Hidayah Islam

Abdurrahman Al-Gonzaga, Calon Pastor Yang Mendapatkan Hidayah di Warung Makan

Abdurrahman Al-Gonzaga, Calon Pastor Yang Mendapatkan Hidayah di Warung Makan

Ilustrasi Warung Makan
Ilustrasi Warung Makan

(Baitulmaqdis.com) Rupanya, takdir membawa pria kelahiran Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) itu pada hidayah Islam. Ia pun menjadi mualaf. Namun setelah itu, ia dihadapkan pada tantangan yang sangat berat sebagai seorang Muslim.

Tahun-tahun pertama usai mengucap dua kalimat syahadat, Abdurrahman menghadapi aneka kendala. Tidak mudah menjalani hari-hari lantaran kesulitan pada berbagai aspek. Begitu pula ketika berniat lebih mendalami Islam. Padahal, ia sangat ingin menjadi Muslim yang sebenarnya.

Berbagai kendala dan tantangan tidak menggoyahkan imannya. Abdurrahman terus berjuang. Ia menimba ilmu agama, walau terkadang harus dicapainya sendiri. Hingga suatu saat, ia sampai pada kesimpulan. Selaku mualaf, ia harus proaktif, tidak bisa hanya menunggu. Itulah kunci suksesnya. Kini, ia aktif membina para mualaf.

Abdurrahman mendirikan komunitas mualaf di Yogyakarta dan rutin mengadakan kegiatan agama. Ia berharap, para mualaf memperoleh pembinaan, perhatian, serta bimbingan, sehingga mereka bisa mempertebal kecintaannya kepada Islam.

Abdurrahman menginjakkan kaki di Tanah Jawa, tepatnya di Yogyakarta, 20 tahun silam. Tujuannya satu, yakni menempuh studi di Seminari Tinggi Misionaris Keluarga Kudus di Jalan Kaliurang. ”Saya dikirim keluarga dan keuskupan agung Kupang ke seminari untuk dididik khusus menjadi imam atau pastor,” paparnya, beberapa waktu lalu. Ia pun tekun belajar agama. Maklum, menjadi pastor adalah dambaan keluarga besarnya karena ayah serta beberapa kerabatnya adalah tokoh agama di Kupang. Sehingga, ia diharapkan bisa mengikuti jejak langkah mereka pula.

Hanya setelah lima tahun berjalan, Abdurrahman merasa tidak sanggup menjadi pastor. Dirinya belum siap untuk selibat, hidup sederhana, berkaul, dan lainnya. Sehingga, ia memutuskan keluar dari biara, tutur pria kelahiran tahun 1971 itu.

Artikel Terkait  Cindy Weber, Hidayah Menyapa Sang Missionaris

Selanjutnya, ia tinggal di kos-kosan, di Kampung Lelet, di sebelah selatan Condong Catur, lingkungan komunitas Muslim. Bahkan, pemilik rumah kosnya orang Muslim. Memang kebetulan. ”Awalnya, saya tidak berpikir macam-macam, apakah harus kos di rumah yang pemiliknya Nasrani?” tanyanya dalam hati. Kebetulan tersebut membawanya berkenalan lebih dekat dengan Islam. Kampung Lelet membuat Abdurrahman berinteraksi dengan umat Islam. Dia pun mengaku baru mengenal sosok kaum Muslim, kehidupan ibadahnya, dan lain-lain di sana.

Lama-kelamaan, hadir perasaan yang mengganjal. Sebelumnya, ia lebih banyak mendengar cerita dan kisah tentang umat Islam yang berkonotasi negatif. Islam identik dengan kekerasan, membawa pedang, dekat kemiskinan, terbelakang, dan sebagainya. Kenyataannya, tak seperti itu. Apa yang dilihatnya di Kampung Lelet sungguh sangat berbeda. Orang Islam sangat ramah dan baik. ”Saya merasa akrab berbaur di antara mereka,” aku Abdurrahman yang bernama asli Arnold al Gonzaga itu.

Sampai datang bulan suci Ramadhan. Tiada satu warung makan yang buka. Abdurrahman yang masih Nasrani, kesulitan dapat makan siang. Terpaksa ia harus berjalan jauh agar menemukan warung yang buka. Langkah kaki membawanya ke sebuah kedai makan kecil di dekat rumah orang tua angkatnya di Condong Catur. Dia pun mampir dan makan di sana.

Terdorong rasa penasaran, usai makan Abdurrahman bertanya kepada si pemilik warung. Namanya Bu Sarjono, pensiunan pegawai TVRI. ”Ibu puasa tidak?” tanya dia. Lantas dijawab, ”ya.” Abdurrahman bertanya lagi, ”Apakah saat saya makan, ibu terganggu?” Bu Sarjono menjawab, ”Saya memang puasa, Mas. Tetapi, sewaktu melayani orang makan, ya tidak masalah.

Seketika jawaban itu mengagetkan Abdurrahman. ”Saya terpana, tapi heran. Itu pengalaman luar biasa bagi saya. Bagaimana tidak, ada orang sedang berpuasa, lantas melihat orang makan, dia tidak terganggu. ”Ini sulit saya pahami,” dia menuturkan. Sepanjang perjalanan pulang ke kos, dia masih terngiang kata-kata Bu Sarjono. Bahkan hingga menjalani ibadah ke biara, baik pagi, siang, petang, maupun malam, apa yang didengarnya itu tetap membekas. Ditambah dengan pengalamannya bersama komunitas Muslim di Kampung Lelet.

Artikel Terkait  Mimpi Bersujud Profesor Matematika yang Menjadi Kenyataan

Abdurrahman merasa tambah dekat dengan Islam. Setiap upaya untuk mencoba mengabaikan rasa itu, termasuk dengan aktif di kegiatan gereja, tidak juga menolong. Akhirnya, ia berkesimpulan, dalam Islam juga ada cinta kasih.

Awal 2000, rasa gelisahnya semakin kental. Ia tak khusyuk lagi beribadah di gereja. Kepada orang tua angkatnya yang juga tokoh gereja, ia lantas ungkapkan unek-uneknya, namun mendapat reaksi keras. Ia diminta tidak lagi berbaur dengan keluarga Sarjono atau umat Islam lainnya. Ia tidak boleh keluar rumah, dan diminta memperbanyak meditasi.

Abdurrahman mengaku tidak bisa membohongi kata hatinya, sehingga ia pergi dari rumah orang tua angkatnya dan pindah kos. Sejumlah tokoh agama Islam ia sambangi untuk berkonsultasi. Temannya yang mualaf membawanya pada Ustaz Jatnika. Lantas, ia dipertemukan dengan Kakanwil Depag DIY, Sugiyono. Sejak itu, dia kerap ikut ke masjid, melihat umat Muslim yang sedang shalat. Ia pun jadi ingin shalat. Pada 1 April 2000, ia bersyahadat. Pengucapan dua kalimat syahadat berlangsung di Masjid Kakanwil Depag. ”Hati saya plong. Di tengah bahagia, ujian berat muncul,” ujarnya mengenanag.

Dia tidak mungkin kembali ke gereja, rumah orang tua angkatnya, terlebih keluarganya di Kupang. Untuk sementara waktu, ia tinggal di rumah temannya, dan bekerja sebagai sales dan bisnis jaringan.

Tidak mudah menjadi mualaf. Itu ia rasakan lima tahun pertama. Selama itu, Abdurrahman mengaku belum menemukan model pembinaan seperti diharapkan. Ia membayangkan, pembinaan bagi mualaf terprogram, punya tahapan jelas. Beberapa lembaga dan majelis taklim yang didatangi ternyata belum sesuai harapan. ”Kita ingin dibimbing untuk belajar ibadah dasar, mengaji Al-Quran, mengkaji maknanya, dan sebagainya,” ujarnya penuh harap. ”Intinya, pembinaan yang terarah. Namun, itu belum saya temukan,” ucapnya. Dia sempat putus asa dengan kondisi ini. Tapi, tekadnya bulat, tantangan tersebut tidak sampai melemahkan semangatnya berislam.

Artikel Terkait  14 Tahun Menjadi Biarawati, Akhirnya Menjadi Muallaf Karena Kebenaran Islam

Abdurrahman meniatkan belajar mandiri, bertanya pada teman, atau dari ustadz ke ustadz. Alhamdulillah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala membukakan jalan. Dia dipertemukan dengan orang-orang yang bisa memberikan ilmu serta menjadi panutan. ”Buat saya, Islam seperti ini. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tunjukkan beberapa alternatif, tinggal saya kemudian memilih,” ungkapnya penuh syukur. (A.D. Ulinnuha Arwani)

sumber : kisahmuallaf.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button