hari. Selain untuk perayaan tahun baru, Akitu juga digunakan untuk perayaan mitos kemenangan dewa langit Babilon Marduk atas Dewi Laut jahat Tiamat.
Romawi
Cikal bakal tahun baru yang diselenggarakan pada 1 Januari bersumber pada perayaan pada peradaban Romawi. Awalnya, saat itu kalender Roma terdiri dari 10 bulan atau 304 hari dimana setiap awal tahun tahu baru jatuh saat ekuinoks vernal. Penanggalan ini diciptakan oleh Romulus, pendiri Roma.
Selang berabad-abad lamanya, ternyata kalender Roma mulai tidak sesuai dengan sinkronisasi matahari. Akhirnya,pada tahun 46 SM Julius Caisar memutuskan untuk memecahkan masalah ini dengan para astronom dan matematikawan. Dia memperkenalkan kalender Julian yang menyerupai kelender Gregorian yang digunakan sebagian besar hari ini di seluruh dunia.
Reformasi lain yang dibawa Julius adalah menetapkan 1 Januari sebagai hari pertama di setiap tahunnya. Hal ini dimaksudkan sebagai penghormatan kepada dewa Janus, dewa berwajah dua yang melambangkan bisa melihat kembali masa lalu dan masa depan. Perayaan tahun baru itu dimeriahkan dengan pemberian persembahan kepada Janus, saling bertukar hadiah dan menghiasi rumah mereka serta mengadakan pesta pora. Budaya ini ternyata masih ada hingga saat ini saat perayaan tahun baru pada 1 Januari.
Mesir
Budaya Mesir Kuno sangat berkaitan erat dengan sungai Nil. Tahun baru mereka didasarkan pada banjir tahunan yang terjadi. Menurut penulis Roman Censorinus, tahun baru Mesir diduga ketika Sirius pertama (bintang tercerah di malam hari) muncul setelah absen 70 hari. Fenomena ini terjadi pada pertengahan Juli sebelum banjir tahunan sungai Nil. Perayaan dilakukan dengan sebuah festival yang dikenal dengan nama “Wepet Renpet” yang berarti pembukaan tahun.
Perayaan ini juga dijadikan ajang untuk bermabuk-mabukan. Pesta besar-besaran ini dikaitkan dengan mitos Sekhmet dimana Dewi Perang yang merencanakan membunuh semua umat manusia hingga dewa Ra menipunya dengan minum-minuman keras sampai tidak sadarkan diri. Orang-orang Mesir kuno saat itu selain dengan mabuk-mabukan juga merayakannya dengan alunan musik, seks dan pesta pora.
Cina
Tahun baru Cina diyakini mulai dikenal sejak 3000 tahun silam sejak dinasti Shang. Awalnya perayaaan dilakukan pada permulaan musim semi atau musim tanam. Namun, lama kelamaan mulai terkontaminasi dengan mitos dan legenda. Menurut satu cerita yang paling populer saat itu ada makhluk haus darah bernama “Nian” yang berburu setiap tahunnya. Untuk menakut-nakuti makhluk itu maka para penduduk menghiasi rumah dengan hiasan bernuansa merah, pembakaran bambu dan membuat suara yang keras. Akhirnya, hal itu berintegrasi pada perayaan tahun baru Cina hingga saat ini.
Persia
Perayaan ini masih dirayakan di Iran,beberapa wilayah Timur Tengah dan Asia. Sering disebut dengan nama Nowruz atau tahun baru Persia. Perayaan ini dilakukan selama 13 hari pada musim semi atau ketika ekuinoks vernal pada bulan Maret. Diyakini budaya ini sebagai bagian dari agama Zoroaster. Catatan resmi Nowruz belum muncul sampai abad ke-2, namun para sejarawan percaya bahwa perayann ini mulanya terjadi sekitar abad 6 SM pada saat pemerintahan kekaisaran Akhemeniyah.
Peringatan kuno ini terfokus pada kembalinya musim semi. Perayaan yang dilakukan adalah dengan bertukar hadiah, pencahayaan api unggun, mewarnai telur dan percikan air yang melambangkan penciptaan.
Dari lima peradaban yang merayakan tahun baru di atas ternyata perayaan tahun baru 1 Januari menginduk pada budaya Romawi kuno. Dimana budaya itu diciptakan oleh Julius Caisar untuk mengagungkan dewa bermuka dua, Janus. Hal ini juga ditulis dalam The World Book Encyclopedia Vol.14 hal. 237 yang berbunyi
The Roman ruler Julius Caesar established January 1 as New Year’s day in 46 BC. The Romans dedicated this day to Janus, the god of gates, doors and beginning.The month of January was named after Janus, who had two faces-one looking forward and other looking backward.”
Penguasa Romawi, Julius Caesar menetapkan tanggal 1 Januari sebagai hari tahun baru di 46 SM. Orang Roma mendedikasikan hari ini untuk Janus, dewa segala gerbang, pintu dan permulaan waktu. Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah, Satu wajah menghadap ke (masa) depan dan satu wajah lagi menghadap ke (masa) lalu”.
Secara umum kita mendapati bahwa peringatan tahun baru dilakukan oleh peradaban-peradaban kafir yang tidak bersesuaian dengan Islam. Mereka menjadikan tahun baru sebagai ajang untuk penghormatan kepada dewa tertentu atau wujud “terima kasih” mereka kepada alam. Mereka menjadikan tahun baru sebagai ajang pesta dan pemujaan yang mereka menganggapnya sebagai sebuah hari raya. Sebagai umat Islam kita sudah memiliki hari raya tersendiri yang disebutkan dalam hadits berikut ini.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Berdasarkan hadits ini maka segala bentuk hari raya selain hari raya Idul Fitri dan Idul Adha maka tidak dianggap oleh syariat Islam, walaupun hari raya itu sebuah tradisi sebagaimana yang terjadi pada penduduk Madinah pasca kedatangan Nabi Muhammad saw di Madinah.
Dari sisi sejarah kita bisa mengetahui bahwa perayaan tahun baru adalah hari raya yang diperingati oleh peradaban-peradaban kafir. Sementara dari sisi kekinian kita bisa melihat perayaan tahun baru tak ubahnya menjadi ajang bercampur berbagai macam maksiat. Mulai dari khomer, zina dan hura-hura yang semuanya terlarang di dalam Islam. Wallahu a’lam bisshowab.
[SUMBER: KIBLAT.NET]