Kristenisasi dan Kebodohan di Pulau Sumba, NTT
Sekilas tentang Pulau sumba
Pulau Sumba adalah pulau dengan luas wilayah 10.710 km2. Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini sendiri terdiri dari empat kabupaten: Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur. Kota terbesarnya adalah Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur. Kota tersebut juga terdapat bandar udara dan pelabuhan laut yang menghubungkan Pulau Sumba dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia seperti Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Timor.
Kondisi topografi Sumba Timur secara umum datar (di daerah pesisir), landai sampai bergelombang (wilayah dataran rendah <100 meter) dan berbukit (pegunungan). Daerah dengan ketinggian di atas 1000 meter hanya sedikit di wilayah perbukitan dan gunung. Lahan pertanian terutama di dataran pantai utara yang memiliki cukup air di permukaan maupun sungai-sungai besar. Setidaknya terdapat 88 sungai dan mata air yang tidak kering di musim kemarau.
Karakteristik dan Agama Penduduk
Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kabupaten Sumba Timur sekitar 234.642 jiwa. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya ditengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba asli. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumah rumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.
Disamping orang Sumba asli juga terdapat orang Sabu, keturunan Tionghoa, Arab, Bugis, Bima, Jawa dan penduduk yang berasal dari daerah Nusa Tenggara Timur lainnya. Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Masyarakat Sumba secara rasial merupakan campuran dari ras Mongoloid dan Melanesoid. Sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan animisme Marapu dan agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik. Kaum muslim dalam jumlah kecil dapat ditemukan di sepanjang kawasan pesisir.
Diperkirakan, komposisi penganut agama di P. Sumba saat ini adalah sebagai berikut :
a. Kriten Protestan : 55%
b. Marapu : 20%
c. Islam : 10%
d. Katolik : 15%
Kondisi Dakwah di pulau Sumba
Agama asal suku sumba adalah marapu (animisme). Warna animism sangat kental terlihat pada masyarakat sumba baik yang masih marapu maupun yang sudah beragama Kristen maupun katolik.
Peluang dakwah di pulau sumba cukup besar karena masih banyak di antara mereka yang menganut keyakinan marapu (animisme/dinamisme). Adapun kaum kristen keyakinan marapu masih mendominasi pada diri mereka, keyakinan marapu dekat dengan sebagian keyakinan Islam. Seperti mereka mengakui adanya Mekkah. Madinah dan Watu miting (batu hitam/hajar aswad).
Pergerakan dan geliat dakwah di pulau sumba sangat minim. Demikian pula dengan jumlah da’i yang sangat minim. Sebaliknya misi misionaris begitu gencar dengan program-program mereka baik dari pihak protestan maupun dari pihak katolik. Kristenisasi untuk orang-orang yang telah memeluk islam sangat gencar dengan berbagai macam metode dan cara. Seperti iming-iming sembako, air bor, genset, membangun sekolah Kristen dan sekolah masehi (katolik) yang didukung oleh pemerintah daerah stempat, bahkan anak-anak muslim diharuskan untuk mengikuti kurikulum agama Kristen yang di kemudian hari menjadi bahan ujian mereka. Tidak sedikit kaum muallaf kembali lagi kepada keyakinan semula akibat dari kurangnya perhatian, kurangnya pembinaan dan pendidikan. Padahal pulau sumba adalah pulau yang paling banyak muallafnya se NTT.
Berikut Kondisi Kaum Muslimin di Pulau Sumba
1. Kebodohan
Ini adalah kendala dakwah terbesar. Rendahnya pendidikan, kemalasan, minimnya da’i, kuatnya pengaruh Kristen dalam pola hidup, minimnya pendidikan islam, kurang perhatiannya kaum muslmin. Semua berkumpul menjadi satu dan menjadi kendala besar dalam berdakwah kepada mereka.
2. Kemiskinan
Dahkan Iskan berkata : “NTT itu ibu kota kemiskinan Indonesia setelah Papua, harus dilakukan sistematis, nanti akan ditanami sorgum dan kita sudah menanam sorgum di atas lahan 200 hektare,” kata Dahlan saat menjadi pembicara di Universitas Soedirman, Purwokerto kemarin. (http://economy.okezone.com/read/2013/08/24/320/854823/redirect)
Rata-rata masyarakat sumba hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka hanya bertumpu pada tanah gersang yang hanya bisa ditanam 1 kali dalam 1 tahun, dan hasil laut dengan alat yang sangat sederhana. Makanan pokok mereka adalah jagung, keladi dan beras. Tempat tinggal yang sangat jauh dari standar layak yang bertiangkan kayu, bambu dan beratapkan alang-alang menajdi pandangan umum di daratan pulau sumba dan NTT pada umumnya. Busung lapar menjadi salah satu isu factual dan aktual kemiskinan masyarakat NTT.
3. Kristenisasi
Program kristenisasi didukung oleh pemda setempat dan LSM-LSM internasional yang masuk pulau sumba atau NTT umumnya. Bahkan mereka tidak segan-segan datang kerumah-rumah untuk membaca al Kitab.
Program mereka meliputi :
a. Pembagian sembako kepada kaum marapu (animisme) dan muslim yang muallaf dan fakir miskin.
b. Pemberian beasiswa dan seragam sekolah kepada kaum marapu (animisme) dan muslim yang muallaf dan fakir miskin.
c. Membangun gereja walaupun ditempat yang tidak terdapat kaum nashrani kecuali hanya 2 rumah saja. Kemudian gereja dijadikan pusat pendidikan non formal seperti les, pelatihan dsb. Tidak sedikit mereka yang muslim belajar di dalam gereja.
d. Memangun sekolah kristen atau katolik di tempat mayoritas muslim.
Jiak ada anak kaum marapu masuk dalam sekolah ini secara otomatis mereka langsung di baptis sehingga beragama Kristen.
e. Menempatkan para misionaris.
f. Menyiapkan kebutuhan masyarakat seperti traktor, jala ikan, bibit ternak, bibit pertanian, dll.
4. Minimnya para da’i
Da’i khususnya pulau sumba dan umumnya NTT sangat minim, sehingga untuk mengimbangi pergerakan misionaris lokal maupun asing kita sangat jauh tertinggal.
5. Tempat tinggal kaum muslimin yang saling berjauhan dan terpisah-pisah.
Tempat tinggal kaum muslimin sangat berjauhan satu sama lain. Jaraknya bisa puluhan bahkan sampai ratusan kilometer. Hal ini juga menjadi kendala yang cukup berat dan memakan waktu yang cukup lama. ( Alquin, BaitulMaqdis.com)
Sumber : Data didapat dari koordinator dai Yayasan Baitul Maqdis NTT.