Modul Islam Damai, Adopsi Pemikiran Barat?
BaitulMaqdis.com – Rand Corporation menyebut gambaran muslim moderat adalah yang mau menerima pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender, demokratisasi, humanisme dan civil society.
Oleh: Ragil Rahayu Wilujeng, SE
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada Selasa 11 Agustus 2015 melakukan launching kurikulum baru yang akan mempromosikan ajaran Islam damai yang akan diberlakukan di semua tingkat pendidikan di Indonesia dari SD hingga SMA.
Modul baru ini dikatakan akan menghantarkan siswa untuk belajar tentang Islam sebagai agama yang menghormati keragaman dan mempromosikan perdamaian dan toleransi dalam apa yang mereka sebut sebagai ajaran Islam yang berbasis rahmatan lil alamin.
Metode baru pengajaran Islam ini diharapkan akan menciptakan manusia yang mencintai perdamaian, menjunjung tinggi penghormatan terhadap perbedaan budaya dan agama dan mengimplementasikan demokrasi.
Menteri menambahkan bahwa kurikulum baru pendidikan agama Islam ini adalah respon pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pelajaran agama yang mempromosikan perdamaian di tengah meningkatnya penyebaran doktrin kekerasan di lembaga akademis. Saat ini terdapat 47 juta siswa SD-SMA di Indonesia. Bisa dipastikan mereka adalah obyek penerapan modul pembelajaran ini.
Meski saat ini modul tersebut masih diujicobakan di empat provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Sulawesi Utara.
Absurditas Makna “Islam Damai”
Penyebutan Islam Damai oleh Menag ini patut menjadi bahan perenungan kita bersama. Apakah sebutan itu sudah tepat?
Jika dirunut secara etimologi, kata Islam secara harfiah berarti damai, selamat, penyerahan diri, tunduk dan patuh. Islam adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu salam yang berarti selamat dan sejahtera, saliim yang berarti bersih dan suci, istaslama-mustaslimun yang berarti penyerahan total kepada Allah, aslama yang berarti menyerah, dan salm yang berarti damai. Islam disebut sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sebagaimana firman Allah:
”Dan tiadalah mengutus kamu (Ya Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiya’ : 107).
Sedangkan kata damai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, aman, tenteram, tenang, keadaan tidak bermusuhan, rukun.
Selama rentang 14 abad sejak kemunculannya, Islam tidak mengenal pelabelan Islam dengan sifat “damai” atau yang lainnya. Para ulama menyebut Islam sebagai istilah tunggal, tanpa perlu dikenakan kata sifat di belakangnya. Apakah itu “damai”, “moderat”, “radikal”, “garis keras”, dll. Islam adalah Islam. Yang ada adalah pelabelan individu penganutnya.
Disebut “muslim” jika dia beragama Islam, disebut “mukmin” jika dia memiliki keimanan yang kuat, disebut “musyrik” jika dia menyekutukan Allah, disebut “murtad” jika dia keluar dari Islam, disebut “kafir” jika dia non-muslim, dst. Karena Islam adalah Islam. Agama yang diturunkan Allah kepara Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusia. Allah tidak hanya menjamin kebenaran ajaran Islam, namun bahkan menjamin kebenaran tiap kata di dalam kitab-Nya. Maka menambahi kata Islam dengan kata sifat di belakangnya sama saja dengan memenjarakan Islam agar memenuhi keinginan sang pemberi label. Sekaligus menolak Islam yang tidak sesuai dengan label tersebut.
Pelabelan Islam justru berasal dari Barat, salah satunya adalah lembaga think-tank Barat Rand Corporation. Di dalam pernyataannya, mereka menyebut gambaran muslim moderat adalah yang mau menerima pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender, demokratisasi, humanisme dan civil society. Sejak itulah muncul banyak pelabelan terhadap Islam di Indonesia. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menggambarkan modul Islam damai sebagai : mampu menghargai perbedaan budaya dan agama, yang bisa memahami orang lain dan bisa mengajarkan Islam yang menghargai demokrasi.
Pengaminan Indonesia terhadap pelabelan ini merupakan sikap defensif (mempertahankan diri) terhadap tudingan barat, bahwa Islam identik dengan kekerasan. Tudingan barat ini dikuatkan dengan beberapa kasus terorisme di Indonesia. Untuk membantah tuduhan itu, umat Islam berusaha membalik citra negatif Islam di mata barat menjadi citra positif yaitu non-kekerasan/damai. Sikap defensif-apologetik ini diambil demi sebuah harapan yaitu agar Islam diterima oleh barat.
Kata damai sendiri sangat absurd. Barat menuding Islam identik dengan kekerasan. Sementara barat mengklaim dirinya berhasil mewujudkan perdamaian. Bahkan dalam persiapan penerapan modul Islam damai, 40 guru agama terbaik di Indonesia telah dikirim oleh Kemenag ke Oxford University Inggris.
Inggris seolah dipandang sebagai Negara yang berhasil dalam mengajarkan perdamaian. Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin mengatakan, gaya pendidikan agama di Negara-negara Eropa lebih mengajarkan perilaku menghargai perbedaan. Berbeda dengan negara-negara Timur Tengah yang lebih mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Selanjutnya, atas nama mewujudkan perdamaian dunia, maka negara-negara barat melakukan serangan militer ke negeri-negeri Muslim (Iraq, Afghanistan) dengan dalih membasmi terorisme.
Maka pertanyaannya, damai versi siapa? Ternyata pasca pendudukan Barat, rakyat Iraq dan Afghanistan tidak merasakan kedamaian. Justru rakyat Iraq dan Afghanistan harus kehilangan rumah, keluarga, dan hak hidup mereka.
Sebaliknya, Barat diuntungkan dengan makin kuatnya dominasi mereka di dunia Islam, baik secara politik maupun ekonomi. Maka jelas sudah bahwa Barat sendiri tidak mengamalkan ajaran perdamaian dalam strategi politiknya.
Mereka justru memanfaatkan jargon “menjaga perdamaian” demi meraih kepentingannya dan menjadikan umat Islam sebagai korban. Maka umat Islam di Indonesia tidak boleh latah melabeli diri dengan Islam damai.
Islam Damai : Ekspansi Nilai-nilai Barat
Sejatinya promosi Islam damai merupakan upaya barat untuk menyebarkan nilai-nilai kehidupannya. Nilai-nilai barat ini disebut sebagai nilai universal yaitu demokrasi, sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme.
Jika nilai-nilai universal ini diadopsi oleh umat Islam Indonesia, maka akan melemahkan identitas ke-Islaman-an umat Islam, khususnya generasi muda. Padahal jelas umat Islam akan menjadi kuat justru dengan mengamalkan ajaran Islam secara sempurna dan paripurna, bukan dengan menggantinya dengan nilai universal ala barat.
Tugas pemerintah seharusnya adalah menyediakan layanan pendidikan Islam yang paripurna (kaffah) sehingga menghasilkan generasi muslim yang siap membawa Indonesia meraih kebangkitan dengan ideologi Islam. Bukan malah menyelenggarakan pendidikan yang makin menjauhkan umat dari gambaran Islam yang benar.
Islam memiliki aturan (syariat) yang mengatur detil interaksi umat Islam dengan umat lain. Islam memerintahkan dilakukannya dakwah untuk mengajak non-muslim masuk Islam, dengan pendekatan lisan dan tulisan. Bukan dengan kekerasan dan pemaksaan. Ketika non-muslim menolak masuk Islam, maka mereka dibiarkan berada dalam keyakinannya. Dalam urusan akidah dan ibadah, mereka dibiarkan sesuai dengan keyakinannya.
Dalam masalah pernikahan dan talak, mereka juga dipersilakan menggunakan aturan agamanya. Dalam muamalah, mereka diharuskan terikat dengan syariat Islam. semisal mereka tidak boleh mencuri, tidak boleh korupsi, tidak boleh membunuh tanpa alasan syar’i, tidak boleh zina, dll. Dengan mengatur mereka sesuai syariat, akan menghasilkan rahmat Islam dirasakan tidak hanya oleh muslim tapi juga non-muslim dan bahkan seluruh alam semesta.*
Penulis Ibu Rumah Tangga, Tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur – Hidayatullah
Repost : www.BaitulMaqdis.com