BaitulMaqdis.com – DALAM kajian Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI), selama ini budaya lokal, khususnya seni tradisional acapkali dimanfaatkan dengan baik oleh para rohaniawan Katolik sebagai pintu masuk penyebaran agamanya.
“Saat ini di sepanjang lereng Gunung Merapi Merbabu banyak berdiri padepokan seni, yang bertujuan untuk melestarikan budaya asli masyarakat. Para pendiri padepokan tersebut rata-rata bergelar Romo (istilah untuk pastur),” jelas Arif Wibowo sat memaparkan makalahnya yang berjudul “Menggagas Pusat Studi Kristenisasi” di Cikini, Jakarta, Ahad (5/7/2015) sore.
Ternyata, konsep inkulturasi budaya yang ditawarkan para rohaniawan Katolik tersebut dapat diterima oleh masyarakat secara luas. Inkulturasi adalah sebuah proses olah budaya, di mana seorang Katolik tetap merasa bisa sebagai orang Katolik 100% sekaligus juga orang Jawa 100%.
Dalam misi Katolik, inkulturasi ini sudah menjadi platform resmi Gereja Katolik. Mengutip pernyataan Berhard Meyer SJ, “Konsili Vatikan II secara umum mengungkapkan penghargaan tinggi untuk karya seni dan para seniman, khususnya kesenian sakral. Ditekankan bahwa kesenian zaman sekarang dan budaya para bangsa hendaknya diakui dan hendaknya mendapat tempat dalam liturgi. Juga kesenian jaman sekarang, pun kesenian semua bangsa dan daerah, hendaknya diberi keleluasaan dalam gereja, asal dengan khidmat dan hormat sebagaimana harusnya mengabdi kepada kesucian gereja-gereja dan ritus-ritus.”
Peran PSPI
Guna membentengi akidah umat Islam dari Kristenisasi, khususnya di Jawa dan sekitarnya, Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo memilih untuk fokus pada kajian terhadap permasalahan Kristenisasi, sejarah, dan kebudayaan lokal. Berbeda dengan jaringan INSISTS yang lain, yang rata-rata merupakan kalangan akademis, PSPI Solo lebih dimotori oleh praktisi lapangan.
PSPI kerap blusukan, baik di kalangan anak muda yang rentan terlibat dalam pergaulan bebas dan narkoba. Untuk pegiat anti Kristenisasi, Dewi Purnamawati, mantan aktivis gereja yang akhirnya memilih Islam, memiliki peran penting dalam menjaga akidah umat Islam di Solo.
Begitu juga dengan Susiyanto, seorang Kristolog yang memiliki wawasan luas. Dan Arif Wibowo yang banyak bergaul dengan para petani organik yang banyak di antaranya merupakan binaan gereja Katolik, karena profesinya sebagai pedagang beras organik.
Saat ini sudah ada dua buku yang disumbangkan PSPI untuk berusaha menampilkan respon ilmiah terhadap gerakan Kristenisasi. Di antaranya, buku berjudul “Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa” karya Susiyanto (terbit Juni 2010).
Buku kedua berjudul “Mengkristen Jawa: Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Penetrasi Misi Kristen di Jawa” karya Muhammad Isa Anshory dan Susiyanto. Kedua peneliti PSPI ini sedang menempuh program doktoral di bidang Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun – Bogor.
Selain itu, juga ada Nofa Nur Rahmah Susilowati, santriwati Pesantren Mahasiswa Lir-Ilir yang diasuh oleh tim PSPI, menulis buku bertema Kristenisasi dengan judul: “Strategi Dakwah Mohammad Natsir: Respon Terhadap Kristenisasi dan Nativisasi, serta Implementasinya pada Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)”.
“Di masa yang akan datang, saya selaku Koorditaor PSPI berharap dapat mengembangkan PSPI sebagai Pusat Studi Kristen yang mumpuni. Sebab, dari hasil bacaan kami, baik pustaka maupun pengamatan di lapangan, perlawanan terhadap Kristenisasi harus berbasis pada riset dan wacana ilmiah yang memadai. Sehingga mampu menghasilkan gerakan yang terukur dan terarah, tidak sekedar respon yang bersifat reaksioner dan temporal,” kata Arif Wibowo, koordinator PSPI.[Desastian/Islampos]
Repost : www.BaitulMaqdis.com